Jakarta (ANTARA) - Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menyarankan bahwa baiknya posisi Ketua MPR diisi oleh pihak oposisi.
"Demi Indonesia, sebaiknya Ketua MPR dijabat oleh oposisi. Kehadiran Oposisi sebagai salah satu pejabat negara penting untuk keseimbangan negara," kata Hendri Satrio kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Hendri mengaku heran dengan tertariknya sejumlah partai mengisi kursi Ketua MPR. "Tumben Golkar ingin juga kursi Ketua MPR. Sebab biasanya Golkar lebih mengincar kursi yang lebih strategis, yang lebih menentukan kebijakan negara seperti Wapres, Menteri, Ketua DPR," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, oposisi ini bisa dari Gerindra, PKS ataupun PAN. Baik Gerindra maupun PKS bisa didorong sebagai Ketua MPR, menurutnya. Perolehan suara Gerindra memang lebih tinggi dari PKS, tapi militansi PKS dinilai lebih tinggi dibanding Gerindra,. Adapun PAN sudah punya pengalaman di jabatan itu.
"Demokrat bisa jadi alternatif kesepakatan bagi dua kubu kalau deadlock. Posisi Demokrat kan rada ajaib, pengen di tengah tapi pengen deket ke Jokowi, pengen di tengah tapi pengen tetep dukung Prabowo," kata Hendri.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menilai keinginan Partai Golkar untuk menduduki Ketua MPR karena menjadi pemenang ketua pemilihan legislatif (Pileg) 2019 adalah hal yang wajar.
"Saya kira sebagai pemenang yang kedua juga wajar," kata Presiden Joko Widodo.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengungkapkan keinginannya agar Partai Golkar menduduki jabatan Ketua MPR.
"Dalam konteks kesantunan politik, telah jelas dalam UU MD3 bahwa pemenang pemilu akan menjadi ketua DPR berikutnya. Dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan wakilnya secara berurutan sehingga akan wajar, ini seizin Pak Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) apabila nanti dalam pemilihan ketua MPR, yang dipilih dalam sistem paket, paket koalisi Indonesia Kerja, wajar juga mengusung paket dengan ketua (MPR) dari Partai Golkar," tutur Airlangga.
Presiden pun mengaku berbagai keinginan tersebut adalah hal yang wajar.
"Ya Cak Imin menginginkan wajar juga," tambah Airlangga.
Aturan pemilihan pimpinan MPR ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3.
Mekanisme pemilihan pimpinan diatur dalam UU MD3 pasal 427D. Dalam beleid ini, pimpinan DPR dijabat oleh perwakilan dari partai pemenang pemilihan legislatif, sedangkan posisi wakil diberikan kepada partai yang menempati posisi kedua hingga kelima dalam pileg.
Selanjutnya pada pasal 15 disususn mengenai pimpinan MPR yang terdiri dari satu ketua dan tujuh wakil. Pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna dengan tiap fraksi dan kelompok anggota dapat mengajukan 1 orang bakal calon pimpinan MPR.
Pimpinan MPR tersebut dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR yang terdiri atas 9 fraksi partai politik dan satu fraksi Kelompok DPD.
"Demi Indonesia, sebaiknya Ketua MPR dijabat oleh oposisi. Kehadiran Oposisi sebagai salah satu pejabat negara penting untuk keseimbangan negara," kata Hendri Satrio kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Hendri mengaku heran dengan tertariknya sejumlah partai mengisi kursi Ketua MPR. "Tumben Golkar ingin juga kursi Ketua MPR. Sebab biasanya Golkar lebih mengincar kursi yang lebih strategis, yang lebih menentukan kebijakan negara seperti Wapres, Menteri, Ketua DPR," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, oposisi ini bisa dari Gerindra, PKS ataupun PAN. Baik Gerindra maupun PKS bisa didorong sebagai Ketua MPR, menurutnya. Perolehan suara Gerindra memang lebih tinggi dari PKS, tapi militansi PKS dinilai lebih tinggi dibanding Gerindra,. Adapun PAN sudah punya pengalaman di jabatan itu.
"Demokrat bisa jadi alternatif kesepakatan bagi dua kubu kalau deadlock. Posisi Demokrat kan rada ajaib, pengen di tengah tapi pengen deket ke Jokowi, pengen di tengah tapi pengen tetep dukung Prabowo," kata Hendri.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menilai keinginan Partai Golkar untuk menduduki Ketua MPR karena menjadi pemenang ketua pemilihan legislatif (Pileg) 2019 adalah hal yang wajar.
"Saya kira sebagai pemenang yang kedua juga wajar," kata Presiden Joko Widodo.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengungkapkan keinginannya agar Partai Golkar menduduki jabatan Ketua MPR.
"Dalam konteks kesantunan politik, telah jelas dalam UU MD3 bahwa pemenang pemilu akan menjadi ketua DPR berikutnya. Dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan wakilnya secara berurutan sehingga akan wajar, ini seizin Pak Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) apabila nanti dalam pemilihan ketua MPR, yang dipilih dalam sistem paket, paket koalisi Indonesia Kerja, wajar juga mengusung paket dengan ketua (MPR) dari Partai Golkar," tutur Airlangga.
Presiden pun mengaku berbagai keinginan tersebut adalah hal yang wajar.
"Ya Cak Imin menginginkan wajar juga," tambah Airlangga.
Aturan pemilihan pimpinan MPR ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3.
Mekanisme pemilihan pimpinan diatur dalam UU MD3 pasal 427D. Dalam beleid ini, pimpinan DPR dijabat oleh perwakilan dari partai pemenang pemilihan legislatif, sedangkan posisi wakil diberikan kepada partai yang menempati posisi kedua hingga kelima dalam pileg.
Selanjutnya pada pasal 15 disususn mengenai pimpinan MPR yang terdiri dari satu ketua dan tujuh wakil. Pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
Bakal calon pimpinan MPR berasal dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang paripurna dengan tiap fraksi dan kelompok anggota dapat mengajukan 1 orang bakal calon pimpinan MPR.
Pimpinan MPR tersebut dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna MPR yang terdiri atas 9 fraksi partai politik dan satu fraksi Kelompok DPD.