Industri AMDK, klaim air pegunungan, dan jurang transparansi

id air minum,amdk,air pegunungan,mata air,industri amdk,air bersih

Jakarta (ANTARA) - Citra air minum dalam kemasan (AMDK) adalah simbol kemurnian dan kesegaran yang selama puluhan tahun dijual kepada publik.

Sejak awal, produk ini berhasil membangun narasi yang lekat dengan mata air jernih yang memancar dari sela bebatuan di kaki gunung, jauh dari polusi industri.

Inilah janji abadi yang membuat konsumen rela membayar lebih untuk sebuah botol air.

Namun, citra ideal ini kini berada di ujung tanduk, terutama setelah adanya evaluasi formal pada November 2025 di gedung legislatif, yang mengungkap perlunya perbaikan mendasar dalam tata kelola industri.

Polemik ini muncul karena mencuatnya dugaan penggunaan bahan baku AMDK yang tidak sesuai dengan klaim sumber air pegunungan yang selama ini dipromosikan.

Masyarakat menuntut transparansi, karena air minum adalah kebutuhan dasar, dan kejujuran informasi produk adalah hak fundamental konsumen.

Permasalahannya, industri AMDK yang begitu vital —mencakup 707 pabrik dengan kapasitas total 47 miliar liter per tahun disitat dari data Kementerian Perindustrian— justru dihadapkan pada jurang etika yang lebar antara narasi pemasaran dengan praktik pengambilan air baku.

Pertemuan di gedung legislatif tersebut menjadi forum utama untuk mendengarkan kebijakan mengenai standardisasi bahan baku AMDK dan klarifikasi langsung dari para produsen.

Di tengah situasi ini, regulasi yang ada ternyata memberikan ruang abu-abu bagi industri.

Permenperin No. 62 Tahun 2024 yang memberlakukan SNI Wajib AMDK, mendefinisikan "Air Mineral Alami" sebagai AMDK yang diperoleh langsung dari sumber air alami atau hasil pengeboran sumur dalam dengan proses terkendali untuk menghindari pencemaran.

Definisi "atau" inilah yang menjadi pemicu ambiguitas, karena mengaburkan garis antara mata air alami dan pengeboran akuifer dalam.

Inilah inti masalah yang perlu diatasi, yaitu menjamin adanya kepastian hukum dalam penerapan standardisasi bahan baku AMDK di Indonesia.

Kejujuran Sumber Air

Fokus utama perbaikan harus dimulai dari kejelasan sumber air. Klarifikasi dari produsen AMDK dalam pertemuan dengan legislatif membenarkan dikotomi antara mata air alami dan pengeboran akuifer dalam.

Beberapa produsen mengklaim menggunakan mata air alami dari celah batuan tanpa pengeboran, sementara perusahaan lain membela diri bahwa sumber air mereka adalah air pegunungan yang diambil melalui pengeboran ke lapisan Akuifer dalam.

Produsen lain secara eksplisit menyebutkan menggunakan air tanah yang dalam, dengan kedalaman hingga 120 meter.

Fenomena ini memunculkan kekhawatiran serius yang perlu dikaji lebih jauh oleh akademisi. Perwakilan legislatif menyoroti bahwa di saat perusahaan melakukan eksplorasi besar-besaran, banyak masyarakat sekitar pabrik mengadukan dampak yang diakibatkan, hingga sawah mengering dan warga tidak kebagian air bersih.

Disampaikan pula kekhawatiran mengenai penurunan tanah akibat di ambil besar-besarnya air di bawahnya.

Perlu kajian hidrogeologis yang independen dan berkala untuk membedah sejauh mana praktik pengeboran atau penggunaan air tanah dalam (Akuifer) dari kawasan pegunungan masih dapat dikategorikan sebagai air pegunungan sesuai persepsi konsumen dan standar yang berlaku.

Kekhawatiran publik semakin diperparah ketika isu kualitas produk mencuat. Di tengah janji kemurnian, ditemukan temuan akademik mengenai mikroplastik yang berasal dari kemasan plastik.

Lebih parah lagi, disampaikan adanya studi UGM yang menunjukkan sampel minuman dalam kemasan berpotensi tercemar tinja.

Hal ini memicu desakan mengenai mutu kualitas AMDK sebagai kebutuhan pokok. Komisi VII DPR RI telah mendesak perusahaan untuk memperhatikan peningkatan kualitas produk AMDK dan efisiensi pengenaan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat.

Air minum harus dipastikan keamanannya, bukan sekadar dipromosikan kemurniannya.

Inisiatif Industri Hijau

Tanggung jawab industri tidak berhenti pada sumur dan botol. Komitmen terhadap lingkungan (terutama plastik) dan masyarakat (melalui CSR) harus dipertimbangkan sebagai biaya wajib, bukan sukarela.

Dampak lingkungan dari ekstraksi air dan limbah kemasan plastik adalah keniscayaan, mengingat kontribusi sampah plastik di Indonesia yang berasal dari kemasan AMDK mencapai 17-20 persen.

Perlu adanya program CSR untuk penyelesaian persoalan sampah ini dan roadmap untuk bebas dari sampah plastik.

Komisi VII DPR RI juga mendesak perusahaan agar meningkatkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang terfokus pada konservasi sumber daya air dan masyarakat di sekitar pabrik.

Terdapat penilaian bahwa CSR yang dilakukan perusahaan AMDK di Jawa Barat belum begitu tepat sasaran dan berdampak bagi masyarakat.

Salah satu bentuk komitmen yang dituntut adalah penyusunan regulasi implementasi industri hijau dalam penggunaan kemasan yang ramah lingkungan bagi produk AMDK.

Disampaikan bahwa sudah ada fasilitasi dan advokasi penerapan industri hijau oleh industri AMDK melalui penggunaan energi baru terbarukan, tingkat komponen daur ulang untuk kemasan, maupun penerapan sirkular ekonomi.

Industri AMDK yang mencetak kinerja ekspor yang baik sudah saatnya memasukkan biaya eksternalitas lingkungan dalam perhitungan bisnis.

Di sisi lain yang menarik, problem tata kelola ini tidak hanya berada di tangan perusahaan. Regulasi perizinan dinilai tumpang tindih karena melibatkan banyak kementerian dan pemerintah daerah.

Kurangnya sinkronisasi ini menimbulkan tumpang tindih kebijakan yang menyulitkan fungsi pengawasan.

Maka, untuk menutup jurang transparansi ini, perlu adanya langkah konstruktif untuk perbaikan total tata kelola industri.

Perlu adanya audit independen pada perusahaan produsen AMDK, yang mencakup aspek lingkungan dan daur ulang plastik, bukan hanya sertifikasi SNI sekali setahun.

Pada akhirnya, kejujuran klaim dan pertanggungjawaban sosial perusahaan AMDK adalah keharusan.

Perbaikan total tata kelola, mulai dari harmonisasi regulasi pemerintah hingga pelaksanaan audit independen, adalah solusi struktural.

Industri air minum harus dipaksa bertransformasi, mengubah citra eksploitasi menjadi keberlanjutan, selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 tentang pendayagunaan sumber daya air.

Kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya air harus menjadi prioritas utama, di atas efisiensi dan keuntungan.



*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis dan saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI


Pewarta :
Editor : Andriy Karantiti
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.