Lada Bangka Belitung yang semakin tergerus

id Lada,Lada Bangka Belitung

Lada Bangka Belitung yang semakin tergerus

Dokumentasi petani sedang memanen lada (ANTARA/Apriliansyah)

Pangkalpinang (ANTARA) - Jika berbicara Provinsi Bangka Belitung (Babel), selain terkenal dengan keindahan alam dan pantainya, pasti masyarakat akan menyebut komoditi timah. Padahal, kekayaan Pulau Bangka dan Belitung itu tidak hanya di tambang timah, tapi dari zaman Belanda, Negeri Serumpun Sebalai ini, juga terkenal dengan lada putih.

Kualitas lada dari Bangka Belitung sudah terkenal di dunia, karena memiliki karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain, seperti Lampung, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi. Lada merupakan salah satu komoditas unggulan kepulauan Bangka Belitung sudah terkenal di pasaran.Llada dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan komoditas pertanian yang berkualitas dan telah menjadi salah satu tanaman di masyarakat kepulauan itu secara turun temurun.

Lada putih khas daerah Kepulauan Bangka Belitung ini telah bersertifikasi indikasi geografis (IG) yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia Nomor 000000004 tanggal 21 Januari 2010. Kualitas dan cita rasa yang khas dari lada putih Muntok White Pepper berbeda jauh dengan lada yang dihasilkan dari daerah lain. Oleh karena itu menjadi daya tarik yang tinggi bagi beberapa negara di dunia. Lada putih Babel memiliki piperin (tingkat kepedasan) yang tinggi, yaitu 5 - 7 persen, dan aroma minyak atsiri yang tajam.

Lada merupakan salah satu rempah-rempah yang kerap digunakan untuk menambah cita rasa pedas, menambah aroma masakan, hingga menghilangkan bau amis. Bangka Belitung menjadi provinsi yang paling banyak menghasilkan lada, disusul Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, dan Yogyakarta.

Walaupun memiliki kualitas yang tinggi dan merupakan produsen terbesar di Indonesia, keberadaan lada di Babel dari tahun ke tahun semakin menurun, baik secara luas lahan maupun produksinya. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Provinsi Bangka Belitung pada 2018 - 2022, ada kenaikan di 2019, namun semenjak 2020 hingga 2022, luas lahan maupun hasil produksi komoditi lada mengalami penurunan yang cukup tajam.

Dari data yang diperoleh ANTARA, pada 2018 luas perkebunan lada mencapai 51.404 hektare dan pada 2019 mengalami penambahan lahan menjadi 52.688 hektare, namun pada 2020 mengalami penurunan menjadi 52.192 Ha. Penurunan ini terus berlanjut pada 2021 menjadi 49.465 hektare dan pada 2022 kembali turun menjadi 44.548 hektare.

Secara produksi berbanding lurus dengan luas lahan perkebunan, di mana pada 2018 lada yang dipanen mencapai 32.810 ton dan pada 2019 mengalami kenaikan menjadi 33.458 ton. Sementara pada 2020 produksi cenderung anjlok menjadi 29.441 ton berlanjut pada 2021 yang hanya 27.167 ton hingga 2022 yang hanya berproduksi 26.408,82 ton. Faktor merebaknya penyakit COVID-19 dan harga lada di pasar dunia agaknya menjadi faktor menurunnnya lahan dan produksi komoditi lada itu.

Penurunan luas lahan perkebunan lada dan produksinya ini diakui Ketua Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Kepulauan Bangka Belitung Rafki Hariska karena petani lada yang beralih profesi menjadi penambang timah dan berkebun sawit, bersamaan dengan rendahnya harga lada putih.

Untuk mengembalikan semangat petani lada di Bangka Belitung ini, kata Rafki Hariska, diperlukan upaya bersama memperbaiki tata niaga lada, sehingga mampu menaikkan harga lada putih di pasar lokal, nasional, dan internasional. Untuk itu, pihaknya mengusulkan perlu ada tata niaga lada yang bisa memberi semangat para petani untuk bertanam lada. Selain dengan pemerintah daerah, BP3L juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan International Pepper Community (IPC) yang menjadi pintu bagi para pembeli di luar negeri sebagai patokan dalam membeli lada asal Babel.

Tata niaga lada ini diharapkan dapat membuat Bangka Belitung menjadi penentu harga lada di Indonesia, seperti negara Malaysia, India, dan Brazil, yang sudah memilikinya. Sementara Indonesia belum, padahal Babel sebagai pemilik lada terbaik di dunia.

Penjabat Gubernur Kepulauan Babel Suganda Pandapotan Pasaribu justru menyerahkan kepada pelaku usaha lada untuk segera membahas tata niaga lada ini. Agar pembentukan tata niaga lada ini tercapai, Suganda berharap para pelaku usaha lada wajib berkumpul serta berdiskusi bersama dan menurunkan ego dalam mengedepankan kepentingan masing-masing.

Komoditas lada yang semakin ditinggalkan ini juga dirasakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sehingga pihaknya melakukan upaya untuk mendorong para petani terus membudidayakan tanaman lada kendati harganya belum stabil.

Kepala Dinas Pertanian Bangka Tengah Sajidin mengakui banyak masyarakatnya yang meninggalkan perkebunan lada dan memilih menanam komoditas kelapa sawit, bahkan berhenti menggarap lahan pertanian dan beralih bekerja sebagai penambang bijih timah.

Sajidin mengungkapkan bahwa sebelum bijih timah bisa ditambang oleh rakyat, dulu ekonomi masyarakat Bangka Belitung bangkit dari komoditas lada yang merupakan tanaman tua jangka panjang yang bisa memperkuat fondasi ekonomi dalam jangka panjang pula.

Pemkab Bangka Tengah terus mendorong para petani tetap bersemangat menggarap lahan untuk ditanami lada, dengan menyalurkan bantuan bibit unggul dan peralatan teknologi yang bisa untuk meningkatkan produksi, sehingga keluhan tingginya biaya produksi dapat ditekan dengan memanfaatkan teknologi terbaru dan penggunaan pupuk organik.

Dengan berbagai upaya ini, diharapkan rempah yang berjuluk "king of spice" ini akan menjadi primodana masyarakat Bangka Belitung dan kembali menggeser komoditi timah dan kelapa sawit yang mulai menggeser keberadaan perkebunan lada saat ini. Petani lada yang saat ini masih bertahan agar tidak tergiur dengan keuntungan instan yang ditawarkan di sektor pertambangan.

Sektor pertambangan hanya memberikan keuntungan sesaat karena lahan yang sudah diolah tidak dapat dipergunakan lagi sehingga akan menimbulkan kehilangan mata pencaharian bagi masyarakat. Untuk itu perlu perhatian pemerintah daerah dan pihak lainnya agar menjaga harga lada dan tata niaganya agar bisa menjadi penopang ekonomi masyarakat Bangka Belitung.