Jenewa (ANTARA) - Sedikitnya 1,4 miliar anak di seluruh dunia di bawah usia 16 tahun tidak memiliki perlindungan sosial apa pun, menurut data-data dari dua lembaga yakni PBB dan badan amal Inggris Save the Children, Kamis.
Hal tersebut yang membuat anak-anak tersebut rentan penyakit, gizi buruk, dan kemiskinan.
Data tersebut dikumpulkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) dan Save the Children.
Di negara-negara berpendapatan rendah, bahkan kurang dari satu dari 10 anak mempunyai akses terhadap tunjangan anak, di mana hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan cakupan yang dinikmati oleh anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi.
“Secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi,” kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi.
“Pada tingkat kemajuan saat ini, pencapaian target kemiskinan dalam 'Tujuan Pembangunan Berkelanjutan' masih di luar jangkauan. Ini tidak bisa diterima,” katanya melanjutkan.
Rossi mengatakan bahwa mengakhiri kemiskinan anak adalah pilihan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Menurutnya, memperluas cakupan perlindungan sosial bagi anak-anak dalam pengentasan kemiskinan sangatlah penting, termasuk realisasi progresif manfaat anak yang universal.
Lembaga-lembaga tersebut mengatakan tunjangan anak adalah perlindungan sosial penting yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak dalam jangka panjang.
Tunjangan anak tersebut dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau kredit pajak, dan sangat penting untuk mengurangi kemiskinan serta mengakses layanan kesehatan, nutrisi, pendidikan berkualitas, air dan sanitasi. Pemanfaatannya juga mendukung pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di masa krisis.
Banyak anak yang kehilangan sumber daya dan layanan dasar yang mereka perlukan untuk keluar dari kemiskinan, dan oleh karena itu mereka terkena dampak jangka panjang berupa kelaparan, kekurangan gizi dan potensi yang belum terealisasi.
Data menunjukkan peningkatan global yang rendah dalam akses terhadap tunjangan anak selama 14 tahun, dari 20 persen pada tahun 2009 menjadi 28,1 persen pada tahun 2023.
Namun, kemajuan yang dicapai tidak seimbang. Di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat cakupan masih sangat rendah, yaitu sekitar 9 persen.
Pada saat yang sama, 84,6 persen anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi telah tercakup dalam program tersebut.
Tingkat cakupan untuk anak-anak di negara-negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, adalah sepertiga lebih rendah dibandingkan di negara-negara yang tidak tergolong berisiko tinggi.
Lembaga-lembaga tersebut mengatakan untuk memastikan anak-anak mendapatkan perlindungan sosial adalah kunci untuk melindungi mereka dari dampak terburuk krisis iklim.
Perincian cakupan tunjangan anak berdasarkan wilayah antara tahun 2009-2023 menunjukkan bahwa di Asia Timur dan Pasifik, cakupan tunjangan anak meningkat dari 9,2 persen pada tahun 2009 menjadi 16,0 persen pada tahun 2023.
Di Afrika Timur dan Selatan, cakupan meningkat dari 9,6 persen menjadi 12,3 persen. Di Afrika Barat dan Tengah, cakupan meningkat dari 3,1 persen menjadi 11,8 persen.
Di Eropa Timur dan Asia Tengah, cakupan meningkat dari 59,0 persen menjadi 61,4 persen. Di Amerika Utara, cakupan meningkat dari 78,1 persen menjadi 84,0 persen. Di Eropa Barat, cakupan meningkat dari 91,0 persen menjadi 93,2 persen.
Perbaikan yang lebih nyata terjadi pada periode yang sama di Amerika Latin dan Karibia, dimana tingkat cakupan meningkat dari 30,8 persen menjadi 41,9 persen.
Di Timur Tengah dan Afrika Utara, angkanya meningkat dari 22,7 persen menjadi 32,5 persen. Di Asia Selatan, angkanya meningkat dari 9,2 persem menjadi 24,3 persen.
“Ini adalah krisis bagi hampir satu miliar anak yang tidak mendapat manfaat, dan juga bagi negara tempat mereka tinggal,” kata Direktur Departemen Perlindungan Sosial ILO Shahra Razavi.
Sumber: Anadolu