Lukisan Sepi Zaki di Kain Batik Pekalongan

id Batik pekalongan,pekalongan

Lukisan Sepi Zaki di Kain Batik Pekalongan

Zaki saat memproduksi batik di Rumah Batik TBIG, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Foto : ANTARA/ (Rangga)

Pekalongan (ANTARA) - Di sudut Pekalongan yang tenang, Jawa Tengah menghadirkan cerita lama tentang warisan budaya Batik. Ada seorang pemuda yang diamnya berbicara lebih keras daripada kata-katanya.

Namanya Zaki . Beliau bukan sekedar siswi kelas XII SMALB Kabupaten Pekalongan, melainkan seorang penjaga warna, pelukis pendiam yang menyulam harapan lewat selembar kain putih.

Zaki hidup di dunia tanpa suara. Telinganya tidak mampu menangkap kebisingan dunia, tetapi jiwanya mampu membaca getaran alam semesta melalui warna dan pola.

Namun, dalam keterbatasan itu, Zaki tidak menyerah. Ia bahkan melangkah lebih jauh, memasuki dunia batik. Seni yang tidak hanya membutuhkan keterampilan, tetapi juga ketekunan.

Setahun lalu, langkah Zaki sampai di Rumah Batik TBIG Pekalongan. Tempat yang tidak hanya membuka pintu bagi pria dan wanita muda berbakat, tetapi juga merangkul mereka yang sering terpinggirkan.

Di sanalah Zaki mulai mengenal batik. Ia belajar dari dasar-dasar, mempraktikkan setiap proses, dari pemberian cap hingga pewarnaan.

"Saya ingin belajar membatik. Ingin tahu cara membatik," katanya dalam bahasa isyarat saat dikunjungi di Rumah Batik TBIG, Selasa 13/05.

Di awal cerita, Zaki dibawa oleh instruktur, guru di sekolahnya yang juga mengajar membatik di TBIG , yaitu Joko Padmanto .

"Kebetulan saya juga mengajar di SLB jadi saya undang mereka ke sini," kata Joko.

TBIG sejak berdiri tahun 2014 telah menjadi rumah bagi para pecinta batik muda. Namun baru dalam tiga tahun terakhir ini, rumah tersebut membuka hatinya bagi siswa penyandang disabilitas .

"Program disabilitas ini baru berjalan tiga tahun . Namun, Rumah Batik ini sudah berdiri sejak 2014," katanya.

Zaki datang dengan restu penuh dari orang tuanya. Mereka tahu bahwa meskipun Zaki tidak dapat mendengar, dia dapat mendengar dengan hatinya. Dan TBIG menjadi ruang aman, tempat ia tumbuh, berkreasi, dan bermimpi.

"Tentu saja ada izin orang tua sebelum mendaftar di sini," jelas Joko.

Sekarang, Zaki tidak hanya belajar. Ini telah menjadi bagian dari program inkubasi. Panggung khusus bagi mereka yang menunjukkan dedikasi dan keterampilan luar biasa.

Ia dikenal sebagai spesialis batik cap. Setiap prangko yang dibuatnya seakan berbicara, setiap warna yang dipilihnya merupakan seruan halus dari dunia yang sunyi.

"Kami sengaja mengajarkan batik kepada anak-anak ini dengan model batik cap. Jadi, tidak berisiko dibandingkan dengan batik tulis," katanya.

Zaki adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Namun dalam keheningan langkahnya, ia menjadi suara paling lantang yang menyerukan pelestarian budaya.

Siapa sangka, di tengah kesunyian itu, Zaki justru menemukan panggungnya yang lain, yakni pantomim. Dia pandai memainkan ekspresi dan gerak tubuh untuk membuat penonton tertawa.

Dia tidak berpidato di panggung, tidak menulis manifesto. Itu hanya batik. Namun dari tangannya, lahir suara yang dapat didengar oleh hati siapa pun yang mencintai warisan bangsa.

Zaki hanyalah satu dari puluhan mahasiswa pensiunan penyandang disabilitas yang telah lulus dan masih belajar di Rumah Batik TBIG .

" Setiap tahunnya selama 3 tahun ini ada 11 sampai 12 anak yang lulus di sini," ujar Fahmi Sutan Alatas , Head Of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk .

Pewarta :
Editor : Andilala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.