Anak Suriah Perlu Harapan Untuk Keluar Dari Pertempuran

id anak, palestina

Anak Suriah Perlu Harapan Untuk Keluar Dari Pertempuran

Ilustrasi (REUTERS/Suhaib Salem)

Damaskus (antarasulteng.com) - Di Suriah, negara yang telah sangat menderita selama empat tahun terakhir akibat perang saudara yang ganas dan pergolakan tak kunjung henti, anak-anak telah makin dekat ke ambang ketidak-berdayaan.

Padahal mereka mestinya hidup nyaman dengan penuh harapan. Memang tak bisa dipungkiri sebagian anak masih bisa tumbuh di dalam lingkungan keluarga yang memberi dukungan. Namun banyak anak telah dilatih sebagai petempur saat negeri yang dirundung krisis tersebut memasuki tahun kelima kerusuhan dan kekacauan yang tak memperlihatkan tanda akan berakhir.

Jawdat Tayfur, seorang murid kelas enam, mengatakan tak mau memikirkan sedikit pun mengenai cara menyandang senjata, meskipun ia datang dari daerah konflik yang dikuasai gerilyawan di bagian timur Ibu Kota Suriah, Damaskus.

Agar keluarganya bisa hidup, kata anak yang berusia 11 tahun itu, ayahnya memindahkan keluarganya ke luar Permukiman Jobar sebab situasi di sana sudah makin buruk.

"Kami telah menyaksikan begitu banyak kerusakan dan darah di Jobar dan memutuskan untuk pergi. Saat kami pergi, saya melihat mayat dilempar ke jalan dan saya melihat ayah saya dan bertanya, mengapa orang meninggal seperti itu? Sambil memeluk pundak saya, ayah memberitahu saya bahwa itu bukan urusan saya dan menarik saya pergi,"Jawdat mengenang, sebagaimana diberitakan Xinhua, Rabu siang.

Anak lelaki tersebut mengatakan ayahnya berusaha sebaik mungkin untuk membuat mereka melupakan perang, dan menjanjikan dia masa depan yang manis kalau mereka berprestasi di sekolah.

Jawdat, meskipun kehilangan rumahnya dan harus bekerja di satu restoran untuk membantu merawat keluarganya, beruntung memiliki orang tua semacam itu. Banyak anak lagi tidak seberuntung dia.

Observatorium Suriah bagi Hak Asasi Manusia pada Selasa mengatakan lebih dari 400 anak yang berusia di bawah 18 tahun telah direkrut oleh kelompok fanatik negara Islam (IS) sejak awal tahun ini.

Kelompok pengamat yang berpusat di Inggris tersebut menyatakan kebanyakan orang yang direkrut berasal dari bagian timur negeri itu, terutama di Provinsi Deir Az-Zour, tempat anggota IS beroperasi.

IS telah berusaha keras untuk merekrut anak-anak yang tinggal di dekat kantor cabangnya.

Kelompok fanatik itu tak pernah peduli apakah anak-anak itu berusaha memperoleh, atau tidak, izin orang tua mereka. Kadang-kala, IS bahkan memaksa orang tua untuk mengirim anak mereka ke kamp pelatihan.

Di kamp tersebut, anak-anak diharuskan mempelajari kepercayaan kelompok itu dan cara berperang, kata Observatorium tersebut.

Untuk mempertahankan kehadiran anak-anak tersebut, IS memikat mereka dengan hadiah uang. Menurut Observatorium itu, sebanyak 140 anak kecil yang berusia di bawah 18 tahun dan bersenjata dikirim ke medan tempur di Kota Ayn Al-Arab, yang kebanyakan warganya orang Kurdi, di bagian utara Suriah untuk melawan petempur Kurdi pada Januari.

Selain itu, beberapa video yang memperlihatkan anak-anak sedang berlatih dan meneriakkan slogan sektarian telah bereda luas di Internet. Bahkan anak-anak yang berada di sekolah telah kehilangan kurikulum normal, sebab IS menghapuskan buku pelajaran dan kurikulum pemerintah dan menggantinya dengan bahan yang mengajarkan Hukum Syariah menurut pemahaman IS.

"Saya berpendapat anak-anak tak boleh menyandang senjata. Ini harus diubah sebab negara kami indah. Saya kira tekanan telah memaksa orang menggunakan senjata tapi saya pribadi takkan berfikir untuk membawanya," kata Jawdat kepada Xinhua.

"Saya mencintai perdamaian. Saya benci senjata, kehancuran dan pertumpahan darah. Saya menentangnya sebab saya sudah muak dengan itu. Saya berkata kepada anak-anak yang dipaksa menyandang senjata bahwa pilihan ini akan melukai kalian," ia menambahkan.

Banyak anak di sekolah tempat Jawdat Tayfur belajar mengatakan mereka memimpikan untuk menjadi orang yang berhasil saat mereka besar, meskipun tantangan menghadang keluarga mereka, terutama tantangan ekonomi.

Sementara itu, harapan untuk menjadi dokter dan insinyur masih beredar luas di berbagai sekolah di ibu kota negeri tersebut.
(C003/skd)