Studi: Jumlah korban tewas di Gaza diperkirakan lampaui 186 ribu jiwa
London (ANTARA) - Sebuah kajian yang dipublikasikan jurnal medis Inggris, The Lancet Jumat (5/7) pekan lalu mengindikasikan bahwa jumlah kematian di Gaza, jauh lebih rendah dari angka sebenarnya.
Menurut kajian itu, jumlah korban tewas sebenarnya akibat agresi Israel ke Jalur Gaza bisa melampaui 186 ribu orang atau sekitar 8 persen dari seluruh populasi Gaza.
Hingga kini, jumlah kematian resmi sebagaimana dicatat otoritas kesehatan Gaza ada pada angka 38.200 orang.
Jumlah korban tewas lain sebagaimana disimpulkan kajian tersebut mencakup ribuan orang yang diduga masih tertimbun reruntuhan bangunan dan ribuan lainnya yang meninggal akibat dampak sekunder konflik, seperti malnutrisi, terkena penyakit, dan kurangnya penanganan medis.
"Jumlah korban tewas yang dilaporkan kemungkinan lebih rendah (dari jumlah sebenarnya). Lembaga Airwars melakukan penilaian rinci terhadap insiden-insiden di Jalur Gaza dan mendapati tidak semua nama korban yang teridentifikasi ada dalam daftar (korban tewas) otoritas setempat," demikian menurut kajian The Lancet.
"Terlebih, PBB memperkirakan bahwa hingga 29 Februari 2024, 35 persen bangunan di Jalur Gaza telah hancur, sehingga kemungkinan jumlah jenazah yang masih tertimbun di reruntuhan bangunan yang hancur cukup besar dan diperkirakan melampaui angka 10.000," demikian tertulis dalam kajian itu.
Selain itu, 14.000 bom dengan berat masing-masing 907 kg yang dipasok Amerika Serikat untuk Israel juga menyebabkan jumlah korban tewas sangat tinggi.
Bom tersebut, selain membunuh secara langsung, juga menghancurkan infrastruktur di Jalur Gaza, sehingga memperburuk situasi krisis yang menyebabkan korban tewas terus bertambah.
Hancurnya fasilitas kesehatan, jaringan distribusi makanan, dan sistem sanitasi membuat warga Gaza yang masih bertahan terpaksa hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan.
"Jumlah korban tewas diperkirakan besar karena intensitas konflik, hancurnya sistem kesehatan, kelangkaan makanan, air bersih, dan tempat tinggal, ketidakmampuan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman dan hilangnya pendanaan ke UNRWA," demikian bunyi kajian yang dirilis The Lancet.
Kajian itu juga menyoroti kehancuran masif di Gaza kian mempersulit upaya menghimpun data korban tewas secara akurat.
Israel tak kunjung berhenti menyerbu Jalur Gaza. Agresi yang telah berlangsung lebih dari 9 bulan itu telah nyata meluluhlantakkan kawasan tersebut.
Padahal, Mahkamah Internasional (ICJ) dalam putusan terbarunya memerintahkan Israel segera berhenti melangsungkan operasi militer ke kota Rafah di Gaza selatan, di mana lebih dari sejuta warga sipil mencari perlindungan dari perang.
Sumber: Anadolu
Menurut kajian itu, jumlah korban tewas sebenarnya akibat agresi Israel ke Jalur Gaza bisa melampaui 186 ribu orang atau sekitar 8 persen dari seluruh populasi Gaza.
Hingga kini, jumlah kematian resmi sebagaimana dicatat otoritas kesehatan Gaza ada pada angka 38.200 orang.
Jumlah korban tewas lain sebagaimana disimpulkan kajian tersebut mencakup ribuan orang yang diduga masih tertimbun reruntuhan bangunan dan ribuan lainnya yang meninggal akibat dampak sekunder konflik, seperti malnutrisi, terkena penyakit, dan kurangnya penanganan medis.
"Jumlah korban tewas yang dilaporkan kemungkinan lebih rendah (dari jumlah sebenarnya). Lembaga Airwars melakukan penilaian rinci terhadap insiden-insiden di Jalur Gaza dan mendapati tidak semua nama korban yang teridentifikasi ada dalam daftar (korban tewas) otoritas setempat," demikian menurut kajian The Lancet.
"Terlebih, PBB memperkirakan bahwa hingga 29 Februari 2024, 35 persen bangunan di Jalur Gaza telah hancur, sehingga kemungkinan jumlah jenazah yang masih tertimbun di reruntuhan bangunan yang hancur cukup besar dan diperkirakan melampaui angka 10.000," demikian tertulis dalam kajian itu.
Selain itu, 14.000 bom dengan berat masing-masing 907 kg yang dipasok Amerika Serikat untuk Israel juga menyebabkan jumlah korban tewas sangat tinggi.
Bom tersebut, selain membunuh secara langsung, juga menghancurkan infrastruktur di Jalur Gaza, sehingga memperburuk situasi krisis yang menyebabkan korban tewas terus bertambah.
Hancurnya fasilitas kesehatan, jaringan distribusi makanan, dan sistem sanitasi membuat warga Gaza yang masih bertahan terpaksa hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan.
"Jumlah korban tewas diperkirakan besar karena intensitas konflik, hancurnya sistem kesehatan, kelangkaan makanan, air bersih, dan tempat tinggal, ketidakmampuan warga untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman dan hilangnya pendanaan ke UNRWA," demikian bunyi kajian yang dirilis The Lancet.
Kajian itu juga menyoroti kehancuran masif di Gaza kian mempersulit upaya menghimpun data korban tewas secara akurat.
Israel tak kunjung berhenti menyerbu Jalur Gaza. Agresi yang telah berlangsung lebih dari 9 bulan itu telah nyata meluluhlantakkan kawasan tersebut.
Padahal, Mahkamah Internasional (ICJ) dalam putusan terbarunya memerintahkan Israel segera berhenti melangsungkan operasi militer ke kota Rafah di Gaza selatan, di mana lebih dari sejuta warga sipil mencari perlindungan dari perang.
Sumber: Anadolu