Penegakan hukum humanis bagi puluhan pencuri sawit di Simalungun

id restorative justice, keadilan restoratif,mabes polri

Penegakan hukum humanis bagi puluhan pencuri sawit di Simalungun

Tiga tersangka pencurian tandan buah sawit segar di PTPN IV menjalan sanksi sosial setelah perkaranya diselesaikan secara "restortive justice", Rabu (6/9/2023). ANTARA/Laily Rahmawaty

Jakarta (ANTARA) - Boby Dermawan (31) merupakan salah seorang dari 70 tersangka pencuri tandan buah segar kelapa sawit di PTPN IV. Ketakutan mereka bakal meringkuk di sel tahanan sirna sudah karena perkara tindak pidana yang dihadapi Boby dan kawan-kawan diselesaikan lewat mekanisme restorative justie atau keadilan restoratif.

Bujang asal Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, itu mengaku baru pertama kali mencuri buah sawit. Adapun yang dicuri dari perkebunan milik negara itu hanya tiga tandan, yang kalau dirupiahkan sekitar Rp300 ribu

Boby mengaku pencurian itu dilakukan karena terpaksa. Selain dipicu oleh kebutuhan ekonomi keluarga, saat itu ayahnya sedang sakit dan butuh biaya pengobatan. Pria lulusan sekolah menengah atas itu tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya buruh serabutan. Sesekali ada pekerjaan, kadang menganggur sehingga tak pasti penghasilannya.

Rencananya, buah sawit yang dicurinya dijual kepada tengkulak, namun dirinya keburu ketahuan mencuri dan dilaporkan ke polisi.

Selain Boby, ada juga Darma (42), ayah dua orang anak yang sama-sama buruh serabutan. Pria lulusan sekolah dasar itu tertangkap karena mencuri empat tandan sawit pada pertengahan 2023.

Sawit yang diambilnya di perkebunan PTPN IV tanpa izin itu belum sempat dijual, namun Darma terpaksa berurusan dengan aparat.

Kini, Darma dan Boby lega. Ketakutan akan pengap ruang penjara sirna ketika Polsek Tanah Jawa mengupayakan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif untuknya dari 69 tersangka lainnya.

“Jujur ini baru pertama kali saya melakukan itu (mencuri). Karena di rumah lagi ada kebutuhan. Saya kapok (mencuri). Terima kasih, sanksi hukumannya cukup membantu, tidak sampai ke pengadilan dan sanksi yang diberikan cukup ringan,” kata Boby dengan suara terbata-bata mewakili teman-teman sesama tersangka saat ditemui di Mapolsek Tanah Jawa, Sumatera Utara, Selasa (5/9).

Sanksi sosial

Tersangka pencurian tandan buah sawit segar di PTPN IV menjalan sanksi sosial setelah perkaranya diselesaikan secara "restortive justice", Rabu (6/9/2023). ANTARA/Laily Rahmawaty


Boby dijatuhi sanksi sosial selama satu bulan membersihkan rumah ibadah (masjid dan gereja), kantor pangulu (desa), dan kantor PTPN IV. Adapun Darma dijatuhi sanksi sosial selama tiga bulan karena jumlah sawit yang diambilnya lebih banyak dibanding Boby.

Sanksi sosial itu dilaksanakan terhitung mulai Agustus, setiap minggu sebanyak dua kali di hari Senin dan Kamis, dari mulai pukul 09.00 sampai dengan 10.30 WIB. Dengan menggunakan rompi menyerupai warna rompi tahanan lengkap dengan nomor dada, di bagian punggung tertulis keterangan sanksi sosial Polres Simalungun, Polsek Tanah Jawa.

Penggunaan atribut rompi inilah yang membuat para tersangka merasa kapok melakukan pencurian tandan sawit karena saat membersihkan tempat-tempat tersebut, tentu akan menjadi tontonan warga kampung.

Dari 70 tersangka tersebut, sebanyak 13 tersangka selesai melaksanakan sanksi sosial selama satu bulan, dan sisanya 57 tersangka masih harus diawasi sampai selesai menjalankan sanksi sosial bulan Oktober mendatang.

Sanksi sosial itu diperoleh setelah antara korban (PTPN IV) dan para tersangka memperoleh kesepakatan saat dilakukan mediasi oleh Polsek Tanah Jawa untuk menyelesaikan kasus melalui mekanisme restorative justice. Dalam proses mediasi itu, selain dihadirkan korban dan tersangka, juga dihadirkan oleh pihak keluarga, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan musyawarah pimpinan kecamatan mewakili unsur pemerintah.

Seperti sidang tindak pidana ringan (tipiring), para korban dan tersangka dipertemukan dan dimediasi oleh penyidik yang diawasi oleh kapolsek, apakah setuju berdamai dengan sanksi sosial yang diberikan. Kesepakatan ini juga harus diketahui oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda mewakili warga setempat dan pihak keluarga, tujuannya agar para pihak menjadi pengawas atas komitmen tersangka untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Kapolres Simalungun AKBP Ronald FC Sipayung mengatakan ada enam persyaratan yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan perkara melalui restorative justice. Pesyaratan ini diatur dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelesaian tindak Pidana berdasarkan keadilan restoratif.

Keenam prasyarat perkara yang boleh diselesaikan melalui restorative justice, yakni tidak menimbulkan keresahan dan kegaduhan, bukan merupakan tindak pidana yang berulang, tidak berpotensi untuk memecah belah, tidak menimbulkan konflik sosial, bukan bersifat radikalisme serta separatisme, dan bukan tindak pidana terorisme, korupsi, keamanan negara, dan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain.

Perpol 8 Tahun 2021 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menjadi pemandu Kepolisian RI dalam menerapkan restorative justice untuk menegakkan keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Serta menghindari penyimpangan yang dilakukan penyidik dalam menyelesaikan kasus yang layak diselesaikan lewat keadilan restoratif.

“Kalau syarat itu terpenuhi, polisi memfasilitasi restorative justice. Akan tetapi kalau ada tersangka yang berulang melakukan tindak pidana lagi, itu tidak masuk syarat,” kata Ronald.

Efek jera

Rata-rata dari kasus pencurian tandan buah sawit segar yang dilakukan oleh 70 tersangka itu memiliki nilai kerugian kecil. Sebanyak 13 perkara nilai kerugiannya kisaran Rp500 ribu sampai dengan Rp 1 juta, dan 57 perkara nilai kerugiannya di bawah Rp500 ribu.

Sebanyak 70 kasus yang di-restorative justice- kan itu merupakan perkara yang dilaporkan dari rentang waktu 2021 sampai dengan 2023, yakni tahun 2021 ada satu kasus, tahun 2022 ada sembilan kasus dan sisanya pada tahun 2023. Pelapor dari kasus itu adalah PTPN IV.

Wilayah Tanah Jawa menjadi kecamatan terbesar di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, di mana terdapat lima kebun sawit milik PTPN IV di wilayah tersebut. Potensi-potensi kerawanan yang terjadi di perkebunan milik negara tersebut adalah pencurian sawit.

Melihat banyaknya kasus pencurian sawit yang dilakukan oleh masyarakat dalam jumlah kecil dan rata-rata melakukan karena terdesak kebutuhan ekonomi, hal itu membuat Kapolsek Tanah Jawa Kompol Manson Nainggolan mengupayakan kasus-kasus itu diselesaikan secara restorative justice.

Butuh empat bulan bagi Nainggolan untuk mewujudkan keadilan restoratif bagi pelaku pencurian sawit di wilayahnya karena harus mendapatkan persetujuan dari korban dalam hal ini PTPN IV.

Keadilan restoratif untuk 70 tersangka itu mendapat bantuan dari anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan yang menjadi penghubung antara kepolisian dengan manajemen PTPN IV di tingkat pusat agar setuju memaafkan dan menyelesaikan perkara tanpa melalui persidangan.

Yang mendasari Kompol Manson Nainggolan menempuh upaya restorative justice bagi warganya karena belum terjalinnya hubungan harmonis antara PTPN IV dengan masyarakat sekitar. Kemudian, masyarakat yang melakukan pencurian rata-rata hidupnya memprihatinkan, alasannya mencuri karena desakan kebutuhan ekonomi.

Warga yang mencuri tinggal di sekitar perkebunan, tetapi mereka tidak bisa menikmati hasil dari perkebunan itu sendiri.

Upaya restorative justice ini selain melegakan para tersangka, juga mengharmoniskan hubungan PTPN IV dengan masyarakat setempat.

Pihak PTPN IV bersedia mengakomodasi harapan masyarakat untuk mendapat bantuan dalam hal perbaikan fasilitas umum serta memberikan kesempatan bagi warga setempat bekerja sebagai buruh sawit dengan persyaratan yang harus dipenuhi.

Kapolres Simalungun AKBP Ronald FC Sipayung memastikan pemberian sanksi sosial sudah menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan masyarakat sekitar untuk tidak mengulangi perbuatannya. Meskipun para tersangka tidak pernah menyandang status sebagai terdakwa dan terpidana, catatan kriminal tetap tersimpan di basis data Bareskrim Polri.

Para pelaku tidak akan mendapatkan kesempatan dua kali menikmati restorative justice bila mengulangi lagi perbuatannya, meskipun perbuatan tindak pidana itu dilakukannya di luar daerahnya, atau pindah ke kota lain. Bila terjadi, kasus mereka akan diproses dengan tidak pidana biasa, lewat mekanisme pengadilan.

Polres dan polsek akan memasukkan data para tersangka tindak pidana ke dalam aplikasi elektronik manajemen penyidikan atau EMP dan aplikasi daily operation reporting system (DORS). DORS merupakan aplikasi yang bisa digunakan untuk memasukkan data terkait laporan dari masyarakat, guna mempermudah pelayanan masyarakat dalam pengaduan.

Dokumen-dokumen yang ditangani oleh penyidik baik tingkat polsek, polres, dan polda dimasukkan ke dalam aplikasi tersebut, seperti laporan polisi, siapa pihak terlapor, surat perintah penangkapan, dan surat perjanjian damai lewat restorative justice.

Melalui EMP dan DORS ini, data pelaku kejahatan akan tersimpan rekam jejaknya sehingga bila suatu waktu mengulangi perbuatannya di tempat berbeda dengan kasus awal, maka yang bersangkutan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Merasakan keadilan

Penyelesaian 70 kasus pencurian sawit lewat keadilan restoratif ini menjadi percontohan ke depan untuk kasus serupa bila memenuhi persyaratan. Model ini akan dilaksanakan lewat mediasi, sanksi sosial, dan pencabutan laporan perkara, lalu kasus pidana itu dinyatakan selesai.

Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol. Agung Setya Imam Effendy mengajak seluruh polres dan polsek mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif agar keadilan tidak hanya ditegakkan tapi juga dirasakan oleh para pencari keadilan.

Keadilan restoratif menjadi program prioritas Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, yang menekan pada penanganan kasus dengan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini merupakan langkah untuk mengikuti dinamika perkembangan dunia hukum, yang mulai bergeser dari positivisme ke progresif untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Menurut Kapolri, hal itu merupakan prinsip utama dalam keadilan restoratif, yakni penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Sejak tahun 2021, Polda Sumatera Utara dan jajaran sudah melaksanakan penyelesaian perkara lewat restorative justice sebanyak 1.993 kasus, kemudian di 2022 sebanyak 2.552 kasus, dan terakhir di wilayah Bogor sebanyak 1.397 kasus.

Restorative justice atau penyelesaian hukum tanpa ke pengadilan itu sebagai pintu baru bagi masyarakat untuk mendapatkan dan merasakan keadilan.

Asisten I Pemkab Simalungun Albert Saragih menilai restorative justice menjadi salah satu obat penawar yang sudah ditekankan dan dirancang Polres Simalungun dan Polsek Tanah Jawa untuk mengedepankan hal-hal yang sifatnya humanis.

Model keadilan restoratif di Tanah Jawa ini diharapkan bisa jadi contoh karena menerapkan nilai-nilai edukasi yang ditunjukkan dalam program ini, seperti pendekatan sosial, pendekatan kepada tokoh masyarakat, keluarga untuk sama-sama peduli, dan sama-sama ikut bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap keluarga yang melakukan tindak pidana.

Wakil Ketua MUI Kecamatan Tana Jawa Hermawan Abdul Hamid menilai keadilan restoratif merupakan pengejewantahan nilai-nilai keagamaan, misalnya, saling memaafkan antara satu dengan lainnya.

Seorang yang bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, itu tidak kalah mulia dari ketulusan pihak yang memaafkannya.