Save the Children: Perkawinan usia dini adalah perampasan hak anak
Palu (ANTARA) - Save the Children (STC) Indonesia menyatakan perkawinan anak usia dini merupakan satu bentuk tindakan perampasan hak anak atas kelangsungan hak hidup.
"Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orang tua dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak-hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi," kata CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung dalam keterangan tertulis STC menanggapi adanya promosi perkawinan anak yang dilakukan Aisha Weddings, di Palu, Sabtu.
Selina Patta Sumbung yang juga ketua gerakan bersama untuk penghapusan kekerasan pada anak di Indonesia (UF EVAC), menentang segala tindakan organisasi atau lembaga yang mempromosikan perkawinan anak.
Dalam keterangan tertulis STC juga disebutkan bahwa promosi perkawinan anak itu merefleksikan fenomena “gunung es”.
STC dalam keterangan tertulisnya memberikan respons atas kontroversi iklan perkawinan anak, perkawinan siri dan poligami, maka STC bersama UF EVAC meminta pemerintah untuk mendorong proses hukum organisasi atau lembaga gang terbukti mempromosikan perkawinan anak.
STC bersama UF EVAC juga mendorong penerapan pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orang tua sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, karena merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua.
STC bersama UF EVAC mendorong pemerintah untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas hakim di seluruh Indonesia dengan mempromosikan pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dibarengi dengan pelatihan hak anak dan kesetaraan gender.
Selanjutnya, mendorong pemerintah memperkuat koordinasi lintas sektor untuk dukungan terhadap keluarga dan anak yang rentan sebagai komponen perlindungan sosial, khususnya bantuan untuk anak-anak yang telah menjadi korban perkawinan anak.
Selain itu, memperbanyak kampanye antiperkawinan anak di tingkat komunitas lokal serta memperkuat resiliensi anak agar mereka mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat.
"Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orang tua dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak-hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi," kata CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung dalam keterangan tertulis STC menanggapi adanya promosi perkawinan anak yang dilakukan Aisha Weddings, di Palu, Sabtu.
Selina Patta Sumbung yang juga ketua gerakan bersama untuk penghapusan kekerasan pada anak di Indonesia (UF EVAC), menentang segala tindakan organisasi atau lembaga yang mempromosikan perkawinan anak.
Dalam keterangan tertulis STC juga disebutkan bahwa promosi perkawinan anak itu merefleksikan fenomena “gunung es”.
STC dalam keterangan tertulisnya memberikan respons atas kontroversi iklan perkawinan anak, perkawinan siri dan poligami, maka STC bersama UF EVAC meminta pemerintah untuk mendorong proses hukum organisasi atau lembaga gang terbukti mempromosikan perkawinan anak.
STC bersama UF EVAC juga mendorong penerapan pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orang tua sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, karena merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua.
STC bersama UF EVAC mendorong pemerintah untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas hakim di seluruh Indonesia dengan mempromosikan pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung dibarengi dengan pelatihan hak anak dan kesetaraan gender.
Selanjutnya, mendorong pemerintah memperkuat koordinasi lintas sektor untuk dukungan terhadap keluarga dan anak yang rentan sebagai komponen perlindungan sosial, khususnya bantuan untuk anak-anak yang telah menjadi korban perkawinan anak.
Selain itu, memperbanyak kampanye antiperkawinan anak di tingkat komunitas lokal serta memperkuat resiliensi anak agar mereka mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat.