Sukarno dan Jejak Islam di Dagestan

id Dubes,Sukarno, Jejak Islam di Dagestan, Rusia

Sukarno dan Jejak Islam di Dagestan

Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus, M. Wahid Supriyadi bertemu dengan dua anak remaja yang bernama sama dengan nama Presiden RI pertama Sukarno. Dubes berphoto bersama Sukarno bin Kamil bahasa Rusia Sukarno Kamilevich dan Sukarno bin Muhammad atau Sukarno Magomedovich berusia 12 dan 10 tahun. Orang tua mereka kakak beradik, tinggal sekitar satu jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan.

London (ANTARA) - Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus, M. Wahid Supriyadi menuliskan kesan-kesannya saat melakukan kunjungan kerja di kota Dagestan dan bertemu dengan dua anak yang bernama sama dengan Presiden RI pertama, Sukarno.



Dubes Wahid bertemu dengan dua anak remaja yang bernama Sukarno bin Kamil bahasa Rusia Sukarno Kamilevich dan Sukarno bin Muhammad atau Sukarno Magomedovich berusia 12 dan 10 tahun. Orang tua mereka kakak beradik, tinggal sekitar satu jam naik mobil dari Makhachkala, ibu kota Republik Dagestan.



Kedua anak remaja itu datang ke Makhachkala atas undangan Abdulaev Ibragimgadzi, Kepala Pusat Nusantara, demikian Kepala Fungsi Pensosbud KBRI Moskow, Adiguna Wijaya kepada ANTARA London, Rabu.



Menurut Abdulaev, yang bercerita tentang kisah kedua anak yang bernama Suakarno . “Ceritanya panjang dimulai dari Musa Gashimovich, pada Juni 1961 menghadiri sidang Partai Komunis di Kremlin, warga Dagestan yang saat itu menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani (Kolkhoz),” ujarnya.



Pada sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet kala itu hadir beberapa kepala negara asing, termasuk Presiden pertama RI, Sukarno. Sidang hari itu jatuh pada hari Jum’at.



Ketika saatnya waktu dzuhur, tiba Presiden Sukarno berdiri dan minta izin kepada Sekjen Partai Komunis, Nikita Khrushchev, untuk meninggalkan ruangan karena akan menunaikan sholat. Nikita Khrushchev pun mengizinkan.



Musa pun terkejut dan seolah tidak percaya. Kegiatan beragama, termasuk Islam, selama zaman Uni Soviet dilarang atau dilakukan diam-diam.



Menurut Musa, apa yang dilakukan Sukarno sangatlah luar biasa dan di luar pikiran kebanyakan orang Rusia ketika itu. Atas kekagumannya pada Sukarno, Musa pun memberi nama anaknya Sukarno bin Musa (Sukarno Musaevich), yang lahir pada tahun 1962.



Menurut Abdulaev, Musa sempat menulis surat kepada KBRI Moskow kala itu untuk meminta ijin memberi nama anaknya Sukarno, tapi tidak pernah dijawab.



Salah seorang anak Sukarno, Kamil menamai anaknya Sukarno bin Kamil (Sukarno Kamilevich). Anehnya, saudara sepupu Kamil, Muhammad, juga memberi nama anaknya Sukarno bin Muhammad (Sukarno Magomedovich) karena kekagumannya pada bapaknya (Musa).



Kedua anak yang datang pada peresmian Pusat Nusantara tersebut, Sukarno bin Kamil dan Sukarno bin Muhammad, adalah cicit dari Musa Gashimovich yang hadir di sidang Konggres Partai Komunis Uni Soviet 1961.



Menurut Dubes Wahid, sampai saat ini nama Sukarno masih banyak dikenal oleh generasi tua, terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Sukarno seperti di Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand sekarang masuk wilayah Uzbekistan.



Di Moskow, Sukarno mengunjungi Masjid Katedral (Agung) yang saat itu sangat kecil dan fotonya masih tersimpan di masjid kebanggaan umat Muslim Rusia. Di Saint Petersburg dalam kunjungannya tahun 1956, Sukarno meminta Nikita Khrushchev agar mengizinkan kembali dibukanya Masjid Biru sebagai tempat ibadah umat Islam.



Khrushchev pun mengizinkannya 10 hari setelah kunjungan Sukarno. Imam Masjid Biru, Cafer Nasibullahoglu, pun mengakui jasa Sukarno.



Demikian juga dengan cerita makam Imam Bukhari. Walaupun tidak ada sumber sejarah resmi, masyarakat Samarkand sampai saat ini meyakini makam Imam Bukhari dibangun Uni Soviet atas jasa Sukarno.



Konon Sukarno bersedia memenuhi undangan Nikita Khruschev dengan syarat ditemukannya makam Imam Buchari. Dan benar saja Khruschev memenui syarat itu dan Sukarno dalam rangkaian kunjungannya pada tahun 1956 mengunjungi makam tersebut dengan perjalanan kereta api yang ditempuh sekitar tiga hari.



Republik Dagestan adalah salah satu negara bagian yang memiliki kekhasan di Rusia. Ada 22 negara bagian di Rusia dengan nama Republik karena mayoritas penduduknya bukan etnis Rusia. Walaupun secara resmi namanya sudah dihapus, namun masih banyak yang menyebutnya sebagai republik, seperti Republik Tatarstan, dengan kepala pemerintahannya bergelar presiden.



Sebagaimana Chechnya dan Tatarstan, mayoritas penduduk Dagestan beragama Islam, bahkan Menteri Kebijakan Nasional dan Agama Republik Dagestan, Enrik Muslimov, menyebut sekitar 95% warga Dagestan beragama Islam.



Hal ini terlihat dengan banyaknya masjid di Dagestan. Kita bisa mendengarkan suara adzan dan kaum wanita sebagian mengenakan jilbab, persis seperti di Indonesia.



Tidak sedikit juga yang menggunakan baju modis ala wanita modern. Bahkan mereka umumnya berparas cantik karena campuran dari Persia, Arab, Barat dan lokal. Islam di Dagestan cukup toleran dan moderat dan beraliran Sunni seperti di Indonesia.



Di Makhachkala terdapat masjid yang diklaim sebagai yang terbesar di Rusia dan bahkan Eropa mengalahkan Masjid Katedral di Moskow. Masjid Jumma Makhachkala dapat menampung sekitar 17 ribu jamaah, dibanding Masjid Katedral Moskow yang hanya menampung 10 ribu orang. Bahkan saat ini sedang dibangun Islamic Center di tanah seluas 35 ha, dengan masjid yang akan mampu menampung sekitar 50 ribu jamaah.



Sekitar 170 kilometer ke arah selatan dari Makhachkala, atau 2,5 jam perjalanan darat, terdapat kota tua Derbent yang berumur sekitar dua ribu tahun bahkan lebih. Derbent dimasukkan UNESCO menjadi salah satu kota “heritage” yang dilindungi.



Di Derbent terdapat benteng Naryn-Kala yang dibuat abad VI oleh Kerajaan Sasanian untuk melindungi diri dari serangan penduduk pegunungan Kaukasia.Di kota itu juga terdapat masjid tertua yang dibangun tahun 734 atau 10 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat di jaman Kekhalifaan Rasyidin di bawah Abu Bakar, melalui peperangan. Tidak jauh dari masjid terdapat makam kuno para martir yang sampai saat ini masih dirawat dengan baik.



Selama ini Dagestan dianggap sebagai wilayah konflik dan bahkan situs-situs perjalanan masih menyebutkan daerah ini tidak aman untuk turis. Ternyata keadaan di lapangan berbicara lain. Di luar acara resmi, Dubes Wahid berkunjung ke pasar. Pasar adalah potret kehidupan masyarakat umum yang tidak bisa direkayasa. “Saya melihat suasana yang ramai seperti pasar pada umumnya, tidak melihat adanya tentara yang berjaga, hanya satpam biasa,” ujar Dubes Wahid.



Kedatangan Dubes Wahid menarik perhatian para penjual, karena wajahnya berbeda dan jarang melihat turis dari Asia Tenggara. Setelah mengetahui yang datang dari Indonesia, mereka pun beramai-ramai menawarkan oleh-oleh untuk dibawa pulang.



“Hal ini sangat menyentuh hati, dan harus mencari tas tambahan untuk membawa oleh-oleh dari mereka,” demikian Dubes Wahid. (ZG)