Jakarta (ANTARA) - Manajer Chelsea Thomas Tuchel gundah gulana memikirkan ketidakmenentuan mengenai masa depan Roman Abramovich yang adalah pemilik The Blues setelah Rusia menginvasi Ukraina, padahal skuadnya menghadapi laga sangat penting melawan Liverpool dalam final Piala Liga pada 27 Februari ini.
Abramovich yang membeli Chelsea Football Club pada 2003 memang belum dikenai sanksi oleh Inggris, tetapi namanya sudah disebut parlemen ketika Perdana Menteri Boris Johnson mengungkapkan sanksi besar-besaran terhadap Rusia tak lama setelah Moskow menginvasi Kiev.
Kegundahan sama menyelimuti penggemar Everton menyangkut masa depan pemiliknya yang juga pebisnis Rusia, Alisher Usmanov.
Anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh, Margaret Hodge, meminta Abramovich dan Usmanov harus ikut dikenai sanksi karena dianggap sebagai bagian dari "para kleptokrat yang mencuri dari rakyat Rusia."
Di lain pihak Manchester United masygul karena harus memutuskan kontrak sponsor maskapai Rusia, Aeroflot, setelah Boris Johnson melarang sejumlah perusahaan nasional Rusia beroperasi di Inggris, termasuk Aeroflot yang memberikan pemasukan 8 juta pound per musim kepada Setan Merah.
Separuh dari total saham maskapai yang didirikan pada 1923 itu dimiliki pemerintah Rusia yang menjadi sasaran sanksi Inggris, dan sejumlah negara Barat lain, tak lama setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina.
United tunduk kepada pemerintah sehingga memutuskan hubungan kesponsoran yang sudah dijalin sejak 2019 itu,18 bulan lebih cepat sebelum kontrak habis.
Man United tak menentang pemerintah Inggris, sebaliknya menyampaikan pesan solidaritas kepada Ukraina dan menentang invasi Rusia ke Ukraina.
Yang juga berlaku seperti itu adalah para atlet sendiri, di antaranya dua pebalap Formula 1 Sebastian Vettel dan Max Verstappen yang menyatakan tak sudi mengikuti Grand Prix Rusia.
Sedangkan bintang Manchester City yang juga pemain timnas Ukraina, Oleksandr Zinchenko, memposting foto Vladimir Putin dalam akun Instagram-nya di bawah kalimat sarkastis, "Saya harap kamu mati dengan cara yang paling menyakitkan." Unggahan ini kemudian dihapus dari akun Zinchenko.
Ironisnya, suara antiperang juga diutarakan atlet-atlet Rusia, antara lain stiker Dynamo Moscow Fedor Smolov yang menyerukan "no war" dalam akun Instagramnya. Smolov juga menyatakan bersimpati kepada Ukraina.
Rekan senegaranya, petenis Andrey Rublev pun demikian. Dia menuliskan kata 'no war please' di layar kamera begitu memenangi semifinal Dubai Tennis Championship.
Rekannya yang juga petenis nomor satu dunia, Daniil Medvedev, menyerukan perdamaian tanpa mendukung aksi negaranya di Ukraina.
Selanjutnya: Nasib raksasa energi Rusia Grazprom
Tak mau Rusia
Sentimen serupa terjadi di Jerman di mana raksasa energi Rusia, Grazprom, yang menjadi salah satu target sanksi Barat, menjadi sponsor klub sepakbola Schalke sejak 2007. Para pemimpin Jerman meminta klub Bundesliga itu memutus kesepakatan sponsorship dengan Gazprom.
Gazprom juga sponsor besar sepakbola, termasuk UEFA sehingga pada setiap pertandingan dalam kompetisi-kompetisi sepakbola dalam naungan UEFA selalu ada logo Gazprom baik di stadion maupun iklan televisi pemegang hak siar kompetisi UEFA.
Raksasa energi Rusia itu juga sponsor besar FIFA, tapi hingga kini badan sepakbola dunia itu bungkam soal kesponsoran Gazprom.
Namun, sejumlah negara sudah mendesak FIFA agar mengecualikan Rusia, termasuk Polandia yang tak mau memainkan laga kualifikasi Piala Dunia melawan Rusia yang sedianya diadakan di Moskow bulan depan. Swedia dan Ceko juga tak mau memainkan pertandingan kualifikasi Piala Dunia di bumi Rusia padahal laga ini sangat penting karena memperebutkan satu jatah ke putaran final Piala Dunia 2022 di Qatar.
Sebaliknya sejumlah organisasi olahraga global langsung menjaga jarak dari Rusia, antara lain. Formula 1 yang membatalkan Grand Prix Rusia di Sochi, sekalipun balapan ini baru digelar 25 September mendatang.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) bahkan mengutuk Rusia karena melanggar gencatan senjata Olimpiade yang disepakati tujuh hari sebelum Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 dibuka.
IOC sampai menyeru semua negara anggota agar bekerjasama memanfaatkan olahraga untuk mempromosikan perdamaian, dialog dan rekonsiliasi di wilayah-wilayah konflik.
Sementara itu UEFA memutuskan pertandingan leg kedua 16 besar Liga Europa antara klub Liga Jerman RB Leipzig melawan klub Rusia, Spartak Moscow, yang tadinya diadakan di Moskow, tak jadi diadakan di ibukota Rusia itu.
UEFA juga membatalkan Saint Petersburg di Rusia sebagai venue final Liga Champions musim ini, dengan memindahkannya ke Saint Denis di Paris, Prancis.
Tak lama setelah itu, IOC mendesak federasi-federasi olahraga dunia agar membatalkan semua kejuaraan internasional yang diadakan di Rusia dan Belarus, serta tak mengibarkan bendera dan memperdengarkan lagu kebangsaan kedua negara itu.
Belarus yang berada di utara Ukraina, adalah salah satu dari tiga titik dari masa Rusia melancarkan invasi ke Ukraina.
Sejumlah federasi olahraga dunia yang dijadwalkan menggelar kejuaraan internasional di Rusia, termasuk renang, ski, tenis, catur, dan judo, menjawab seruan IOC itu dengan membatalkan rencana kompetisi yang mereka adakan di Rusia.
Namun sebagian kecil federasi olahraga seperti bola voli enggan terburu-buru membatalkan jadwal kompetisi di Rusia.
Selanjutnya: Bisakah efektif?
Bisa efektif
Efektifkah semua ini menekan Rusia guna menghentikan agresinya di Ukraina?
Terlalu dini untuk menjawabnya, namun jika perang Rusia melawan Ukraina berkepanjangan, maka kepercayaan klub-klub olahraga, atlet, dan federasi terhadap kalangan bisnis Rusia bisa tergerus.
Padahal butuh waktu bertahun-tahun bagi pebisnis Rusia dalam membangun kepercayaan seperti itu, apalagi secara historis sulit membangun kesalingpercayaan di antara masyarakat Barat dan Rusia.
Kerusakan yang dialami kalangan bisnis besar pemilik klub atau yang bertalian dengan tim olahraga dan reputasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun itu kemungkinan bakal sangat besar.
Dan jika tim-tim olahraga dan atlet sampai turut memboikot individu dan perusahaan-perusahaan Rusia yang mendukung invasi Rusia di Ukraina, maka publik dan pendukung akhirnya akan tersulut ikut marah dan melancarkan gerakan solidaritas.
Ketika ini terjadi maka reputasi dan citra yang bertahun-tahun dibangun individu dan entitas bisnis Rusia itu bakal tercederai, bahkan rusak, selain menggerus pendapatan, engagement dan kesadaran kepada brand.
Contoh teraktual terlihat pada efektifnya penggemar olahraga dalam mementahkan proposal Liga Super Eropa beberapa waktu lalu.
Kekuatan serupa itu bisa merusak citra dan reputasi negara dan perusahaan asing yang sejak lama memanfaatkan olahraga sebagai alat mempromosikan profil dan agendanya, entah itu lewat menyelenggarakan acara olahraga, kontrak sponsor, maupun dengan cara memiliki klub atau organisasi olahraga, persis dilakukan sejumlah pebisnis Rusia di Eropa.
Pada era di mana publik bisa turut menekan langsung, baik itu atas pertimbangan moral, etika, maupun politik, maka penggemar olahraga bisa menekan langsung klub dan organisasi olahraga, untuk akhirnya menekan pemilik klub yang banyak di antaranya berasosiasi dengan kepentingan rezim asing yang membutuhkan citra positif di luar negeri.
Mungkin tidak akan seefektif itu, tetapi tekanan terhadap individu-individu pelaku bisnis Rusia yang memasuki bisnis olahraga di Eropa bisa berdampak menjadi tekanan yang dilancarkan individu-individu bisnis Rusia itu sendiri kepada rezim Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin.
Memang tak akan instan, tetapi dampaknya pasti, langsung maupun tidak langsung, cepat atau lambat, apalagi kebanyakan konflik pasca Perang Dunia Kedua berakhir akibat tekanan sipil.
Dan atlet, klub serta penggemar olahraga adalah juga masyarakat sipil itu.