Jakarta (ANTARA) - Tahun 2024 baru saja dilewati, sehingga sudah semestinya awal tahun 2025 dijalani penuh dengan rasa syukur dan optimistis.
Catatan ini mengungkap pentingnya rasa syukur Bangsa Indonesia atas keberhasilan pemerintah dalam menangani gerakan terorisme.
Pada Desember 2024, gerakan Jamaah Islamiyah (JI) resmi mendeklarasikan kesetiaan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya, pada Juni 2024, secara resmi membubarkan organisasinya.
Pembubaran organisasi ini, yang diikuti dengan sumpah setia kepada negara, menjadi tonggak sejarah penting dalam penanganan gerakan terorisme di dunia.
Hal ini belum pernah terjadi di belahan dunia manapun. Deklarasi JI ini menguatkan keberhasilan pemerintah dalam meredam organisasi yang cenderung intoleran, seperti HTI dan FPI, yang juga telah dibubarkan sebelumnya.
Fakta-fakta ini menjadi modal yang baik bagi Indonesia untuk menjadi model bagi bangsa lain dalam menangani gerakan terorisme yang berkedok agama.
Terorisme berbaju agama ternyata tidak selalu harus ditangani dengan kekerasan, tetapi juga dapat diselesaikan melalui pendekatan cinta kasih.
Hal ini karena pada dasarnya, para pelaku terorisme adalah korban dari pemahaman keagamaan yang keliru.
Semua mafhum bahwa banyak teroris dikenal di lingkungannya sebagai orang baik dan pintar. Bahkan, seringkali mereka hapal kitab suci, lebih baik daripada kebanyakan orang. Beberapa di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, pernah mengatakan bahwa remaja dan pemuda yang pintar serta baik sering terjebak dalam ajaran Islam yang palsu karena bertemu dengan guru yang salah.
Menurutnya, berguru pada orang yang salah jauh lebih berbahaya daripada berteman dengan orang yang salah. Guru yang salah dapat mencuci otak muridnya dan memerintahkan mereka untuk melakukan tindakan kriminal, kekerasan, bahkan pembunuhan.
Dalam beberapa kasus, mereka yang telah dicuci otaknya, bahkan dapat menipu dan melawan orang tua mereka sendiri.
Namun, di sisi lain, guru juga dapat menjadi pintu keluar dari ajaran Islam yang palsu menuju ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam konteks ini, peran guru sangat penting sebagai duta Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam sebuah diskusi, Ken Setiawan, yang pernah menjadi salah satu perekrut teroris terbaik, mengatakan bahwa indikator ajaran Islam yang sejati dan yang palsu sangat sederhana.
Jika ajaran tersebut membuat pemeluknya menjadi lebih berakhlak mulia, maka ajaran itu sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT.
Sebaliknya, jika ajaran itu membuat pemeluknya melawan orang tua, melakukan tindakan kriminal, atau bertindak dengan kekerasan, maka ajaran tersebut keliru.
Guru-guru terbaik
Peran guru atau mentor sebagai pintu masuk dan keluar dari gerakan terorisme disadari betul oleh pemerintah, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Oleh karena itu, upaya menangani terorisme dilakukan dengan merekrut guru-guru terbaik yang mampu membawa pelaku terorisme kembali ke jalan yang benar.
Dalam konteks pendidikan formal, guru-guru agama di sekolah negeri dan madrasah menjadi ujung tombak.
Namun, dalam konteks mengembalikan pelaku terorisme ke jalan yang benar, guru terbaik adalah para mantan teroris yang telah sadar.
Pemerintah melibatkan mereka untuk menyadarkan para pelaku terorisme yang masih aktif.
Ken Setiawan sendiri mengakui bahwa dirinya sadar setelah bertemu dengan mantan teroris senior yang pernah berjuang di Afghanistan.
Mantan teroris tersebut justru menyarankan Ken untuk memikirkan keluarganya. Banyak pelaku teror yang terlalu sibuk memikirkan negara, tetapi justru mengabaikan hubungan dengan keluarga terdekat, orang tua, mertua, istri, dan anak.
Mentor tersebut menekankan bahwa untuk menyejahterakan bangsa, seseorang harus terlebih dahulu menyejahterakan keluarganya.
Dengan demikian, keberhasilan pemerintah melibatkan para mantan teroris yang telah sadar layak diapresiasi.
Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mampu mendorong organisasi teroris untuk membubarkan diri dan mendeklarasikan kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Keberhasilan ini dapat dipromosikan oleh Kementerian Luar Negeri agar negara lain yang menghadapi persoalan serupa dapat belajar dari Indonesia.
Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT Brigadir Jenderal (Pol) Achmad Nurwakhid keterlibatan mantan teroris ini memiliki akar sejarah yang kuat.
Dalam sejarah kenabian, banyak musuh Nabi Muhammad, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid, yang akhirnya menjadi sahabat terbaik Nabi. Umar, bahkan menjadi khalifah, sementara Khalid menjadi panglima kaum Muslimin.
Keberhasilan Indonesia ini dalam penanganan terorisme disebut lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan.
Pemerintah menyadari bahwa terorisme tidak hanya lahir dari ideologi radikal semata, tetapi juga dari berbagai faktor sosial dan ekonomi.
Kemiskinan, keterasingan, dan kurangnya pendidikan menjadi beberapa faktor yang kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota baru, meskipun pada beberapa kasus banyak juga pelaku teror berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan tinggi.
Oleh karena itu, pendekatan deradikalisasi tidak hanya menyasar ideologi, tetapi juga memperbaiki kualitas hidup para mantan teroris.
Saat ini, salah satu contoh nyata program pemerintah adalah pelatihan kerja dan pemberdayaan ekonomi bagi mantan teroris dan keluarganya. Program ini membantu mantan teroris mandiri secara ekonomi, sekaligus membangun rasa percaya diri untuk kembali berkontribusi kepada masyarakat.
Selain itu, komunitas-komunitas lokal dilibatkan untuk menerima kembali para mantan pelaku terorisme sebagai bagian dari masyarakat.
Peran media juga penting dalam proses deradikalisasi. Media memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik.
Oleh karena itu, narasi yang dibangun harus mendukung upaya pemerintah dalam mengembalikan para mantan teroris ke jalan yang benar.
Media dapat memberi ruang bagi para mantan teroris yang telah bangkit dan berhasil kembali hidup di masyarakat yang kontributif.
Media harus mengedepankan pemberitaan yang humanis, tidak stigmatis, dan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya pendekatan inklusif dalam menangani terorisme.
Keberhasilan Indonesia dalam menangani terorisme berbasis agama merupakan bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia tidak antiagama.
Pendekatan yang mengutamakan dialog, kasih sayang, dan pemberdayaan manusia dapat menjadi solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan kekuatan semata.
Semoga langkah ini dapat menjadi inspirasi bagi dunia untuk menciptakan perdamaian yang lebih luas.
*) H. Ahmad Nawawi Arsyad adalah Ketua Umum Generasi Muda Mathla’ul Anwar