Manado (ANTARA) - Di sebuah dapur kecil yang sederhana, tampak dua wanita dengan semangat mengolah sejumlah bahan makanan untuk dijadikan kue dan dijual.
Kakak beradik itu, Suhriah Mato dan dan Nur Mato yang sudah terbiasa dengan rutinitas harian mereka.
Setiap pagi, mereka bangun lebih awal untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam mengolah adonan kue.
Dengan cermat, Suhriah mengukur tepung, gula, mentega, dan bahan-bahan lainnya. Ia mencampur bahan-bahan tersebut dalam sebuah mangkuk besar, lalu mulai mengaduknya dengan penuh keahlian. Tangannya bergerak lincah, menjamin bahwa adonan tercampur secara merata.
Begitu pula dengan Nur yang telah menyalakan kompor dan menyiapkan loyang. Setelah adonan siap, ia mulai membentuk adonan menjadi berbagai macam bentuk kue yang menarik.
Dia membentuk adonan menjadi bulatan kecil, atau menggilasnya menjadi lembaran tipis untuk kue lapis. Setiap gerakan tangan mereka dilakukan dengan hati-hati dan penuh kelembutan.
Ketika kue-kue sudah siap di dalam loyang, mereka dengan telaten menempatkannya dalam wajan untuk digoreng maupun dikukus. Mereka menunggu dengan penuh waspada, memantau setiap detik agar kue matang sempurna. Aroma harum kue pun mulai menyebar dan memenuhi ruangan.
Setelah kue matang, Suhriah dan Nur dengan hati-hati mengeluarkannya dari wajan maupun kukusan. Mereka meletakkannya di atas rak pendingin, menunggu hingga kue benar-benar dingin, sebelum mulai memindahkannya ke dalam wadah atau kotak yang indah. Setiap kue diperlakukan dengan penuh keahlian dan perhatian.
Setelah semua kue siap, Suhriah membawa kue buatannya untuk dititipkan di warung-warung dekat tempat tinggalnya di Kampung Arab Manado.
Berbeda dengan Nur yang membawa kue dalam keranjang untuk dijual langsung kepada pelanggan di lokasi dekat tempat tinggalnya di Kelurahan Perkamil, Manado.
Keranjangnya dipenuhi dengan berbagai macam kue yang indah dan menggugah selera, ia menyusuri sepanjang jalan, menjual kue-kue tersebut dengan senyum ramah dan hangat kepada para pelanggan.
Usaha kue itu mereka lakukan untuk melanjutkan hidup setelah keduanya ditinggal pergi suami tercinta yang hanya terpaut beberapa tahun. Suami Suhriah meninggal tahun 1993, sedangkan suami Nur meninggal pada 1997.
Keduanya berjuang sebagai penjual kue untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil, baik pangan, sandang, sampai menyelesaikan pendidikan hingga sekolah tingkat atas.
Setiap hari, mereka menghasilkan kue lezat yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari dan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
Selain berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kedeuanya tidak pernah memupuskan mimpi untuk bisa menunaikan Rukun Islam kelima, yakni naik haji ke Baitullah.
Meskipun pendapatan dari keuntungan menjual kue tidak tergolong banyak, mereka tetap tekun menyisihkan uangnya untuk ditabung. Kerinduannya untuk memenuhi panggilan Allah ke Tanh Suci Mekkah, telah mengalahkan logika besarnya keuntungan dengan tekad menabung sedikit demi sedikit. Tabungan itu, berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 per hari. Keduanya memanfaatkan jasa menabung di bank milik pemerintah, yakni Bank Muamalat yang kini sudah bergabung dengan bank lain dan menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Pada tahun 2013, impian pergi ke Tanh Suci semakin dekat, saat mereka berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Seiring semakin bertambahnya warga yang mampu pergi naik haji, Nur dan Suhriah haru bersabar menunggu antrean berangkat, sebagai calon haji lainnya.
Bukan hanya karena semakin banyaknya peminat, pandemi COVID-19 yang melanda dunia, hingga ke Indonesia, juga mendidik jiwa Mato bersaudara untuk bersabar. Meskipun demikian, semangat dua Mato itu tidak pernah padam, hingga pada 2023 ini, keduanya mendapat kabar berangkat ke Tanh Suci Mekkah.
Mendapat kabar kepastian berangkat itu, tubuh Suhriah Mato (73 tahun) mendadak gemetar. Detak jantungnya berdegup kencang, tak kuasa menahan bahagia bercampur kaget.
Demikian juga saat prosesi keberangkatan dari rumahnya, Jumat (16/6), keduanya tidak dapat menyembunyikan rasa haru, terutama saat bersalaman dan berpelukan dengan warga di Kelurahan Istiqlal, Kampung Arab.
Mereka tidak mampu menahan rasa gembira, hingga dua matanya berjelaga butiran air mata. Diiringi keluarga dekat, Suhriah Mato mengucapkan salam kepada tetangga dan keluarga lain yang mengantar sampai ke luar kampung. Peristiwa serupa juga dirasakan Nur A Mato (71), Adik dari Suhriah.
Kakak beradik ini kemudian diantar keluarga ke Wisma Haji di Kelurahan Tuminting, Kota Manado. Keduanya berpelukan sambil menangis sebagai tanda syukur diberi kesempatan oleh Allah umur panjang.
"Kami berdua selalu berdoa agar diberi kesempatan bisa ke Tanah Suci dan akhirnya dikabulkan. Alhamdulillah," kata Nur.
Di asrama haji, keduanya meminta tinggal satu kamar di lantai satu khusus para lansia yang berusia di atas 60 tahun.
Selagi duduk santai di kamar, Suhriah dan Nur sedikit mengisahkan perjalanan mereka sehingga bisa diundang Allah ke tanah suci. Saling bergantian mereka menceritakan aktivitas mereka. Beberapa kali, linangan air matanya tak terbendung.
Sesuai jadwal, keduanya masuk dalam kloter 17 dari Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Mereka akan bergabung dengan jamaah calon haji lain dari Sulawesi Utara. Keduanya berharap dapat memperoleh pengalaman spiritual yang mendalam dan memperkuat iman mereka saat di Tanh Suci.
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Sulut mencatat jamaah calon haji dari Sulut sebanyak 246 orang dari total 758 yang semuanya telah diberangkatkan ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji.
Semangat para JCH lanjut usia dari Sulut sangat luar biasa, semuanya masih bisa berjalan seperti biasa, walau terkadang harus menggunakan tongkat dan duduk di kursi roda. Dngan semangat itu, mereka tampak sehat dan terus menebar senyum.
Kepala Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Sulut H Sarbin Sehe ikut memberikan semangat kepada jamaah bahwa usia dan kesehatan kadang tidak berbanding lurus.
Terkadang usia boleh tua, tetapi kesehatan dan semangat tetap muda dan energi inilah yang terlihat dari wajah para jamaah lansia.
Sehat kondisi fisik dan rohani adalah modal bagi setiap jamaah dalam menunaikan ibadah haji, karena sesuai kebijakan Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan program Haji Ramah Lansia pada tahun 1444 H/2023 M.
Seluruh petugas haji dan semua yang terlibat dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun ini diharapkan bersungguh-sungguh memegang teguh komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah, khususnya haji lansia.
Perjalanan haji lansia ini bukan hanya tentang mencapai tujuan akhir, tetapi juga tentang inspirasi yang mereka berikan kepada orang lain. Dalam usia lanjut, Suhriah dan Nur membuktikan bahwa mencapai impian itu tidak mengenal usia.
Mereka telah mampu melampaui tantangan hidup yang keras, yang kemudian juga pengingat bagi semua semua bahwa menggantungkan mimpi dan harapan hanya kepada Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Dedikasi dan ketekunan mereka mengolah adonan menjadi kue yang lezat telah menjadi jalan untuk sampai ke Baitullah.
Kakak beradik itu, Suhriah Mato dan dan Nur Mato yang sudah terbiasa dengan rutinitas harian mereka.
Setiap pagi, mereka bangun lebih awal untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam mengolah adonan kue.
Dengan cermat, Suhriah mengukur tepung, gula, mentega, dan bahan-bahan lainnya. Ia mencampur bahan-bahan tersebut dalam sebuah mangkuk besar, lalu mulai mengaduknya dengan penuh keahlian. Tangannya bergerak lincah, menjamin bahwa adonan tercampur secara merata.
Begitu pula dengan Nur yang telah menyalakan kompor dan menyiapkan loyang. Setelah adonan siap, ia mulai membentuk adonan menjadi berbagai macam bentuk kue yang menarik.
Dia membentuk adonan menjadi bulatan kecil, atau menggilasnya menjadi lembaran tipis untuk kue lapis. Setiap gerakan tangan mereka dilakukan dengan hati-hati dan penuh kelembutan.
Ketika kue-kue sudah siap di dalam loyang, mereka dengan telaten menempatkannya dalam wajan untuk digoreng maupun dikukus. Mereka menunggu dengan penuh waspada, memantau setiap detik agar kue matang sempurna. Aroma harum kue pun mulai menyebar dan memenuhi ruangan.
Setelah kue matang, Suhriah dan Nur dengan hati-hati mengeluarkannya dari wajan maupun kukusan. Mereka meletakkannya di atas rak pendingin, menunggu hingga kue benar-benar dingin, sebelum mulai memindahkannya ke dalam wadah atau kotak yang indah. Setiap kue diperlakukan dengan penuh keahlian dan perhatian.
Setelah semua kue siap, Suhriah membawa kue buatannya untuk dititipkan di warung-warung dekat tempat tinggalnya di Kampung Arab Manado.
Berbeda dengan Nur yang membawa kue dalam keranjang untuk dijual langsung kepada pelanggan di lokasi dekat tempat tinggalnya di Kelurahan Perkamil, Manado.
Keranjangnya dipenuhi dengan berbagai macam kue yang indah dan menggugah selera, ia menyusuri sepanjang jalan, menjual kue-kue tersebut dengan senyum ramah dan hangat kepada para pelanggan.
Usaha kue itu mereka lakukan untuk melanjutkan hidup setelah keduanya ditinggal pergi suami tercinta yang hanya terpaut beberapa tahun. Suami Suhriah meninggal tahun 1993, sedangkan suami Nur meninggal pada 1997.
Keduanya berjuang sebagai penjual kue untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil, baik pangan, sandang, sampai menyelesaikan pendidikan hingga sekolah tingkat atas.
Setiap hari, mereka menghasilkan kue lezat yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari dan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
Selain berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kedeuanya tidak pernah memupuskan mimpi untuk bisa menunaikan Rukun Islam kelima, yakni naik haji ke Baitullah.
Meskipun pendapatan dari keuntungan menjual kue tidak tergolong banyak, mereka tetap tekun menyisihkan uangnya untuk ditabung. Kerinduannya untuk memenuhi panggilan Allah ke Tanh Suci Mekkah, telah mengalahkan logika besarnya keuntungan dengan tekad menabung sedikit demi sedikit. Tabungan itu, berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 per hari. Keduanya memanfaatkan jasa menabung di bank milik pemerintah, yakni Bank Muamalat yang kini sudah bergabung dengan bank lain dan menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Pada tahun 2013, impian pergi ke Tanh Suci semakin dekat, saat mereka berhasil mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Seiring semakin bertambahnya warga yang mampu pergi naik haji, Nur dan Suhriah haru bersabar menunggu antrean berangkat, sebagai calon haji lainnya.
Bukan hanya karena semakin banyaknya peminat, pandemi COVID-19 yang melanda dunia, hingga ke Indonesia, juga mendidik jiwa Mato bersaudara untuk bersabar. Meskipun demikian, semangat dua Mato itu tidak pernah padam, hingga pada 2023 ini, keduanya mendapat kabar berangkat ke Tanh Suci Mekkah.
Mendapat kabar kepastian berangkat itu, tubuh Suhriah Mato (73 tahun) mendadak gemetar. Detak jantungnya berdegup kencang, tak kuasa menahan bahagia bercampur kaget.
Demikian juga saat prosesi keberangkatan dari rumahnya, Jumat (16/6), keduanya tidak dapat menyembunyikan rasa haru, terutama saat bersalaman dan berpelukan dengan warga di Kelurahan Istiqlal, Kampung Arab.
Mereka tidak mampu menahan rasa gembira, hingga dua matanya berjelaga butiran air mata. Diiringi keluarga dekat, Suhriah Mato mengucapkan salam kepada tetangga dan keluarga lain yang mengantar sampai ke luar kampung. Peristiwa serupa juga dirasakan Nur A Mato (71), Adik dari Suhriah.
Kakak beradik ini kemudian diantar keluarga ke Wisma Haji di Kelurahan Tuminting, Kota Manado. Keduanya berpelukan sambil menangis sebagai tanda syukur diberi kesempatan oleh Allah umur panjang.
"Kami berdua selalu berdoa agar diberi kesempatan bisa ke Tanah Suci dan akhirnya dikabulkan. Alhamdulillah," kata Nur.
Di asrama haji, keduanya meminta tinggal satu kamar di lantai satu khusus para lansia yang berusia di atas 60 tahun.
Selagi duduk santai di kamar, Suhriah dan Nur sedikit mengisahkan perjalanan mereka sehingga bisa diundang Allah ke tanah suci. Saling bergantian mereka menceritakan aktivitas mereka. Beberapa kali, linangan air matanya tak terbendung.
Sesuai jadwal, keduanya masuk dalam kloter 17 dari Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Mereka akan bergabung dengan jamaah calon haji lain dari Sulawesi Utara. Keduanya berharap dapat memperoleh pengalaman spiritual yang mendalam dan memperkuat iman mereka saat di Tanh Suci.
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Sulut mencatat jamaah calon haji dari Sulut sebanyak 246 orang dari total 758 yang semuanya telah diberangkatkan ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji.
Semangat para JCH lanjut usia dari Sulut sangat luar biasa, semuanya masih bisa berjalan seperti biasa, walau terkadang harus menggunakan tongkat dan duduk di kursi roda. Dngan semangat itu, mereka tampak sehat dan terus menebar senyum.
Kepala Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Sulut H Sarbin Sehe ikut memberikan semangat kepada jamaah bahwa usia dan kesehatan kadang tidak berbanding lurus.
Terkadang usia boleh tua, tetapi kesehatan dan semangat tetap muda dan energi inilah yang terlihat dari wajah para jamaah lansia.
Sehat kondisi fisik dan rohani adalah modal bagi setiap jamaah dalam menunaikan ibadah haji, karena sesuai kebijakan Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan program Haji Ramah Lansia pada tahun 1444 H/2023 M.
Seluruh petugas haji dan semua yang terlibat dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun ini diharapkan bersungguh-sungguh memegang teguh komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah, khususnya haji lansia.
Perjalanan haji lansia ini bukan hanya tentang mencapai tujuan akhir, tetapi juga tentang inspirasi yang mereka berikan kepada orang lain. Dalam usia lanjut, Suhriah dan Nur membuktikan bahwa mencapai impian itu tidak mengenal usia.
Mereka telah mampu melampaui tantangan hidup yang keras, yang kemudian juga pengingat bagi semua semua bahwa menggantungkan mimpi dan harapan hanya kepada Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Dedikasi dan ketekunan mereka mengolah adonan menjadi kue yang lezat telah menjadi jalan untuk sampai ke Baitullah.