Potensi penyakit sistematis bagi bagi perokok pasif
Jakarta (ANTARA) - Ancaman bahaya rokok yang semakin tinggi, terutama di kota besar seperti Jakarta meningkatkan potensi penyakit sistematis bagi para perokok pasif.
Hal itu dinilai karena perokok aktif akan menghirup asap rokok dalam saluran pernapasan mereka. Namun di sisi lain perokok pasif menghirup sisa residu asap rokok.
Bahkan dengan partikel yang lebih kecil, hal tersebut dapat langsung masuk pada pembuluh darah dan jaringan tubuh lainnya.
"Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit sistemik bagi para perokok pasif," kata dokter spesialis paru-paru Rumah Sakit MRCCC Siloam Hospital Semanggi Sita Laksmi Andarini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/10).
Parahnya, tidak hanya membahayakan bagi perokok pasif kalangan dewasa, tetapi juga bagi anak-anak dan bayi yang secara tak sengaja ikut menghirup residu asap rokok.
Mereka akhirnya terpapar ribuan zat berbahaya yang sebagian bersifat karsinogenik (beracun) dengan merusak sel-sel di dalam tubuh.
Dalam beberapa penelitian, perokok aktif akan berisiko mendapatkan kanker 13 kali lipat dibandingkan non-perokok, tapi perokok pasif (secondhand smoker) juga dalam risiko yang sama tingginya dengan perokok.
Meskipun fakta ini telah menjadi rahasia umum (diketahui banyak orang), hal ini tidak juga menjadi suatu dorongan yang membantu seseorang untuk berhenti merokok dan juga tidak mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Karena itu, non-perokok dituntut untuk lebih berhati-hati agar tidak terpapar asap rokok.
WHO memperkirakan hampir 600.000 kematian per tahun disebabkan paparan asap rokok kepada perokok pasif.
Bagi anak-anak dan bayi juga sangat rentan terpapar asap rokok yang secara tidak sengaja terhirup dari hasil pembakaran tembakau atau asap yang dihembuskan dari orang dewasa yang sedang merokok di sekitarnya.
Dikutip dari laman Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat, paparan asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif memiliki risiko yang hampir sama dengan asap yang dihirup langsung oleh perokok aktif, yaitu meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular hingga 30 persen.
"Bayi dan anak-anak yang terpapar asap rokok pasif memiliki peluang lebih tinggi terkena penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, radang paru-paru dan mengalami Sindrom Kematian Bayi Mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS)," kata Laksmi. Perokok Terbanyak
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang berjudul The Tobacco Control Atlas, ASEAN Region menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang.
Kemudian Filipina dengan jumlah perokok terbanyak kedua, yakni sebanyak 16,5 juta.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan mewajibkan pemerintah daerah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/Pb/I2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Selain itu, Indonesia juga tengah dalam pembicaraan untuk menaikkan pajak rokok dan harga eceran dengan harapan yang sama. Aturan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri mengingatkan empat hal kepada pemerintah daerah, yakni menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang KTR dan memperkuat upaya promotif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan.
Selanjutnya, edukasi secara berkelanjutan bagi anak-anak dan remaja usia sekolah berkaitan dengan dampak negatif akibat bahaya rokok.
Pemda diharapkan melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat dalam mengkampanyekan kebijakan tentang KTR.
Terakhir, pemda juga diharapkan menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.
Belum Maksimal
Untuk Pemprov DKI Jakarta telah ada beberapa peraturan mengenai rokok, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta.
Begitu juga Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan dan Penegakkan Kawasan Dilarang Merokok.
Namun peraturan yang dimaksudkan untuk mengendalikan lokasi merokok itu dinilai belum berjalan baik. Buktinya, berdasarkan survei yang dibuat Forum Warga Kita Jakarta (FAKTA), masih banyak mall di Ibu Kota yang belum bebas asap rokok.
Dari survei yang dilakukan pada 17-19 Juni 2019 di 15 mall dan 13 pasar di Jakarta itu menunjukkan di 60 persen mall masih ditemukan orang merokok di dalam mall.
"Survei kemarin menujukan kondisi berbeda (dari Pergub) dan masih banyak orang merokok di dalam mall," kata Ketua FAKTA Azas Tigor Nainggolan di Jakarta, Senin (12/8).
Padahal tanda aturan dilarang merokok di dalam mall sudah banyak dipasang dengan persentase 73 persen. Namun aturan tersebut masih belum diterapkan sepenuhnya, baik oleh pengelola maupun perokok.
Di sebanyak 60 persen mall juga masih ditemukan puntung rokok serta di 53 persen mall tercium asap rokok. Cilandak Town Square (Citos) di Jakarta Selatan merupakan salah satu mall dengan asap rokok yang dominan di dalam gedung.
Sementara itu, di pasar-pasar DKI, sebanyak 92 persen pasar ada orang yang merokok di dalam gedung meskipun sudah ada aturan atau pemberitahuan yang melarang aktivitas tersebut.
Teranyar, Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Instruksi Gubernur atau Ingub Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Namun walau ada aturan tersebut, eksekusinya dirasakan kurang lengkap karena hanya fokus dengan kualitas udara di luar ruangan.
"Tanpa memperhatikan regulasi yang seharusnya juga dapat diterapkan di dalam ruangan," tutur Azas.
Butuh alternatif?
Sementara itu, beberapa negara maju yang memiliki permasalahan serupa mengenai perokok, saat ini mulai melakukan berbagai pendekatan melalui penelitian untuk mencari tahu bagaimana cara menurunkan angka perokok.
Inggris menjadi salah satu negara yang dinilai paling aktif melakukan penelitian untuk menurunkan jumlah perokok melalui produk rendah risiko. Salah satunya adalah rokok elektrik.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Public Health England (PHE) menunjukkan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok konvensional.
Hal karena proses pembakaran dihilangkan yang kemudian juga menghilangkan paparan asap pertama bagi perokok. Selanjutnya paparan asap kedua dan ketiga yang mungkin dihirup oleh perokok pasif.
Penggunaan alternatif untuk menghilangkan bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok dan juga secara perlahan mengurangi jumlah perokok dengan memberikan alternatif yang lebih rendah risiko bagi perokok aktif, mungkin bisa menjadi salah satu langkah yang bisa dilakukan.
Hal itu terutama melihat hasil yang telah berhasil dicapai oleh beberapa negara maju dengan menggunakan jalan alternatif ini, seperti Inggris.
Dengan semakin banyaknya bukti-bukti ilmiah, hal ini mendukung pemanfaatan produk alternatif seperti rokok elektrik.
Namun meskipun demikian, sejumlah penelitian lanjutan dibutuhkan untuk mengetahui lebih dalam dampak jangka panjang dari produk alternatif tersebut.
Hal itu dinilai karena perokok aktif akan menghirup asap rokok dalam saluran pernapasan mereka. Namun di sisi lain perokok pasif menghirup sisa residu asap rokok.
Bahkan dengan partikel yang lebih kecil, hal tersebut dapat langsung masuk pada pembuluh darah dan jaringan tubuh lainnya.
"Hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit sistemik bagi para perokok pasif," kata dokter spesialis paru-paru Rumah Sakit MRCCC Siloam Hospital Semanggi Sita Laksmi Andarini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/10).
Parahnya, tidak hanya membahayakan bagi perokok pasif kalangan dewasa, tetapi juga bagi anak-anak dan bayi yang secara tak sengaja ikut menghirup residu asap rokok.
Mereka akhirnya terpapar ribuan zat berbahaya yang sebagian bersifat karsinogenik (beracun) dengan merusak sel-sel di dalam tubuh.
Dalam beberapa penelitian, perokok aktif akan berisiko mendapatkan kanker 13 kali lipat dibandingkan non-perokok, tapi perokok pasif (secondhand smoker) juga dalam risiko yang sama tingginya dengan perokok.
Meskipun fakta ini telah menjadi rahasia umum (diketahui banyak orang), hal ini tidak juga menjadi suatu dorongan yang membantu seseorang untuk berhenti merokok dan juga tidak mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Karena itu, non-perokok dituntut untuk lebih berhati-hati agar tidak terpapar asap rokok.
WHO memperkirakan hampir 600.000 kematian per tahun disebabkan paparan asap rokok kepada perokok pasif.
Bagi anak-anak dan bayi juga sangat rentan terpapar asap rokok yang secara tidak sengaja terhirup dari hasil pembakaran tembakau atau asap yang dihembuskan dari orang dewasa yang sedang merokok di sekitarnya.
Dikutip dari laman Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat, paparan asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif memiliki risiko yang hampir sama dengan asap yang dihirup langsung oleh perokok aktif, yaitu meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular hingga 30 persen.
"Bayi dan anak-anak yang terpapar asap rokok pasif memiliki peluang lebih tinggi terkena penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, radang paru-paru dan mengalami Sindrom Kematian Bayi Mendadak (Sudden Infant Death Syndrome/SIDS)," kata Laksmi. Perokok Terbanyak
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang berjudul The Tobacco Control Atlas, ASEAN Region menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang.
Kemudian Filipina dengan jumlah perokok terbanyak kedua, yakni sebanyak 16,5 juta.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan mewajibkan pemerintah daerah menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36/2009 tentang Kesehatan.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/Pb/I2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Selain itu, Indonesia juga tengah dalam pembicaraan untuk menaikkan pajak rokok dan harga eceran dengan harapan yang sama. Aturan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri mengingatkan empat hal kepada pemerintah daerah, yakni menyusun dan mempercepat penerbitan kebijakan tentang KTR dan memperkuat upaya promotif dan preventif melalui kegiatan penyuluhan.
Selanjutnya, edukasi secara berkelanjutan bagi anak-anak dan remaja usia sekolah berkaitan dengan dampak negatif akibat bahaya rokok.
Pemda diharapkan melibatkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat dalam mengkampanyekan kebijakan tentang KTR.
Terakhir, pemda juga diharapkan menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.
Belum Maksimal
Untuk Pemprov DKI Jakarta telah ada beberapa peraturan mengenai rokok, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta.
Begitu juga Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan dan Penegakkan Kawasan Dilarang Merokok.
Namun peraturan yang dimaksudkan untuk mengendalikan lokasi merokok itu dinilai belum berjalan baik. Buktinya, berdasarkan survei yang dibuat Forum Warga Kita Jakarta (FAKTA), masih banyak mall di Ibu Kota yang belum bebas asap rokok.
Dari survei yang dilakukan pada 17-19 Juni 2019 di 15 mall dan 13 pasar di Jakarta itu menunjukkan di 60 persen mall masih ditemukan orang merokok di dalam mall.
"Survei kemarin menujukan kondisi berbeda (dari Pergub) dan masih banyak orang merokok di dalam mall," kata Ketua FAKTA Azas Tigor Nainggolan di Jakarta, Senin (12/8).
Padahal tanda aturan dilarang merokok di dalam mall sudah banyak dipasang dengan persentase 73 persen. Namun aturan tersebut masih belum diterapkan sepenuhnya, baik oleh pengelola maupun perokok.
Di sebanyak 60 persen mall juga masih ditemukan puntung rokok serta di 53 persen mall tercium asap rokok. Cilandak Town Square (Citos) di Jakarta Selatan merupakan salah satu mall dengan asap rokok yang dominan di dalam gedung.
Sementara itu, di pasar-pasar DKI, sebanyak 92 persen pasar ada orang yang merokok di dalam gedung meskipun sudah ada aturan atau pemberitahuan yang melarang aktivitas tersebut.
Teranyar, Pemprov DKI Jakarta menerbitkan Instruksi Gubernur atau Ingub Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Namun walau ada aturan tersebut, eksekusinya dirasakan kurang lengkap karena hanya fokus dengan kualitas udara di luar ruangan.
"Tanpa memperhatikan regulasi yang seharusnya juga dapat diterapkan di dalam ruangan," tutur Azas.
Butuh alternatif?
Sementara itu, beberapa negara maju yang memiliki permasalahan serupa mengenai perokok, saat ini mulai melakukan berbagai pendekatan melalui penelitian untuk mencari tahu bagaimana cara menurunkan angka perokok.
Inggris menjadi salah satu negara yang dinilai paling aktif melakukan penelitian untuk menurunkan jumlah perokok melalui produk rendah risiko. Salah satunya adalah rokok elektrik.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Public Health England (PHE) menunjukkan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok konvensional.
Hal karena proses pembakaran dihilangkan yang kemudian juga menghilangkan paparan asap pertama bagi perokok. Selanjutnya paparan asap kedua dan ketiga yang mungkin dihirup oleh perokok pasif.
Penggunaan alternatif untuk menghilangkan bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok dan juga secara perlahan mengurangi jumlah perokok dengan memberikan alternatif yang lebih rendah risiko bagi perokok aktif, mungkin bisa menjadi salah satu langkah yang bisa dilakukan.
Hal itu terutama melihat hasil yang telah berhasil dicapai oleh beberapa negara maju dengan menggunakan jalan alternatif ini, seperti Inggris.
Dengan semakin banyaknya bukti-bukti ilmiah, hal ini mendukung pemanfaatan produk alternatif seperti rokok elektrik.
Namun meskipun demikian, sejumlah penelitian lanjutan dibutuhkan untuk mengetahui lebih dalam dampak jangka panjang dari produk alternatif tersebut.