Istanbul (ANTARA) - CEO Telegram Pavel Durov menegaskan bahwa aplikasinya akan hengkang dari Prancis jika pemerintah terus mendesak untuk mendapatkan akses backdoor atau akses ke sistem tanpa harus melalui mekanisme yang umum.
“Telegram lebih memilih keluar dari suatu negara ketimbang merusak sistem enkripsi melalui pintu belakang (backdoor) dan melanggar hak asasi manusia,” tulis Durov pada Senin di platform X.
Ia menyebut keputusan Majelis Nasional Prancis bulan lalu yang menolak rancangan undang-undang pelarangan enkripsi sebagai langkah bijak.
Jika disahkan, undang-undang itu akan menjadikan Prancis negara pertama yang mencabut hak privasi digital warganya, kata Durov.
Namun, perdebatan soal enkripsi itu kembali mencuat setelah Prefek Kepolisian Paris mendukung wacana tersebut pada Jumat lalu.
“Secara teknis, tidak mungkin menjamin bahwa hanya pihak kepolisian yang bisa mengakses pintu belakang. Begitu celah itu dibuka, pihak lain — mulai dari agen asing hingga peretas — juga bisa memanfaatkannya. Akibatnya, pesan pribadi warga yang taat hukum pun bisa terekspos,” jelas Durov.
Ia menambahkan, pemberlakuan kebijakan itu tidak akan efektif dalam memberantas perdagangan narkoba karena pelaku kejahatan bisa tetap menggunakan aplikasi lain yang lebih kecil dan tidak terpantau.
Sesuai dengan EU Digital Service Act, lanjut Durov, Telegram hanya akan menyerahkan alamat IP dan nomor telepon tersangka kejahatan jika ada perintah pengadilan yang sah -- dan bukan isi pesan mereka.
Ia juga menyoroti bahwa Komisi Eropa tengah mengajukan inisiatif serupa untuk membuka akses pintu belakang pada aplikasi pesan, dan menegaskan bahwa “tidak ada negara yang kebal terhadap erosi kebebasan secara perlahan.”
“Kita harus terus mengingatkan para pembuat undang-undang bahwa enkripsi bukan untuk melindungi penjahat --melainkan melindungi privasi dan keamanan orang-orang biasa. Kehilangan perlindungan itu akan menjadi tragedi,” kata Durov.
Sumber: Anadolu