Jakarta (ANTARA) - Pada hari ketika rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. dimulai 8 Mei, kabar buruk tersiar dari Myanmar.
Kabar itu adalah konvoi ASEAN yang di dalamnya terdapat diplomat Indonesia yang hendak menyalurkan bantuan di Taunggyi di bagian timur Myanmar, diserang kelompok bersenjata tak dikenal.
Sehari kemudian Presiden Joko Widodo sangat menyayangkan baku temak ketika AHA Center (ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance) dan tim monitoring ASEAN hendak menyerahkan bantuan kemanusiaan di Myanmar.
Indonesia dan Singapura adalah dua negara ASEAN yang bereaksi keras terhadap insiden ini.
Menurut laman The Irrawaddy, bagian selatan Negara Bagian Shan, di mana Taunggyi berada, sebenarnya tak begitu tersentuh konflik bersenjata yang berkecamuk di hampir semua bagian Myanmar setelah pada 2021 militer negara itu mengudeta pemerintahan terpilih dalam pemilu demokratis yang diadakan setahun sebelum kudeta.
Namun, Maret silam terjadi pembantaian sekitar 30 warga sipil di Shan bagian selatan, yakni warga yang tengah mengungsi di sebuah biara.
Baik militer Myanmar maupun pihak oposisi saling tuding mengenai siapa yang berada di balik pembantaian itu.
Kini, dua bulan setelah kejadian tersebut, teror menimpa tim ASEAN yang hendak menyalurkan bantuan ke negara bagian yang berada di Myanmar timur tersebut.
Insiden ini memang tak merenggut korban jiwa, tapi sulit tak dianggap sebagai teror atau paling tidak gangguan terhadap inisiatif-inisiatif ASEAN.
Entah siapa yang bertanggung jawab, namun menurut The Irrawaddy, pihak-pihak yang memerangi junta membantah tudingan telah menyerang konvoi ASEAN.
Itu termasuk Organisasi Pembebasan Nasional Pa-O (PNLO) yang merupakan kelompok etnis bersenjata di Shan. Namun, PNLO dituding sebagai pelaku serangan itu oleh kelompok Shan dukungan junta, Organisasi Nasional Pa-O (PNO).
PNLO tentu saja menampik tuduhan itu dengan menyatakan mustahil menyerang kawan seiring karena sejumlah pejabat PNLO turut serta dalam konvoi ASEAN itu.
Mereka balik menuding junta justru pihak yang melakukan serangan, dan ini diamini kelompok oposisi utama Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG).
NUG adalah pemerintahan Myanmar di pengasingan yang dibentuk oleh para legislator pemenang Pemilu 2020 dan juga anggota parlemen yang dibubarkan junta setelah kudeta 2021.
Sudah tepat
Shan adalah satu dari sejumlah wilayah Myanmar yang angkat senjata setelah pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang memenangi Pemilu 2020, digulingkan oleh junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing.
Pergolakan sengit terjadi, paling tidak di tujuh dari 15 negara bagian/wilayah di Myanmar, yakni Shan, Chin, Kachin, Kayah, Kayin, Mon, dan Rakhine.
Konflik ini semakin sengit dari waktu ke waktu sampai menghilangkan nyawa sekitar 3.200 warga sipil Myanmar, dan memaksa ribuan orang lainnya mengungsi.
Sayangnya, di tengah konflik yang terus memburuk, junta semakin keras menindas lawan-lawannya, termasuk etnis minoritas yang seharusnya dirangkul, sampai kemudian konvoi ASEAN yang akhirnya bisa masuk Myanmar, ternyata tak mendapatkan jaminan keamanan secara penuh.
Penyaluran bantuan kemanusiaan untuk wilayah-wilayah Myanmar yang diamuk konflik adalah satu dari lima hal dalam Konsensus Lima Poin yang disepakati ASEAN dan pemimpin junta Min Aung Hlaing di Jakarta pada April 2021 untuk solusi damai di Myanmar.
Empat poin lainnya adalah (1) penghentian kekerasan sesegera mungkin di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri, (2) dialog konstruktif yang melibatkan semua pihak guna mencari solusi damai untuk kepentingan rakyat Myanmar, (3) utusan khusus Ketua ASEAN memfasilitasi mediasi dialog dibantu Sekretaris Jenderal ASEAN, dan (5) utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak di negara itu.
Sekalipun konvoi ASEAN itu menjadi sedikit petunjuk adanya kemauan dari junta untuk mulai menyelaraskan sikap dengan Konsensus Lima Poin, ASEAN tidak puas terhadap langkah junta pimpinan Min Aung Hlaing.
ASEAN tentu kecewa karena junta yang seharusnya pihak yang paling terikat kepada Konsensus Lima Poin karena kompromi ini disepakati antara mereka dengan ASEAN pada 2021 di Jakarta.
Oleh karena itu, ASEAN sudah tepat melarang lagi pemimpin junta menghadiri KTT, setelah tahun lalu di Kamboja organisasi kawasan ini menutup pintu pertemuan tingkat tinggi ASEAN untuk pemimpin junta.
Tekanan semacam ini mesti dilanjutkan guna memaksa junta melibatkan pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka untuk berunding guna mendapatkan solusi menyeluruh, sehingga konflik Myanmar segera berakhir.
Semua upaya itu bukan mengintervensi masalah dalam negeri Myanmar, melainkan demi mewujudkan apa yang sudah disepakati junta dengan ASEAN.
Demi stabilitas kawasan
Junta Myanmar tak boleh dibiarkan terus mengulur waktu sembari memainkan tangan-tangan ekstra-ASEAN, khususnya China dan Rusia, untuk berkelit dari Konsensus Lima Poin.
Jika itu dibiarkan, situasi krisis di Myanmar bisa semakin parah dan menjauhi solusi, apalagi masalah-masalah Myanmar semakin berat, termasuk perekonomian yang sudah jatuh ke titik nadir sejak kudeta Januari 2021.
Ketidakmampuan dan mismanajemen junta dalam mengelola ekonomi Myanmar, membuat ekonomi negara ini semakin tertekan.
Menurut Bank Dunia, ekonomi Myanmar yang sempat tumbuh pesat sebelum kudeta 2021, mengalami kontraksi 18 persen pada 2021, sampai Dana Moneter Internasional (IMF) pun memprediksi ekonomi Myanmar melamban tahun ini.
Ekonomi Myanmar yang dikendalikan militer dan kroni-kroninya itu juga sudah relatif kering dari investasi asing, baik karena sanksi internasional maupun akibat hengkangnya sejumlah perusahaan asing yang sebelum ini aktif berbisnis di negara itu.
Perekonomian Myanmar juga semakin terpuruk setelah nilai mata uangnya mengalami devaluasi untuk memangkas separuh dari nilai asalnya.
Devaluasi ini mendorong inflasi tinggi yang pada 2022 sudah menyentuh 16 persen.
Jika sudah begitu, maka harga-harga pun menjadi sulit diimbangi oleh daya beli masyarakat. Dalam situasi seperti ini, masyarakat menjadi paling rentan menjadi pihak yang paling terancam mencapai akses ke bahan pokok dan pangan.
Skenario ini membuat Program Pangan Dunia (WFP) memprediksi 14,4 juta penduduk Myanmar atau 25 persen dari total penduduk negeri itu terancam rawan pangan.
Keadaan ini bisa membuat Myanmar menghadapi dua malapetaka sekaligus, yakni siklus kekerasan dan hantu kelaparan.
Jika ini yang terjadi, hal lebih buruk bisa terjadi pada kawasan, termasuk gelombang pengungsi yang bisa merepotkan negara-negara ASEAN yang berbatasan dengan Myanmar, yakni Laos, Thailand dan Malaysia.
Situasi ini juga bisa mengganggu derap langkah ASEAN dalam menghadapi tantangan-tantangan kawasan dan global yang mutlak membutuhkan sikap bersama yang kuat dari seluruh anggota ASEAN.
Inilah mungkin alasannya ASEAN mesti lebih aktif lagi menekan junta dalam melibatkan semua pihak demi solusi langgeng dan menyeluruh di Myanmar karena situasi ini bisa mendorong stabilitas kawasan yang bisa membuat ASEAN fokus membentuk diri sebagai pusat pertumbuhan dunia.