Menteri Hukum dan HAM: KUHP upaya reformasi perluasan jenis pidana

id Ruu kuhp, pro kontra rkuhp, rkuhp disahkan, pengesahan RUU KUHP,Reformasi kuhp

Menteri Hukum dan HAM: KUHP upaya reformasi perluasan jenis pidana

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna Hamonangan Laoly diwawancarai awak media massa di Jakarta, (21/11/2022). (ANTARA/Muhammad Zulfikar).

Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru saja disahkan menjadi undang-undang merupakan upaya reformasi perluasan jenis pidana bagi pelaku kejahatan.

"Ini menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan," kata Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Menkumham menyebutkan terdapat tiga pidana yang diatur dalam KUHP yang baru saja disahkan DPR RI melalui rapat paripurna, yaitu pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus.

Dalam pidana pokok, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan serta pidana kerja sosial.

"Perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun," jelas Yasonna.

Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana.

Keadaan-keadaan tersebut antara lain jika terdakwa adalah anak, terdakwa berusia di atas 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan beberapa kondisi lainnya.

Kemudian diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan tertentu, yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat maupun merugikan perekonomian negara.

Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.

Yasonna menambahkan pelaku tindak pidana dapat juga dijatuhi tindakan, yaitu perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidanaan Indonesia.

Sebagai contoh, RUU KUHP mengatur tindakan yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan tindakan yang bisa dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau intelektual.

Terakhir, perumus RUU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi serta orang-orang yang terlibat di dalamnya.



Ibarat Pepatah

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi undang-undang ibarat pepatah tidak ada gading yang tidak retak.

"Tidak ada gading yang tidak retak, apalagi kita masyarakatnya multikultur, multi-etnis," kata Yasonna usai Rapat Paripurna DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa.

Hal tersebut, kata Yasonna, lantaran perjalanan panjang penyusunan RKUHP yang memakan waktu lama di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang multikultur dengan beragam suku, agama dan ras.

"Belanda saja yang homogen memerlukan waktu panjang merancang undang-undangnya, 70 tahun. Kita yang isinya masyarakat multi-etnis ini memerlukan akomodasi yang luas," katanya.

Menkumham kemudian merinci proses perjalanan penyusunan RKUHP yang disebutnya tidak mudah karena telah bergulir sejak tahun 1963 dengan melewati kepemimpinan kepala negara yang telah berganti-ganti pula.

"Mulai dari zaman Pak Harto (Soeharto), para ahli juga sudah berkumpul, drafting dimulai kemudian pernah dimasukkan pada zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kita bahas. Kemudian karena tidak cukup waktu, dilanjutkan lagi pada masa pertama pemerintahan Pak Jokowi," tuturnya.

Kemudian, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat pertama untuk dibahas dalam pengambilan keputusan tingkat kedua pada Rapat Paripurna DPR RI sekitar September 2019, namun urung dilanjutkan pembahasannya karena gelombang protes terhadap 14 poin krusial di dalamnya.

"Kita tidak teruskan pembahasannya di tingkat kedua. Kemudian kita carry over pada periode yang sekarang," ujarnya.

Yasonna menyebut pada periode kepemimpinan saat ini, pembahasan RKUHP dilanjutkan dan Tim Perumus RKUHP pun telah melakukan sosialisasi ke berbagai daerah sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo.

"Kita bawa kembali kepada ratas (rapat terbatas) dan Presiden memerintahkan kembali kepada kami untuk sosialisasi ke seluruh penjuru Tanah Air, ke seluruh penjuru stakeholders yang ada," kata Menkumham.

Yasonna pun mengakui penyusunan RKUHP tidak mungkin dapat mengakomodasi 100 persen lapisan masyarakat.

"Semua masukan masyarakat kami terima dengan baik. Tentunya pada saatnya kita harus mengambil keputusan dalam satu rapat paripurna untuk melahirkan (KUHP), tadi saya katakan ternyata tidak mudah melepaskan diri dari warisan kolonial," ucapnya.

Menurut ia, apabila Indonesia masih terus memakai KUHP lama yang merupakan produk kolonial, hal itu menunjukkan tidak ada kebanggaan sebagai anak bangsa karena hukum pidana suatu negara disebutnya merupakan refleksi peradaban suatu bangsa.

"Saya kira kita tidak mau lagi menggunakan produk kolonial, terlalu lama. Seolah-olah anak bangsa ini tidak mampu melahirkan sesuatu produk undang-undang," kata Yasonna.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi undang-undang.

"Apakah RUU KUHP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Setelah itu, seluruh anggota DPR yang hadir menyetujui RUU KUHP untuk disahkan menjadi undang-undang.