JAKARTA (ANTARA) - Sebuah tongkat peraba jalan mengarahkan Aliya berjalan menuju ke perpustakaan di Sekolah Luar Biasa A (SLBA) Pembina Tingkat Nasional Jakarta untuk mengikuti kelas tambahan pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Perlahan, terdengar sayup-sayup suara papan ketik komputer dari ruangan yang dituju.
"Selamat Siang Pak, Apakah kelasnya sudah mulai?" kata Himatul Aliya Ahmmad yang merupakan salah satu siswi dari SLBA Pembina Tingkat Nasional, Jakarta.
"Siapa itu, Aliya ya? Silakan duduk dulu, teman-teman kamu yang lain belum datang" kata Aris Yohanes Elean sambil membuka headphone yang sedang digunakannya untuk melakukan pendataan buku di perpustakaan.
Aris mengambil tongkatnya dan perlahan-lahan berjalan mendekati Aliya sambil bertanya "Bagaimana kelas kamu hari ini? Tunggu sebentar lagi ya, sampai teman-teman kamu yang lain datang" kata Aris.
Berselang sekitar 30 menit dua murid lain sambil mengarahkan tongkatnya menyusul memasuki ruangan perpustakaan itu.
"Selamat siang Pak," kata salah satu murid bernama Radit Seto Atalia Ramdan.
"Nah, akhirnya komplit ya, mari kita mulai pelajaran lanjutan yang kemarin soal Vlook Up microsoft excel ya," kata Aris yang langsung membuka pelajaran tambahan.
Aris adalah seorang guru berusia 38 tahun yang menyadari bahwa tidak mudahnya menjadi penyandang disabilitas netra di negeri ini. Dengan keterampilan dan pengetahuannya, dia ingin berbagi terang kepada sesama agar kehidupan penyandang disabilitas netra bisa lebih baik.
Aris, begitu sapaan akrabnya, merupakan sosok tunanetra dengan kondisi buta total yang meraih gelar Sarjana Teknik Informatika lulusan terbaik di Universitas Pamulang.
Kini, Aris yang mengajar komputer di SLBA Pembina Tingkat Nasional, Jakarta, memiliki semangat untuk mengubah stigma penyandang disabilitas netra yang masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak.
Dengan metode persentasi dan diskusi kelompok, dia mengajar dan memandu secara perlahan kepada sesama tunanetra untuk memiliki kemampuan kelak.
Kini kesehariannya disibukkan dengan mengajar dan berbagi ilmu kepada muridnya yang juga penyandang disabilitas netra. Aris selalu memupuk semangat pada semua muridnya dan mengatakan hal-hal positif selagi mengajar.
Aris Yohanes Elean saat memberikan materi pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Sekolah Luar Biasa A (SLBA) Pembina Tingkat Nasional Jakarta. ANTARA/Erlangga Bregas Prakoso
Tak hanya sekadar memberikan pembelajaran, pompaan semangat pun sering diberikan kepada murid-muridnya untuk memotivasi. Para anak didiknya pun sangat antusias mendapatkan pelajaran mengenai ilmu komputer.
Aris terkenal sosok yang tegas di mata para muridnya, terlebih ketika memberikan pemahaman soal materi pembelajaran.
Radit dan Aliya dua murid Aris di SLB-A menceritakan bagaimana sosok Aris mendidik anak muridnya yang sesama tunanetra agar memiliki kemampuan yang sama dengan orang normal lainnya. Oleh sebab itu, Aris ingin murid-muridnya memiliki keterampilan, terutama di bidang TIK, yang bisa menjadi bekal.
“Saya tau, kenapa Pak Aris itu bisa memberikan didikan seperti itu kepada saya dan teman-teman saya. Kalau dari sisi keras sih enggak sih, orangnya cuma tegas, lebih kepada tidak mau kalau anak muridnya itu tidak maju, tidak mau kalau anak muridnya itu tidak bisa, tidak mau kalau anak muridnya itu kalah. Itu bukan dikatakan galak tapi tegas, tegas dalam hal untuk memacu,” ujar salah satu murid bernama Radit
Senada dengan Radit, Aliya menceritakan bahwa selain tegas, Aris merupakan sosok yang sangat detail saat memberikan materi pembelajaran khususnya dalam bidang komputer.
Mengajar sesama
Keinginan Aris untuk mengembangkan kompetensi para penyandang disabilitas netra bukan hanya lewat sekolah.
Jauh sebelum itu, pada tahun 2012, dia menginisiasi kelahiran IT Center for The Blind (ITCFB) sebuah komunitas nirlaba yang merangkul penyandang disabilitas netra belajar teknologi. Anggotanya kini tersebar dari Merauke sampai Sabang lewat beragam platform.
Dia menghitung sekurangnya ada 2.000-an orang yang tergabung lewat Facebook, 300-an di Telegram, dan 150-an di WhatsApps Grup. Tiap penyandang disabilitas netra bebas memilih platform yang penting nyaman.
Kelahiran ITCFB didorong oleh keprihatinan Aris terhadap sesama. Kala itu dia sering mendapat kabar penyandang disabilitas netra sulit mendapatkan pendidikan yang diinginkan. Biasanya pihak kampus atau lembaga pendidikan beralasan tidak punya fasilitas yang mendukung.
“Kegelisahan berawal dari sesama tunanetra yang tidak memiliki wadah ataupun guru untuk belajar," ujarnya.
Komunitas tunanetra yang melek teknologi di Indonesia itu adalah komunitas yang beranggotakan tunanetra pegiat teknologi dan pengembangan aplikasi komputer. Salah satu program pertama yang dikembangkan komunitas ini adalah akses tunanetra terhadap layar sentuh.
Mewujudkan impian
Tak mudah bagi Aris mewujudkan mimpinya untuk mendalami teknologi informasi. Setelah lulus dari SMA pada tahun 2007, Aris dengan antusias ingin melanjutkan pendidikannya di jurusan Teknik Informatika.
Namun, pada waktu itu, Aris menghadapi kendala besar karena kampus-kampus di Indonesia belum siap menerima mahasiswa tunanetra di program studi tersebut. Pengalaman ini membuat perasaannya campur aduk, dengan perasaan sedih, kecewa, dan rasa tidak diakui secara akademis.
Untuk menyambung hidup, Aris memutuskan untuk bekerja, mencoba berbagai pekerjaan mulai dari pekerjaan telemarketing hingga menjadi pengajar komputer, bahkan pernah berbicara untuk tunanetra se-Asia Pasifik. Meskipun mengalami penolakan dalam mencari tempat untuk mengejar impian akademisnya, keinginan Aris untuk berkuliah tetap menyala.
Pada suatu titik, Aris hampir menyerah dan memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Inggris yang dianggap lebih ramah bagi penyandang disabilitas. Namun, di tengah keputusasaan, kabar baik akhirnya datang pada tahun 2017. Aris diberi tahu bahwa Universitas Pamulang membuka pintu untuk mahasiswa tunanetra di program studi Teknik Informatika.
Kabar ini menjadi titik balik dalam perjalanan Aris, yang sangat bahagia mendengarnya. Akhirnya, setelah sepuluh tahun perjuangan, Aris dapat mewujudkan impian kuliah di jurusan Teknik Informatika. Hal itu menunjukkan bahwa ketekunan dan tekad dapat mengatasi segala rintangan.
Tidak berhenti, Aris kini tengah mengejar cita-citanya untuk kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Beragam tes tengah dia lakukan, bahkan saat ini dirinya terus mencoba untuk mendaftar untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri.
Aris meyakini bahwa pendidikan merupakan hal terpenting bagi dirinya untuk membuka wawasan, membuka "jendela dunia" dan dapat bermanfaat untuk berbagi terang kepada sesama.
Tertarik IT
Aris sudah memiliki cita-cita menjadi seorang programmer sejak usia 11 tahun. Cita-cita inilah yang ia gantungkan dan coba diraihnya dengan semangat serta perjuangan.
Meskipun tahu perjuangannya ini tidaklah mudah, tapi Aris tidak patah semangat. Aris paham betul betapa sulitnya akses ke pendidikan tinggi dan dunia kerja di Indonesia yang belum inklusif bagi penyandang disabilitas.
Aris tidak buta sejak lahir, ia kehilangan penglihatannya pada usia enam tahun akibat penyakit glukoma. Kemudian, ketika usianya 11 tahun, ia pertama kali berkesempatan mengenal Eureka. Ini adalah perangkat komputer yang dirancang khusus untuk tunanetra.
Komputer ini beroperasi dengan suara dan tidak memiliki layar. Dari sumber suara inilah Aris mulai tertarik dan mendalami ilmu komputer. Lambat laun, Aris mengenal dan mulai bisa mengoperasikan komputer yang biasa digunakan masyarakat umum.
Komputer itu tidak memiliki layar dan beroperasi berbasis suara. Dari sumber suara inilah Aris bisa mempelajari lebih jauh bagaimana kemajuan teknologi dan mempelajari komputer yang umum digunakan masyarakat secara otodidak. Ketertarikannya dengan dunia informatika kian dalam, sehingga Aris memutuskan untuk fokus di bidang ini.
"Waktu saya SD, saya sadar inilah yang saya mau, inilah yang saya minati. Di situ saya sadar satu hal, yaitu tunanetra waktu itu hanya ada dua pilihan jenis profesi atau bidang pekerjaannya, yaitu musik atau pemijat, iya saya tidak mau keduanya.” ujar Aris.
Sepanjang hidupnya, Aris sering kali menghadapi ketidakpercayaan orang-orang bahwa seorang tunanetra dengan kondisi buta total bisa menjadi seorang pemrogram.
Namun, kenyataannya membuktikan sebaliknya. Dengan fasih mengoperasikan komputer yang umum digunakan, Aris memanfaatkan aplikasi pembaca layar untuk membantu dalam pekerjaannya.
Aplikasi pembaca layar membuka jendela dunia mengenai pengetahuannya dalam bidang TIK. Aplikasi pembaca layar memungkinkan Aris memberikan perintah melalui navigasi papan ketuk. Meskipun tidak dapat melihat, Aris telah menghafal letak tombol-tombol yang diperlukan untuk mengoperasikan aplikasi tersebut.
Hasilnya, apa yang muncul di layar akan disuarakan oleh aplikasi pembaca layar, dan menjadikan pengalaman pengguna tunanetra serupa dengan masyarakat non-disabilitas.
Dengan aplikasi pembaca layar tersebut, dia mengatakan bahwa hal tersebut membawa tunanetra memiliki kemampuan yang sama dalam bidang TIK, khususnya penggunaan aplikasi yang ada pada komputer.
"Saya tidak lagi dianggap sebagai tunanetra. Apa bedanya saya bisa mengetik tulisan bisa dibaca oleh orang lain. Dan saya juga bisa menghasilkan yang sama seperti orang lain juga menghasilkan sesuatu. Kedudukan kita sudah sama," ucap Aris.
Bahkan, ketika masih berada di tingkat SMA, Aris dan teman-temannya berhasil menciptakan sebuah situs yang mendapatkan popularitas signifikan di kalangan pengguna internet pada masa itu. Keberhasilan ini semakin memotivasi Aris untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang pemrogram, membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi potensi dan bakat seseorang dalam meraih sukses di dunia teknologi.
Sebagai tunanetra, Aris juga mengatakan tidak memiliki kendala mempelajari bahasa pemrograman apa pun, sepanjang materi pembelajarannya bisa dia akses dengan baik. Dia bisa menggunakan sejumlah bahasa pemrograman seperti Java, PHP, C++, Golang, Swift, dan lain-lain.
Kegigihan Aris dalam menimba ilmu didorong oleh semangat untuk memberikan bantuan kepada sesama. Aris meyakini bahwa meskipun mungkin Tuhan tidak memberinya penglihatan fisik seperti mata normal, namun diberikan anugerah "penglihatan" lain melalui pemahaman melek teknologi.
Saat ini, kemampuan teknologis Aris menjadi seperti sebuah sumber cahaya bagi teman-teman penyandang disabilitas netra. Ilmu dan keterampilan yang dimiliki Aris membawa sinar terang ke dalam hari-hari mereka yang sebelumnya cenderung gelap. Setidaknya, kini hari-hari para tunanetra tidak sekelam seperti sebelumnya karena Aris dengan tulus bersedia berbagi pengetahuan dan keterampilannya.
Dalam semangatnya yang tak kenal lelah, Aris menyuarakan pentingnya pendidikan bagi penyandang disabilitas netra. Ia menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci penting dalam meraih kesuksesan, dan mengingatkan agar tidak menyepelekan nilai pendidikan.
Aris juga mendorong agar penyandang disabilitas netra berkomitmen untuk menjadi individu yang berkualitas, yakin bahwa melalui kontribusi positif, persepsi masyarakat terhadap mereka dapat berubah, bahkan membantu mengurangi diskriminasi. Dengan pesan penuh semangat, Aris mengajak semua untuk terus berjuang dan membuktikan bahwa pendidikan adalah hak setiap individu, tanpa terkecuali.
"Kita harus menjadi tunanetra yang berkualitas agar masyarakat bisa menghargai kita. Barangkali dengan cara kita menjadi tunanetra yang berkualitas, diskriminasi bisa berkurang," ujarnya
"Selamat Siang Pak, Apakah kelasnya sudah mulai?" kata Himatul Aliya Ahmmad yang merupakan salah satu siswi dari SLBA Pembina Tingkat Nasional, Jakarta.
"Siapa itu, Aliya ya? Silakan duduk dulu, teman-teman kamu yang lain belum datang" kata Aris Yohanes Elean sambil membuka headphone yang sedang digunakannya untuk melakukan pendataan buku di perpustakaan.
Aris mengambil tongkatnya dan perlahan-lahan berjalan mendekati Aliya sambil bertanya "Bagaimana kelas kamu hari ini? Tunggu sebentar lagi ya, sampai teman-teman kamu yang lain datang" kata Aris.
Berselang sekitar 30 menit dua murid lain sambil mengarahkan tongkatnya menyusul memasuki ruangan perpustakaan itu.
"Selamat siang Pak," kata salah satu murid bernama Radit Seto Atalia Ramdan.
"Nah, akhirnya komplit ya, mari kita mulai pelajaran lanjutan yang kemarin soal Vlook Up microsoft excel ya," kata Aris yang langsung membuka pelajaran tambahan.
Aris adalah seorang guru berusia 38 tahun yang menyadari bahwa tidak mudahnya menjadi penyandang disabilitas netra di negeri ini. Dengan keterampilan dan pengetahuannya, dia ingin berbagi terang kepada sesama agar kehidupan penyandang disabilitas netra bisa lebih baik.
Aris, begitu sapaan akrabnya, merupakan sosok tunanetra dengan kondisi buta total yang meraih gelar Sarjana Teknik Informatika lulusan terbaik di Universitas Pamulang.
Kini, Aris yang mengajar komputer di SLBA Pembina Tingkat Nasional, Jakarta, memiliki semangat untuk mengubah stigma penyandang disabilitas netra yang masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak.
Dengan metode persentasi dan diskusi kelompok, dia mengajar dan memandu secara perlahan kepada sesama tunanetra untuk memiliki kemampuan kelak.
Kini kesehariannya disibukkan dengan mengajar dan berbagi ilmu kepada muridnya yang juga penyandang disabilitas netra. Aris selalu memupuk semangat pada semua muridnya dan mengatakan hal-hal positif selagi mengajar.
Tak hanya sekadar memberikan pembelajaran, pompaan semangat pun sering diberikan kepada murid-muridnya untuk memotivasi. Para anak didiknya pun sangat antusias mendapatkan pelajaran mengenai ilmu komputer.
Aris terkenal sosok yang tegas di mata para muridnya, terlebih ketika memberikan pemahaman soal materi pembelajaran.
Radit dan Aliya dua murid Aris di SLB-A menceritakan bagaimana sosok Aris mendidik anak muridnya yang sesama tunanetra agar memiliki kemampuan yang sama dengan orang normal lainnya. Oleh sebab itu, Aris ingin murid-muridnya memiliki keterampilan, terutama di bidang TIK, yang bisa menjadi bekal.
“Saya tau, kenapa Pak Aris itu bisa memberikan didikan seperti itu kepada saya dan teman-teman saya. Kalau dari sisi keras sih enggak sih, orangnya cuma tegas, lebih kepada tidak mau kalau anak muridnya itu tidak maju, tidak mau kalau anak muridnya itu tidak bisa, tidak mau kalau anak muridnya itu kalah. Itu bukan dikatakan galak tapi tegas, tegas dalam hal untuk memacu,” ujar salah satu murid bernama Radit
Senada dengan Radit, Aliya menceritakan bahwa selain tegas, Aris merupakan sosok yang sangat detail saat memberikan materi pembelajaran khususnya dalam bidang komputer.
Mengajar sesama
Keinginan Aris untuk mengembangkan kompetensi para penyandang disabilitas netra bukan hanya lewat sekolah.
Jauh sebelum itu, pada tahun 2012, dia menginisiasi kelahiran IT Center for The Blind (ITCFB) sebuah komunitas nirlaba yang merangkul penyandang disabilitas netra belajar teknologi. Anggotanya kini tersebar dari Merauke sampai Sabang lewat beragam platform.
Dia menghitung sekurangnya ada 2.000-an orang yang tergabung lewat Facebook, 300-an di Telegram, dan 150-an di WhatsApps Grup. Tiap penyandang disabilitas netra bebas memilih platform yang penting nyaman.
Kelahiran ITCFB didorong oleh keprihatinan Aris terhadap sesama. Kala itu dia sering mendapat kabar penyandang disabilitas netra sulit mendapatkan pendidikan yang diinginkan. Biasanya pihak kampus atau lembaga pendidikan beralasan tidak punya fasilitas yang mendukung.
“Kegelisahan berawal dari sesama tunanetra yang tidak memiliki wadah ataupun guru untuk belajar," ujarnya.
Komunitas tunanetra yang melek teknologi di Indonesia itu adalah komunitas yang beranggotakan tunanetra pegiat teknologi dan pengembangan aplikasi komputer. Salah satu program pertama yang dikembangkan komunitas ini adalah akses tunanetra terhadap layar sentuh.
Mewujudkan impian
Tak mudah bagi Aris mewujudkan mimpinya untuk mendalami teknologi informasi. Setelah lulus dari SMA pada tahun 2007, Aris dengan antusias ingin melanjutkan pendidikannya di jurusan Teknik Informatika.
Namun, pada waktu itu, Aris menghadapi kendala besar karena kampus-kampus di Indonesia belum siap menerima mahasiswa tunanetra di program studi tersebut. Pengalaman ini membuat perasaannya campur aduk, dengan perasaan sedih, kecewa, dan rasa tidak diakui secara akademis.
Untuk menyambung hidup, Aris memutuskan untuk bekerja, mencoba berbagai pekerjaan mulai dari pekerjaan telemarketing hingga menjadi pengajar komputer, bahkan pernah berbicara untuk tunanetra se-Asia Pasifik. Meskipun mengalami penolakan dalam mencari tempat untuk mengejar impian akademisnya, keinginan Aris untuk berkuliah tetap menyala.
Pada suatu titik, Aris hampir menyerah dan memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Inggris yang dianggap lebih ramah bagi penyandang disabilitas. Namun, di tengah keputusasaan, kabar baik akhirnya datang pada tahun 2017. Aris diberi tahu bahwa Universitas Pamulang membuka pintu untuk mahasiswa tunanetra di program studi Teknik Informatika.
Kabar ini menjadi titik balik dalam perjalanan Aris, yang sangat bahagia mendengarnya. Akhirnya, setelah sepuluh tahun perjuangan, Aris dapat mewujudkan impian kuliah di jurusan Teknik Informatika. Hal itu menunjukkan bahwa ketekunan dan tekad dapat mengatasi segala rintangan.
Tidak berhenti, Aris kini tengah mengejar cita-citanya untuk kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Beragam tes tengah dia lakukan, bahkan saat ini dirinya terus mencoba untuk mendaftar untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri.
Aris meyakini bahwa pendidikan merupakan hal terpenting bagi dirinya untuk membuka wawasan, membuka "jendela dunia" dan dapat bermanfaat untuk berbagi terang kepada sesama.
Tertarik IT
Aris sudah memiliki cita-cita menjadi seorang programmer sejak usia 11 tahun. Cita-cita inilah yang ia gantungkan dan coba diraihnya dengan semangat serta perjuangan.
Meskipun tahu perjuangannya ini tidaklah mudah, tapi Aris tidak patah semangat. Aris paham betul betapa sulitnya akses ke pendidikan tinggi dan dunia kerja di Indonesia yang belum inklusif bagi penyandang disabilitas.
Aris tidak buta sejak lahir, ia kehilangan penglihatannya pada usia enam tahun akibat penyakit glukoma. Kemudian, ketika usianya 11 tahun, ia pertama kali berkesempatan mengenal Eureka. Ini adalah perangkat komputer yang dirancang khusus untuk tunanetra.
Komputer ini beroperasi dengan suara dan tidak memiliki layar. Dari sumber suara inilah Aris mulai tertarik dan mendalami ilmu komputer. Lambat laun, Aris mengenal dan mulai bisa mengoperasikan komputer yang biasa digunakan masyarakat umum.
Komputer itu tidak memiliki layar dan beroperasi berbasis suara. Dari sumber suara inilah Aris bisa mempelajari lebih jauh bagaimana kemajuan teknologi dan mempelajari komputer yang umum digunakan masyarakat secara otodidak. Ketertarikannya dengan dunia informatika kian dalam, sehingga Aris memutuskan untuk fokus di bidang ini.
"Waktu saya SD, saya sadar inilah yang saya mau, inilah yang saya minati. Di situ saya sadar satu hal, yaitu tunanetra waktu itu hanya ada dua pilihan jenis profesi atau bidang pekerjaannya, yaitu musik atau pemijat, iya saya tidak mau keduanya.” ujar Aris.
Sepanjang hidupnya, Aris sering kali menghadapi ketidakpercayaan orang-orang bahwa seorang tunanetra dengan kondisi buta total bisa menjadi seorang pemrogram.
Namun, kenyataannya membuktikan sebaliknya. Dengan fasih mengoperasikan komputer yang umum digunakan, Aris memanfaatkan aplikasi pembaca layar untuk membantu dalam pekerjaannya.
Aplikasi pembaca layar membuka jendela dunia mengenai pengetahuannya dalam bidang TIK. Aplikasi pembaca layar memungkinkan Aris memberikan perintah melalui navigasi papan ketuk. Meskipun tidak dapat melihat, Aris telah menghafal letak tombol-tombol yang diperlukan untuk mengoperasikan aplikasi tersebut.
Hasilnya, apa yang muncul di layar akan disuarakan oleh aplikasi pembaca layar, dan menjadikan pengalaman pengguna tunanetra serupa dengan masyarakat non-disabilitas.
Dengan aplikasi pembaca layar tersebut, dia mengatakan bahwa hal tersebut membawa tunanetra memiliki kemampuan yang sama dalam bidang TIK, khususnya penggunaan aplikasi yang ada pada komputer.
"Saya tidak lagi dianggap sebagai tunanetra. Apa bedanya saya bisa mengetik tulisan bisa dibaca oleh orang lain. Dan saya juga bisa menghasilkan yang sama seperti orang lain juga menghasilkan sesuatu. Kedudukan kita sudah sama," ucap Aris.
Bahkan, ketika masih berada di tingkat SMA, Aris dan teman-temannya berhasil menciptakan sebuah situs yang mendapatkan popularitas signifikan di kalangan pengguna internet pada masa itu. Keberhasilan ini semakin memotivasi Aris untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang pemrogram, membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi potensi dan bakat seseorang dalam meraih sukses di dunia teknologi.
Sebagai tunanetra, Aris juga mengatakan tidak memiliki kendala mempelajari bahasa pemrograman apa pun, sepanjang materi pembelajarannya bisa dia akses dengan baik. Dia bisa menggunakan sejumlah bahasa pemrograman seperti Java, PHP, C++, Golang, Swift, dan lain-lain.
Kegigihan Aris dalam menimba ilmu didorong oleh semangat untuk memberikan bantuan kepada sesama. Aris meyakini bahwa meskipun mungkin Tuhan tidak memberinya penglihatan fisik seperti mata normal, namun diberikan anugerah "penglihatan" lain melalui pemahaman melek teknologi.
Saat ini, kemampuan teknologis Aris menjadi seperti sebuah sumber cahaya bagi teman-teman penyandang disabilitas netra. Ilmu dan keterampilan yang dimiliki Aris membawa sinar terang ke dalam hari-hari mereka yang sebelumnya cenderung gelap. Setidaknya, kini hari-hari para tunanetra tidak sekelam seperti sebelumnya karena Aris dengan tulus bersedia berbagi pengetahuan dan keterampilannya.
Dalam semangatnya yang tak kenal lelah, Aris menyuarakan pentingnya pendidikan bagi penyandang disabilitas netra. Ia menegaskan bahwa pendidikan merupakan kunci penting dalam meraih kesuksesan, dan mengingatkan agar tidak menyepelekan nilai pendidikan.
Aris juga mendorong agar penyandang disabilitas netra berkomitmen untuk menjadi individu yang berkualitas, yakin bahwa melalui kontribusi positif, persepsi masyarakat terhadap mereka dapat berubah, bahkan membantu mengurangi diskriminasi. Dengan pesan penuh semangat, Aris mengajak semua untuk terus berjuang dan membuktikan bahwa pendidikan adalah hak setiap individu, tanpa terkecuali.
"Kita harus menjadi tunanetra yang berkualitas agar masyarakat bisa menghargai kita. Barangkali dengan cara kita menjadi tunanetra yang berkualitas, diskriminasi bisa berkurang," ujarnya