Di tengah hiruk-pikuk aktivitas turisme yang semakin ramai, Bali kini mempersiapkan diri untuk menyambut ajang berskala internasional Forum Air Dunia atau World Water Forum Ke-10.
Perhelatan World Water Forum (WWF) Ke-10 yang bakal diselenggarakan pada 18–25 Mei 2024 itu pun tinggal menghitung hari.
Gema persiapan forum internasional yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan di sektor sumber daya air mulai dari Pemerintah, parlemen, pemimpin politik, lembaga multilateral, politikus, akademikus, masyarakat sipil, hingga pelaku usaha itu mulai terasa di beberapa tempat di Bali.
Beberapa tempat yang ditunjuk menjadi tempat perhelatan pertemuan WWF pun telah dipersiapkan sejak dini oleh Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, bak pengantin wanita yang merias diri menunggu waktu peminangan dari mempelai pria. Persiapan itu ditandai dengan munculnya berbagai banner, baliho, serta kampanye yang masif di berbagai sudut Pulau Dewata. Beberapa tempat utama pertemuan dan tempat-tempat wisata, kini merampungkan kesiapannya untuk menyambut tamu kehormatan yang akan membahas isu penting itu.
Pemerintah Provinsi Bali sendiri menyiapkan sebanyak 2.600 penjor, hiasan bambu panjang melengkung yang biasa dipasang ketika upacara besar di Pulau Dewata di sepanjang rute dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menuju lokasi acara di kawasan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Hiasan janur khas Bali tersebut juga akan dipasang di beberapa titik di Kota Denpasar sebagai simbol kultural Bali untuk menunjukkan sikap keramahan kepada para delegasi yang akan menghadiri forum air sedunia tersebut.
Perhelatan World Water Forum (WWF) Ke-10 yang bakal diselenggarakan pada 18–25 Mei 2024 itu pun tinggal menghitung hari.
Gema persiapan forum internasional yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan di sektor sumber daya air mulai dari Pemerintah, parlemen, pemimpin politik, lembaga multilateral, politikus, akademikus, masyarakat sipil, hingga pelaku usaha itu mulai terasa di beberapa tempat di Bali.
Beberapa tempat yang ditunjuk menjadi tempat perhelatan pertemuan WWF pun telah dipersiapkan sejak dini oleh Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, bak pengantin wanita yang merias diri menunggu waktu peminangan dari mempelai pria. Persiapan itu ditandai dengan munculnya berbagai banner, baliho, serta kampanye yang masif di berbagai sudut Pulau Dewata. Beberapa tempat utama pertemuan dan tempat-tempat wisata, kini merampungkan kesiapannya untuk menyambut tamu kehormatan yang akan membahas isu penting itu.
Pemerintah Provinsi Bali sendiri menyiapkan sebanyak 2.600 penjor, hiasan bambu panjang melengkung yang biasa dipasang ketika upacara besar di Pulau Dewata di sepanjang rute dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menuju lokasi acara di kawasan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) Nusa Dua, Kabupaten Badung.
Hiasan janur khas Bali tersebut juga akan dipasang di beberapa titik di Kota Denpasar sebagai simbol kultural Bali untuk menunjukkan sikap keramahan kepada para delegasi yang akan menghadiri forum air sedunia tersebut.
Selain tempat pertemuan, beberapa lokasi wisata di Bali akan dikunjungi oleh delegasi WWF. Sebut saja Garuda Wisnu Kencana (GWK), Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, dan beberapa tempat untuk melukat atau ritual pembersihan diri.
Salah satunya tempat yang akan dijadikan sebagai etalase saat WWF Ke-10 adalah Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih yang berada di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.
Suguhan bagi delegasi WWF
Suguhan bagi delegasi WWF
WWF Ke-10 di Bali akan menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk memperkenalkan keragaman budaya dan pariwisata, khususnya Bali kepada dunia. WWF bukan saja melulu tentang pertemuan yang menghasilkan dokumen tertentu, melainkan juga bagaimana Indonesia menjaga dan merawat sumber daya alam sebagai bagian dari budaya dan juga sumber kehidupan.
Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih sendiri memiliki cara tersendiri untuk menyambut kedatangan para tamu mancanegara dalam karya wisata para delegasi WWF.
Manager DTW Jatiluwih John Ketut Purna menyatakan dalam rangka menyambut delegasi WWF, nantinya desa wisata Jatiluwih akan dihias dengan berbagai macam penjor. Bahkan, panitia menyiapkan penjor Pancasila berukuran besar yang dipadukan dengan hiasan Bendera Merah Putih.
Banner, umbul-umbul, dan orang-orangan sawah berbagai ukuran khas Bali pun sudah dipersiapkan dengan baik oleh masyarakat di daerah itu. Para delegasi juga bakal disambut dengan tari tradisional Bali, yaitu tari rejang, yang diiringi dengan musik tumbuk lesung. Tak ketinggalan, berbagai hidangan khas masyarakat lokal akan disuguhkan kepada para delegasi untuk menambah sensasi merasakan kenikmatan hidup di Jatiluwih.
Setelah menikmati suguhan selamat datang, panitia setempat juga akan memperkenalkan sistem pengairan tradisional yang dikenal dengan subak. Sistem irigasi dengan metode tradisional tersebutlah yang telah menempatkan Jatiluwih menjadi lumbung padi bagi Pulau Dewata itu.
Selain berkunjung ke persawahan Jatiluwih, delegasi WWF juga akan diajak untuk melakukan prosesi melukat, yang merupakan salah satu tradisi atau upacara yang biasa dilakukan oleh umat Hindu, khususnya di Bali.
Panitia sudah memastikan bahwa bakal ada 100 orang delegasi China yang akan berkunjung ke Jatiluwih.
"Kalau memang nanti ada kunjungan dari delegasi kepresidenan, kami sudah persiapkan matang. Semua pertunjukan tradisi di desa, kami siap tampilkan. Kuliner lokal teh beras merah, lak-lak juga siap kami sajikan," kata Ketut Purna.
Mengingat hamparan sawah di daerah Jatiluwih merupakan milik perseorangan, maka keterlibatan seluruh elemen masyarakat juga menjadi kunci sukses pengelolaan pariwisata di daerah itu.
Masa depan pariwisata ramah lingkungan
Magnet utama yang menjadikan Jatiluwih dikunjungi wisatawan adalah hamparan sawah bertingkat yang terbentang di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sawah dengan luas sekitar 300 hektare tersebut ditopang oleh sistem pengairan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat yang dikenal dengan sistem subak. Subak merupakan organisasi tradisional yang mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Oleh karena itu, tidak heran jika Jatiluwih ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2012.
Manager Jatiluwih Ketut Purna meyakini Jatiluwih merupakan representasi pengembangan pariwisata Indonesia di masa depan yang berbasis keberlanjutan lingkungan (sustainable tourism).
Ke depan, pengelolaan persawahan di Jatiluwih akan diarahkan ke konsep perkebunan organik, yang mana 100 persen pupuk yang digunakan merupakan penyubur alami, misalnya, kotoran sapi milik penduduk lokal. Hal tersebut diharapkan semakin menambah manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat, serta menjadi contoh penerapan pariwisata berkelanjutan karena lebih ramah lingkungan.
"Untuk penanaman selanjutnya subsidi pupuk dari manajemen operasional Jatiluwih ini menjadi 75 persen organik dan 25 persen anorganik. Tahun 2025, kita akan dukung dengan pupuk organik saja," katanya.
Penerapan pupuk organik diyakini sebagai langkah untuk mengembalikan ekosistem sawah seperti sediakala.
Hal ini juga merupakan suatu bentuk implementasi dari pariwisata berbasis komunitas atau community-based tourism, yang melibatkan masyarakat setempat untuk saling bekerja sama dalam pengembangan pariwisata.
Jatiluwih merupakan destinasi wisata yang dimiliki oleh perseorangan dengan daya tarik utamanya adalah persawahan yang dimiliki oleh banyak petani setempat.
"Sawah-sawah ini dimiliki oleh perorangan. Ada 500 orang lebih yang punya sawah ini. Apapun yang didapat dari kunjungan wisatawan, dikembalikan kepada petani untuk kesejahteraan mereka," kata Ketut Purna.
Oleh karena itu, pengelola berusaha untuk merangkul petani-petani setempat agar bersama-sama mendukung program besar tersebut karena pengembangan pariwisata di Jatiluwih harus dilakukan secara kolektif kolegial, yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak, terutama petani setempat.
Dengan demikian, pengembangan pariwisata di daerah itu diyakini akan berkontribusi positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
Pihaknya terus mendorong masyarakat untuk turut menjaga kelestarian alam agar sumber mata air di sana tetap terjaga kelestarian dan kebersihannya, salah satunya dengan menjaga Hutan Batukaru.
Hal itu penting mengingat Desa Jatiluwih terkenal dengan sistem subaknya. Sistem pengairan tradisional tersebut menempatkan Desa Jatiluwih sebagai penghasil padi sebagai komoditas utama hasil pertaniannya. Apalagi, beras merah yang dihasilkan di wilayah Jatiluwih merupakan beras merah yang terbaik di wilayah Bali.
Uniknya, masyarakat lokal juga mengolah beras merah tersebut menjadi teh yang bermanfaat bagi kesehatan.
Desa wisata Jatiluwih juga memiliki beberapa aktivitas untuk ditawarkan kepada wisatawan, di antaranya trekking sambil menikmati keindahan persawahan, bersepeda, demo masak, serta berkunjung ke perkebunan kopi, alpukat, dan durian.
Menurut informasi dari pengelola, retribusi pariwisata di Jatiluwih per tahun mencapai Rp10 miliar sampai Rp12 miliar. Setiap harinya, ada 800-1.300 wisatawan mancanegara mengunjungi DTW Jatiluwih, sementara wisatawan domestik biasanya 200-500 per hari. Saat ini, rata-rata kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara mencapai 1.700 orang per hari.
Sukses pengelolaan DTW Jatiluwih tersebut membuktikan bahwa pengembangan pariwisata bisa berjalan seiring dengan pelestarian alam dan budaya serta peningkatan kesejahteraan warga lokal.
Editor: Achmad Zaenal M
Magnet utama yang menjadikan Jatiluwih dikunjungi wisatawan adalah hamparan sawah bertingkat yang terbentang di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sawah dengan luas sekitar 300 hektare tersebut ditopang oleh sistem pengairan yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat yang dikenal dengan sistem subak. Subak merupakan organisasi tradisional yang mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Oleh karena itu, tidak heran jika Jatiluwih ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2012.
Manager Jatiluwih Ketut Purna meyakini Jatiluwih merupakan representasi pengembangan pariwisata Indonesia di masa depan yang berbasis keberlanjutan lingkungan (sustainable tourism).
Ke depan, pengelolaan persawahan di Jatiluwih akan diarahkan ke konsep perkebunan organik, yang mana 100 persen pupuk yang digunakan merupakan penyubur alami, misalnya, kotoran sapi milik penduduk lokal. Hal tersebut diharapkan semakin menambah manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat, serta menjadi contoh penerapan pariwisata berkelanjutan karena lebih ramah lingkungan.
"Untuk penanaman selanjutnya subsidi pupuk dari manajemen operasional Jatiluwih ini menjadi 75 persen organik dan 25 persen anorganik. Tahun 2025, kita akan dukung dengan pupuk organik saja," katanya.
Penerapan pupuk organik diyakini sebagai langkah untuk mengembalikan ekosistem sawah seperti sediakala.
Hal ini juga merupakan suatu bentuk implementasi dari pariwisata berbasis komunitas atau community-based tourism, yang melibatkan masyarakat setempat untuk saling bekerja sama dalam pengembangan pariwisata.
Jatiluwih merupakan destinasi wisata yang dimiliki oleh perseorangan dengan daya tarik utamanya adalah persawahan yang dimiliki oleh banyak petani setempat.
"Sawah-sawah ini dimiliki oleh perorangan. Ada 500 orang lebih yang punya sawah ini. Apapun yang didapat dari kunjungan wisatawan, dikembalikan kepada petani untuk kesejahteraan mereka," kata Ketut Purna.
Oleh karena itu, pengelola berusaha untuk merangkul petani-petani setempat agar bersama-sama mendukung program besar tersebut karena pengembangan pariwisata di Jatiluwih harus dilakukan secara kolektif kolegial, yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak, terutama petani setempat.
Dengan demikian, pengembangan pariwisata di daerah itu diyakini akan berkontribusi positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
Pihaknya terus mendorong masyarakat untuk turut menjaga kelestarian alam agar sumber mata air di sana tetap terjaga kelestarian dan kebersihannya, salah satunya dengan menjaga Hutan Batukaru.
Hal itu penting mengingat Desa Jatiluwih terkenal dengan sistem subaknya. Sistem pengairan tradisional tersebut menempatkan Desa Jatiluwih sebagai penghasil padi sebagai komoditas utama hasil pertaniannya. Apalagi, beras merah yang dihasilkan di wilayah Jatiluwih merupakan beras merah yang terbaik di wilayah Bali.
Uniknya, masyarakat lokal juga mengolah beras merah tersebut menjadi teh yang bermanfaat bagi kesehatan.
Desa wisata Jatiluwih juga memiliki beberapa aktivitas untuk ditawarkan kepada wisatawan, di antaranya trekking sambil menikmati keindahan persawahan, bersepeda, demo masak, serta berkunjung ke perkebunan kopi, alpukat, dan durian.
Menurut informasi dari pengelola, retribusi pariwisata di Jatiluwih per tahun mencapai Rp10 miliar sampai Rp12 miliar. Setiap harinya, ada 800-1.300 wisatawan mancanegara mengunjungi DTW Jatiluwih, sementara wisatawan domestik biasanya 200-500 per hari. Saat ini, rata-rata kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara mencapai 1.700 orang per hari.
Sukses pengelolaan DTW Jatiluwih tersebut membuktikan bahwa pengembangan pariwisata bisa berjalan seiring dengan pelestarian alam dan budaya serta peningkatan kesejahteraan warga lokal.
Editor: Achmad Zaenal M