Sigi (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Sigi dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Donggala meresmikan pembukaan pengoperasian Rumah Restorative Justice di Kantor Kecamatan Marawola, Rabu (30/3/2022).
Rumah tersebut diperuntukkan bagi warga yang ingin berkonsultasi mengenai penerapan hukum di lingkungan masyarakat.
"Konsep Rumah Restorative Justice ini merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya," kata Kepala Kejari Donggala Mangantar Siregar di sela-sela peresmian pengoperasian Rumah Restorative Justice itu.
Ia menjelaskan rumah tersebut diperuntukkan untuk menyelesaikan permasalahan antara pelaku dan korban tindak pidana melalui proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan antara kedua belah pihak atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang.
Konsep Rumah Restorative Justice ini, kata dia, merupakan pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korbannya.
Tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana tersebut.
"Rumah Restorative Justice ini memiliki makna keadilan yang merestorasi. Apa sebenarnya yang direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban," ujarnya.
Ia menambahkan restorasi memiliki makna yang lebih luas, meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku atas dasar kesepakatan bersama.
Ia menjelaskan pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang diderita dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebus melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
"Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka," ujarnya.
Setiap indikasi tindak pidana, menurut dia, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi yuridiksi para penegak hukum.
"Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau hukuman tanpa melihat esensi," ujarnya.