Kolonodale, Sulteng (ANTARA) - Kebetulan saya sudah beberapa kali menjadi penguji pada Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ternyata masih banyak wartawan -- apalagi kaum awam ya -- yang tidak bisa mendefinisikan apa itu wartawan profesional dan apa beda media jurnalistik dan media sosial.
Kamus bahasa Indonesia online mendefinisikan kata profesional dengan tiga arti. Pertama: yang bersangkutan dengan profesi.
Kedua: Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Contoh: ia seorang juru masak yang profesional. Dan yang ketiga: mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya, contoh: pertandingan tinju profesional, petinjunya dibayar (sangat mahal lagi).
Sedangkan wartawan alias jurnalis alias pewarta, adalah seseorang yang menjalankan tugas mencari, mengumpulkan, memverifikasi data dan informasi lalu menyusunnya dalam sebuah teks berita dan/atau artikel, foto, video dan audio, lalu menyiarkannya di media massa jurnalistik.
Lalu apa pula media jurnalistik? Media jurnalistik adalah media massa baik cetak, audio-video maupun portal yang praktik pemberitaannya sepenuhnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 tentang pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta aturan main lainnya yang diterbitkan oleh Dewan Pers dan/atau organisasi profesi wartawan.
Oleh karena itu, media jurnalistik dan jurnalisnya dilindungi oleh UUD No.40 Tahun 1999 tentang pers yang sifatnya lex specialist, tidak menggunakan hukum pidana saat terjadi delik pers.
Sekarang soal wartawan profesional. Tokoh pers Indonesia Parni Hadi mengemukakan bahwa wartawan profesional itu harus memenuhi tiga unsur pokok.
Pertama: yang bersangkutan memiliki pendidikan dan/atau pengetahuan yang memadai tentang profesi ini.
Media main-stream (arus utama) dewasa ini mensyaratkan seorang jurnalisnya harus lah sarjana. Dia memang tidak harus sarjana ilmu komunikasi, bisa sarjana filsafat, sarjana agama, hubungan internasional, ekonomi dan lain sebagainya yang dilengkapi dengan kursus dan diklat-diklat untuk menambah pengetahuan dan keterampilan profesi.
Alat ukur terbaru terkait profesionalisme yang kaidahnya diterbitkan Dewan Pers untuk wartawan profesional dewasa ini adalah mereka yang sudah bekerja di media jurnalistik paling singkat dua tahun dan telah lulus uji kompetensi wartawan, baik tingkat Muda, Madya maupun Utama.
Jadi kalau ada wartawan yang bukan sarjana, dan tidak pernah mengikuti pendidikan dan latihan profesi, belum mengantongi sertifikat UKW, ditambah lagi malas untuk belajar secara mandiri, patutlah diragukan profesionalismenya.
Syarat kedua: wartawan profesional dilindungi dan mentaati hukum dan kode etik dalam menjalankan profesinya. Dalam kaitan ini, Indonesia telah memiliki UU No.40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Kedua perangkat hukum dan etik ini berfungsi sebagai pelindung kemerdekaan pers sekaligus instrumen represif untuk keluarga besar pers yang melakukan pelanggaran.
Itu sebabnya penulis dan pewarta yang bekerja di media yang tak tunduk pada ketentuan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik -- contoh medsos -- tidak boleh disebut jurnalis. Oknum yang mengaku jurnalis yang mendatangi atau menelpon narasumber tanpa memperkenalkan diri/identitasnya dan memberi tahu maksud dan tujuannya mewawancarai narasumber, sama sekali bukanlah wartawan profesional. Jika terjadi delik pers pada oknum-oknum seperti itu, maka konsekwensi hukum yang mereka hadapi adalah UU pidana, bukan UU Pers.
Syarat ketiga wartawan profesional, menurut Parni Hadi yang mantan Pemimpin Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dan salah satu pendiri Koran Harian Republika itu adalah: wartawan profesional mendapat bayaran alias gaji yang pantas dari perusahaan pers tempatnya bekerja.
Artinya, kalau ada oknum yang bekerja sebagai wartawan, namun tidak ada gaji dan tunjangan serta perlindungan asuransi sosial, sehingga hanya mengandalkan penghasilan insidentil dari narasumber, maka mereka bukanlah wartawan profesional.
Kesimpulannya, semua pekerjaan yang memenuhi tiga unsur di atas yakni punya pengetahuan dan keterampilan, memiliki kode etik dan UU yang melindungi mereka saat bekerja serta mendapatkan bayaran/gaji yang wajar, dapatlah dikatakan profesi. Contohnya; wartawan, advokat dan dokter.
Tidak mudah menghasilkan wartawan profesional di 'zaman edan' ini. Perlu upaya keras jurnalis dan media yang mempekerjakan mereka, dengan ditopang oleh sinergitas semua pihak, khususnya organisasi profesi, mitra-mitra kerja/narasumber serta masyarakat luas.
Mewujudkan pers yang profesional merupakan tanggung jawab bersama karena wartawan dan media profesional akan menyehatkan kehidupan demokrasi dan menjadi perekat sosial yang ampuh di tengah turbulensi interaksi dan relasi sosial dewasa ini.