Misi perang melawan pandemi COVID-19 di Kalsel

id covid kalsel,RSUD Ulin Banjarmasin, perawat garda terdepan, covid-19

Misi perang melawan pandemi COVID-19 di Kalsel

Perawat bertugas di Ruang Isolasi pasien COVID-19 RSUD Ulin Banjarmasin. (ANTARA/Firman)

Banjarmasin (ANTARA) - Sejumlah orang nampak duduk santai di depan teras kamar menghadap kolam renang Swiss-Belhotel Borneo Banjarmasin, Selasa malam. Satu sama lain saling berbincang meski tetap menjaga jarak dan menggunakan masker.

Canda tawa sesekali menyeruak memecah kesunyian malam di hotel bintang empat itu. Mereka nampak senang dapat bersantai ria sejenak sebelum rutinitas kerja yang kembali dijalani.

Wartawan ANTARA berkesempatan berbincang menemui para pahlawan medis yang saat ini jadi garda terdepan dalam misi perang melawan pandemi COVID-19.

Tak terasa ternyata sudah lebih kurang empat bulan para tenaga kesehatan tersebut harus menginap di hotel. Mereka tak bisa pulang ke rumah, bertemu keluarga sesuka hati karena dalam masa isolasi menangani pasien virus corona jenis baru itu.

"Kalau pulang juga kita curi-curi waktu saja. Itu pun hanya sebentar dan cukup di depan rumah saja tidak masuk ke dalam. Karena sadar diri kita berisiko tinggi. Jadi, benar menerapkan protokol kesehatan saat bertemu keluarga seperti menggunakan masker dan sebagainya," ucap Fajar Rahman, salah satu perawat yang berbagi kisah kepada ANTARA.

Pria yang berdinas di Ruang Isolasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin ini bahkan mengaku melakukan tes cepat secara mandiri yang alatnya dibeli dari uang pribadi seharga Rp 250 ribu jika ingin pulang untuk bertemu keluarga.

"Saya harus memastikan diri sehat sebelum ketemu anak istri. Jadi, tidak sembarang main pulang saja. Keluarga di rumah juga harus dalam kondisi sehat dengan imun bagus agar tidak mudah terpapar jika toh ternyata kita membawa virus tanpa disadari," kata Fajar.

Diakui dia, rasa was-was tentu kerap dirasakan ketika harus berdekatan dengan anggota keluarga.

Meski begitu, Fajar mengaku dalam keluarga inti di rumahnya tidak ada risiko tinggi.

"Anak saya usianya tujuh tahun. Kategori risiko tinggi itu anak di bawah usia lima tahun dan orang tua di atas 55 tahun. Jadi, di usia risiko tinggi ini harus kita lindungi betul karena jika terpapar cukup rentan tak bisa melawan virusnya hingga jatuh sakit bahkan berakibat kematian jika ada penyakit bawaan," jelas pria lulusan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya itu.
Perawat bertugas di Ruang Isolasi pasien COVID-19 RSUD Ulin Banjarmasin. (ANTARA/Firman)


Perawat lainnya, Ekky Triana, nampak asik melakukan panggilan video dengan sang anak. Dua buah hatinya yang berusia delapan dan lima tahun terlihat senang bisa bertatap muka dengan sang bunda meski hanya melalui layar ponsel.

Ekky mengaku sangat rindu ingin bertemu anaknya. Lantaran selama empat bulan terakhir bertugas menangani pasien COVID-19, seingatnya hanya empat kali pernah pulang ke rumah.

"Saya harus memastikan kondisi fit dan ada hasil 'swab' (tes usap) ataupun minimal 'rapid' (tes cepat). Kemudian juga melihat kondisi orang di rumah dalam kondisi benar-benar sehat, baru memutuskan pulang sebentar menemui keluarga," bebernya.

Tak terasa sudah empat bulan Fajar dan Ekky serta perawat lainnya yang tergabung di ruang isolasi RSUD Ulin Banjarmasin bertugas menangani pasien COVID-19. Selama itu juga mereka harus menahan rindu tidak bisa bertemu keluarga setiap waktu.

Masih lekat dari ingatan mereka ketika asisten pelatih klub sepakbola peserta Liga 1 Barito Putera bernama Yunan Helmi tiba di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan itu pada 14 Maret 2020 sebagai pasien pertama terkonfirmasi positif COVID-19 hingga diberi label Pasien Ulin-1.

Yunan Helmi sendiri sekarang sudah dinyatakan sembuh dari infeksi virus corona dan meninggalkan RSUD Ulin Banjarmasin pada 14 April 2020. Namun tidak dengan Fajar Cs, mereka masih bertugas di rumah sakit hingga kini sekaligus menjalani masa isolasi sebagai tenaga kesehatan yang rawan terpapar COVID-19.

"Kalau pasien ada batas isolasinya. Jika sembuh ya boleh pulang. Namun kita sebagai perawat tidak tahu sampai kapan seperti ini, pulang kerja isolasi di hotel," cetus Fajar.

Tenaga kesehatan penanganan pasien COVID-19 di RSUD Ulin Banjarmasin dibagi menjadi tiga sif kerja dalam 1x24 jam. Total dalam seminggu 36 jam mereka bertugas.

Tantangan paling berat, menurut Fajar, yaitu penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti baju hazmat suit yang lengkap dengan masker dan pelindung wajah. Semua area tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki wajib tertutup guna mencegah paparan COVID-19 dari pasien yang ditangani.

Rasa gerah harus bisa ditahan hingga sekitar lima jam lamanya. Bahkan, haus dan lapar yang melanda sudah terbiasa untuk ditahan, termasuk jika ingin buang air.

Protokolnya memang begitu ketat ketika sedang merawat pasien COVID-19. Sedikit saja melakukan kesalahan, maka ancaman terpapar virus yang belum ada vaksinnya itu dapat menimpa sang tenaga kesehatan.

Pengabdian tulus dengan segala pengorbanan para tenaga kesehatan di masa pandemi inipun semakin berat terasa mana kala banyak sentimen negatif dari masyarakat soal keberadaan COVID-19 itu.

"Jadi musuh kita sekarang tidak hanya corona tapi juga masyarakat yang sebagian masih belum memahami secara utuh pandemi ini. Bahkan, ada yang menganggap corona itu tidak ada. Ini sungguh kekeliruan besar yang bisa membahayakan kita semua," kata Fajar.

Dia menegaskan virus corona benar adanya. Hal itu dapat dibuktikan melalui tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pengambilan sampel pada tes usap tenggorokan atau juga lubang hidung.

"Kalau di foto rontgen terlihat gambaran paru-paru bercak putih. Jadi virusnya memang ada terlihat jelas. Biasa diserang pembuluh darah kecil hingga infeksi paru-paru seperti pneumonia atau kesulitan bernapas pada penderita yang sakit parah," tuturnya.

Namun, pada gejala ringan hanya mengalami pilek, sakit tenggorokan, batuk, dan demam hingga dapat pulih tanpa perlu perawatan khusus. Termasuk kini banyak suspek sehingga nampak tidak sakit dan tidak perlu perawatan medis.

"Meski begitu, OTG (Orang Tanpa Gejala) ini justru sekarang paling dikhawatirkan karena tanpa sadar menularkan kepada orang lain. Bagi yang imunitas turun tentu sangat rentan terpapar," katanya.

Apalagi, katanya, orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti diabetes, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Mereka lebih rentan untuk menjadi sakit parah.

"Bayangkan jika yang tertular orang rumah yang kita sayangi. Makanya, penting selalu waspada jika ada perubahan sekecil apapun dalam tubuh segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan. Hal ini penting sebagai antisipasi sedini mungkin agar kita tidak menularkan kepada orang lain jika memang telah terpapar," kata Fajar mengingatkan.

Soal adanya tuduhan membuat hasil negatif menjadi positif COVID-19, dipastikan Fajar juga mustahil. Karena semuanya terdata dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dia mencontohkan petugas medis yang meninggal dunia hingga mendapatkan santunan dari pemerintah harus dilengkapi data hasil positif terinfeksi COVID-19 yang disertai tanggal pemeriksaan dan hasil tes usap, tanda tangan dokter, dan pejabat berwenang sebagai legalitasnya.

Begitu juga terhadap masyarakat pasien COVID-19, semua dokumen pemeriksaannya tercatat. Apalagi sampai meninggal dunia, keluarga pasien dilaporkan berdasarkan data rekam medis.

"Memang masih ada masyarakat tidak terima jika anggota keluarganya meninggal lalu dikubur secara prosedur COVID-19. Padahal ini memang sudah protapnya meski hasil tes usap belum keluar misalnya," jelas Fajar.

Untuk itulah, menurut Fajar, pentingnya masyarakat terus diedukasi agar tidak salah dalam menyikapi penularan COVID-19 yang telah merenggut banyak nyawa manusia di seluruh dunia.

"Kami sebagai tenaga kesehatan juga tak ingin ada COVID-19. Karena sangat menguras tenaga harus kerja ekstra dengan tingkat risiko tinggi terpapar. Kami ingin hidup normal pulang ke rumah selesai kerja. Tersiksa batin harus terpisah dengan keluarga seperti ini tanpa tahu kapan berakhirnya," timpal Ekky.

Semua tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 akan mendapatkan haknya berupa insentif dari pemerintah. Hal itu sebagai wujud terima kasih negara atas dedikasi dan pengabdian tenaga kesehatan yang berada di garis depan dalam menanggulangi pandemi saat ini.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kalimantan Selatan Muhammad Muslim mengatakan pemerintah telah memangkas birokrasi pencairan insentif tenaga kesehatan COVID-19 sehingga cukup verifikasi di daerah.

Kabar gembira bagi tenaga kesehatan ini semoga segera terealisasi guna memotivasi pahlawan medis yang mengorbankan jiwa raganya demi kesehatan masyarakat dari ancaman COVID-19.

Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kalimantan Selatan per  28 Juli 2020 kasus terkonfirmasi positif di provinsi itu berjumlah 5.782 orang, 2.398 masih dirawat, 3.107 sembuh, dan 277 meninggal dunia.

Kalsel menjadi daerah yang cukup mendapat perhatian dari pemerintah pusat mengingat daerah yang hanya berpenduduk 4.303.979 jiwa ini menduduki peringkat ke-6 kasus tertinggi di Indonesia setelah Jawa Timur 20.812 kasus, DKI Jakarta 19.592 kasus, Sulawesi Selatan 8.991 kasus, Jawa Tengah 8.622 kasus, dan Jawa Barat 6.084 kasus.

Menghadapi serangan pandemi COVID-19, sebagai misi yang harus diselesaikan oleh semua kalangan masyarakat.