Jakarta (ANTARA) - Negara Indonesia dikenal sebagai “gemah ripah loh jinawi” atau memiliki ketenteraman, makmur atas suburnya tanah-tanah di Nusantara. Bukan semata berkah saja, namun kesuburan tanah di Indonesia juga berkaitan erat dengan banyaknya jalur gunung api yang memicu kesuburan tanah tersebut.
Namun, dampak dari jalur gunung api tersebut adalah intensitas gempa yang terjadi di Indonesia akan menjadi lebih sering dari negara yang tidak dilalui “cincin api”.
Hingga saat ini, gempa memang tidak bisa diprediksi, namun bukan berarti diam dan menunggu saja. Gejala gempa dan pemetaan gempa dapat dipelajari dalam kajian ilmu ilmiah, sehingga bisa berpotensi menyelamatkan ribuan nyawa manusia.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Nuraini Rahma Hanifa mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk meneliti gerakan dan getaran bawah tanah untuk dipetakan sebagai potensi besar.
Ia bahkan pernah mendapatkan gelar penghargaan Women's International Network for Disaster Risk Reduction (WIN DRR) Leadership Awards 2021 dari UNDDR di Bangkok atas dedikasinya sebagai perempuan untuk mempelajari pemetaan dan karakteristik gempa.
“Penelitian saya di bidang Teknik Geodesi, Geomatika, dan Geospatial bertujuan untuk memahami geodnamika bumi untuk studi sains dan rekayasa kegempaan, tsunami, dan disaster science, tapi saya lebih nyaman menyebutnya Geosains,” kata Nuraini Rahma.
Indonesia merupakan negara kepulauan dan juga negara seismik aktif, sehingga banyak sekali terjadi gempa, tsunami dan bencana alam lainnya yang memakan korban, mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah populasi yang sangat banyak, terdapat lebih dari 200 juta penduduk yang perlu dilindungi dari ancaman bencana alam.
Lulusan dengan sebutan Doctor of Science dari Universitas Nagoya Jepang ini mempelajari fenomena gempa dari kejadian Pangandaran 2006 yaitu sebagai tsunami senyap dan berkesempatan langsung belajar dengan Professor Emeritus seismologi dan penemu Tsunami Senyap.
Kemudian, tahun 2008 setelah terpasang alat monitoring dari Badan Informasi Geospasial (BIG) Continuous GPS network (Ina-CORS), data tersebut ia gunakan dalam studi S3 untuk mengkuantifikasi estimasi potensi gempa megathrust di Selatan Jawa bagian barat. Data cGPS selama 3 tahun menunjukkan adanya akumulasi energi di bidang megathrust Jawa setara dengan paling tidak 8,7 magnitudo dan telah dipublikasikan pada jurnal Q1 tahun 2014.
Area pantai selatan di Jawa Barat adalah salah satu area yang rentan terdampak bahaya gempa megathrust dan tsunami.
Hasil penelitian Nuraini mendapati modelling yang dapat digunakan sebagai dasar analisis dampak potensial gempa dan tsunami di Pangandaran.
Lebih lanjut, Rahma menjelaskan, banyak negara di wilayah Asia-Pasifik rawan akan bencana. Ia mencontohkan, Indonesia memiliki setidaknya 11 jenis bahaya yang bisa memicu risiko bencana yang kompleks dan mengancam hampir seluruh penduduk sekitar 272 juta orang.
Salah satu bencana tersebut, lanjut Rahma, adalah bencana tsunamigenic Sumatera 2004, serangkaian gempa tsunami di sepanjang Palung Sunda, hingga gempa, tsunami dan likuifaksi Palu 2018. Untuk itu, sambungnya, ilmu pengetahuan tentang kebencanaan perlu diwariskan lintas generasi dan disebarkan pada tingkat lokal.
Hasil studi S3 yang dilakukan Rahma, kemudian menjadi salah satu input dalam penyusunan pemutakhiran Peta Sumber dan Bahaya Gempa Nasional tahun 2017 yang disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN), yang selanjutnya memutakhirkan SNI 1726:2019 Kode Bangunan Tahan Gempa untuk Gedung dan Non Gedung, serta dijadikan dasar dalam penyusunan peta kajian risiko gempa sesuai dengan Perka BNPB 2/2012.
Rahma belajar kegempaan di Jepang yang juga merupakan negara “langganan” gempa, ia menjelaskan meski sama-sama kerap didera gempa dan tsunami, namun Jepang dinilai mampu menekan jatuhnya korban jiwa.
“Gempa sendiri sedikit rasionya untuk bisa mematikan, namun rata-rata korban jiwa datang dari akibat tertimpa runtuhan bangunan dan konstruksi lainnya yang rubuh, nah Jepang bisa minim korban karena menyadari hal tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan formula Jepang dalam meminimalisir korban jiwa, yaitu secara literasi kegempaan sudah dilakukan sejak dini, dengan banyak mengadakan simulasi gempa di sekolah-sekolah, sehingga spontanitas dalam bertindak saat bencana sudah terbentuk. Kedua adalah bangunan yang rata-rata harus tersertifikasi tahan gempa dan dengan materi yang ringan, sehingga ketika roboh tidak mematikan orang yang tertimpa di bawahnya.
Tangguh bencana
Bencana terjadi pada saat manusia yang hidup di atas bumi tidak siap hidup harmonis dengan dinamika bumi, sehingga aspek manusia kemudian menjadi hal yang sangat penting.
Hal tersebut mendorong untuk mentranslasi dan menjembatani hasil-hasil riset kebumian untuk mendorong kebijakan dan aksi di masyarakat sehingga dapat hidup lebih tangguh terhadap bencana dengan berbasis sains.
Berbagai kejadian bencana seperti gempa tsunami Aceh 2004, gempa tsunami Pangandaran 2006, gempa-tsunami-likuifaksi Palu 2018, tsunami Krakatau 2018 dan masih banyak lagi mengajarkan bahwa wilayah nusantara yang demikian besarnya memiliki karakteristik lokal di masing-masing daerah.
Untuk itu, maka riset mendetail secara lokal perlu lebih banyak lagi dilakukan dan diperdalam, disandingkan dengan kearifan lokal, sehingga harapannya dapat turut membantu masalah bangsa akan bencana alam, untuk mengurangi disrupsi pembangunan dan memajukan kesejahteraan bangsa, dalam mencapai Indonesia emas 2045.
Upaya-upaya pengurangan risiko bencana berbasis sains juga selaras dengan agenda global untuk SDGs dan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2030. Asia Pasifik merupakan rumah banyak bencana yang terjadi di dunia, dan upaya bersama sangat diperlukan.
“Saya membangun jejaring internasional bersama U-INSPIRE Alliance, aliansi anak muda yang bergerak untuk Pengurangan Risiko Bencana dan Perubahan Iklim berbasis Sains, Rekayasa, Teknologi dan Inovasi, yang peluncurannya didukung oleh ICIAR LIPI dan UNESCO offica Asia Pacific serta UNDRR Asia Pacific tahun 2018,” katanya.
Saat ini U-INSPIRE Alliance yang diinisiasi dari Indonesia terdiri dari 12 negara di Asia dan terus berkembang, menghubungkan berbagai Perguruan Tinggi internasional, Lembaga riset, socio-preneurship dan pemerintahan. Melalui jejaring ini, ia berkesempatan menjadi perwakilan saintis muda di Asia Pacific Science, Technology Advisory Group (AP-STAG) United Nation for Disaster Risk Reduction (UNDRR).
Sementara itu, terkait dengan peringatan dini tsunami akibat dampak dari gempa, pada kesempatan yang berbeda, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tengah meningkatkan super komputer yang ada dengan teknologi High Performance Computing (HPC) terkini, guna memperkuat sistem peringatan dini.
Implementasi Teknologi HPC terkini dapat meningkatkan kemampuan sistem Peringatan Dini Multi Bencana yang melibatkan Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), Meteorology Early Warning System (MEWS), dan Climate Early Warning System (CEWS).
“Kami mengimplementasikan HPC dengan skala lebih dari 2 PetaFlops. Ini menjadikan sistem peringatan dini BMKG jauh lebih cepat , tepat, dan akurat," ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Dwikorita memaparkan, keberadaan HPC dalam sistem peringatan dini kebencanaan sangat penting untuk menganalisis berbagai kompleksitas dan ketidakpastian dalam fenomena cuaca, iklim, tektonik dan kegunungapian. Pasalnya, letak geografis Indonesia yang dikontrol oleh lempeng-lempeng tektonik aktif dan dikelilingi oleh cincin api, mengakibatkan hampir semua wilayah berpotensi terjadinya bencana alam. Belum lagi potensi bencana hidrometrologis yang dipicu oleh perubahan iklim global yang juga tidak boleh dikesampingkan.
Jika masyarakat paham dengan dasar-dasar geosains, maka literasi kebencanaan akan menyelamatkan jutaan nyawa dari korban bencana.