Akademisi UIN ingatkan Bawaslu terkait laporan pelanggaran pilkada

id Sahran Raden, UIN Datokarama Palu, Pilkada Sulteng, Pilkada Serentak, Pelanggaran Pilkada

Akademisi UIN ingatkan Bawaslu terkait laporan pelanggaran pilkada

Ketua LP2M UIN Datokarama Dr. Sahran Raden. (ANTARA/HO-Dokumentasi UIN Datokarama)

Palu (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Sulawesi Tengah, Sahran Raden mengingatkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) lebih berhati-hati terkait laporan pelanggaran administrasi Pilkada Serentak 2024.

"Sebaiknya Bawaslu provinsi, kabupaten dan kota untuk berhati-hati melalukan pengkajian, sesuai dengan norma dan peristiwa hukum yang terjadi," kata Sahran dihubungi di Kota Palu, Jumat.

Hal itu disampaikan Sahran saat diminta tanggapannya terkait dilaporkannya KPU Sulawesi Tengah, KPU Kota Palu dan KPU Morowali Utara ke Bawaslu masing-masing daerah. Laporan itu terkait dugaan pelanggaran administrasi dalam penetapan pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada Serentak 2024.

Substansi dari ketiga laporan itu, yakni KPU setempat telah meloloskan pasangan calon petahana yang melakukan mutasi atau penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU. Tindakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada mengatur kepala daerah tidak boleh mengganti pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatannya, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.

"Meskipun dilarang, tetapi ada pengecualian tindakan itu, melalui satu mekanisme persetujuan tertulis dari menteri," kata Sahran.

Dia menjelaskan yang disebut adalah mutasi, menukarkan pejabat satu dengan pejabat lain, yang salah satu alasannya dimungkinkan adanya konflik kepentingan.

"Namun, akan dilihat, apakah satu jabatan itu sebatas mutasi atau pengisian. Kalau pengisian karena jabatan kosong, karena wajib diisi, kalau tidak akan mengganggu pemerintahan di daerah, itu juga harus menjadi pertimbangan," kata Sahran.

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulteng itu menjelaskan dalam hukum dikenal dengan azaz fiksi, yakni setiap undang-undang yang telah diundangkan dianggap diketahui oleh masyarakat sehingga, ketidaktahuan hukum tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum.

"Meskipun tidak membaca undang-undang itu karena berlaku asas fiksi dan melakukan suatu perbuatan maka dianggap sudah tahu," katanya menegaskan.