Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan pentingnya Pedoman Teknis Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme sebagai acuan nasional dalam memperkuat upaya perlindungan anak.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak Dalam Kondisi Khusus KemenPPPA, Susanti mengkonfirmasi di Jakarta, Jumat, bahwa pedoman ini berfokus pada langkah kolaboratif lintas kementerian dan lembaga melalui upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi, reintegrasi, hingga monitoring dan evaluasi.Pentingnya pedoman perkuat perlindungan anak dari terorisme
Kegiatan Koordinasi dan Penguatan Kapasitas Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme bagi Pemerintah dan Tenaga Layanan pada 18 – 19 November 2025. ANTARA/HO - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ANTARA/HO-KemenPPPA
“Aksi terorisme modern kini menyasar anak dan remaja sebagai kelompok yang rentan terpengaruh melalui ruang digital. Kondisi ini mengharuskan kita untuk lebih mewaspadai dan memberikan perlindungan ekstra agar anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman terorisme," kata Susanti.
Menurutnya, upaya perlindungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tugas bersama seluruh pihak mulai dari keluarga, komunitas, hingga masyarakat luas.
"Upaya perlindungan anak dari jaringan terorisme tertuang dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. Edukasi penguatan ideologi dan rasa nasionalisme anak perlu ditekankan melalui layanan konseling, rehabilitasi, pendampingan, dan pengasuhan," katanya.
Pengasuhan dengan menanamkan nilai – nilai yang membangun karakter anak, seperti rasa empati, katanya, kemudian tanggung jawab, serta kemandirian akan memperkuat daya tahan anak terhadap pengaruh negatif, termasuk paham radikalisme dan konten ekstremisme kekerasan.
Pihaknya juga berperan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) dan dinas yang mengampu Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menangani anak korban jaringan terorisme.
Sementara itu, tindak pencegahan aksi ekstrem berbasis kekerasan dapat dilakukan melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang saat ini berjumlah 302 unit di seluruh Indonesia.
Perwakilan Direktorat Pencegahan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri Kombes Pol. Mohammad Dofir menuturkan, tercatat 19.416 aksi pencegahan aksi teror berdasarkan Data Densus 88 AT/Polri tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan pesat dibanding tahun 2022 dengan 1.536 aksi pencegahan.
“Meskipun demikian, Standar Operasional Prosedur (SOP) Kontra Radikalisasi Terhadap Anak tetap menjadi dasar dalam penanganan anak korban jaringan terorisme. Proses asesmen, upaya kolektif, monitoring, dan evaluasi tentu dilakukan dengan berkoordinasi lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait,” kata Dofir.
Perwakilan Sekretariat Direktoral Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Tuaman Manurung menambahkan, berdasarkan Data Komdigi Periode Oktober 2024 – November 2025, sebanyak 3.257.039 konten negatif tersebar pada situs internet dan media sosial, dimana 8.305 di antaranya merupakan konten terorisme dan radikalisme.
“Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan layanan dan pengawasan perlindungan anak di ranah digital. Upaya ini tentu harus didukung peran orang tua, wali, serta masyarakat untuk mendampingi anak dalam mengakses konten digital,” kata Tuaman.
Selain itu, perwakilan Direktorat Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Bara Lintar Sanggabuana menyampaikan upaya deradikalisasi merupakan proses yang terpadu dan berkesinambungan untuk menghilangkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi pada anak.
“Deradikalisasi pada anak ditempuh melalui pembinaan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prioritas,” ujar Bara.
Kemudian, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail sebagai narasumber dengan mengangkat topik memahami karakteristik dan kompleksitas isu anak yang terpapar kekerasan ekstremisme.
“Anak bukan pelaku, tetapi korban dari ideologi dan jaringan terorisme. Keterlibatan anak dalam ekstremisme sering disebabkan oleh doktrin keluarga maupun jaringan, ekspos kekerasan sejak dini, serta kurangnya pengawasan dan akses pendidikan yang inklusif. Anak yang terlibat memerlukan pendampingan hukum dan psikososial, bukan hukuman,” katanya.
Selain peran pemerintah yang berfokus pada mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi, ia menekankan bahwa LSM juga berperan penting dalam memberikan edukasi, ruang dialog, serta penguatan empati, sehingga anak penyintas jaringan terorisme memperoleh penanganan, pemberdayaan, serta penerimaan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.
