Penangkaran maleo di Sigi pusat pendidikan konservasi

id burung maleo, saluki, tnll, satwa langkah

Penangkaran maleo di Sigi pusat pendidikan konservasi

Burung Maleo (Antaranews/Istimewa)

Ya sudah ribuan ekor yang kita lepas ke habitatnya," kata Jusman.
Sigi, (Antaranews Sulteng) - Lokasi penangkaran burung maleo (Macrocepalon maleo), satwa endemik Sulawesi yang terletak di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah selain salah satu objek wisata menarik, juga berfungsi sebagai pusat pendidikan konservasi.

Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Jusman, di Palu, Senin, mengatakan setiap tahun, banyak pelajar dan mahasiswa yang mengunjungi lokasi penangkaran maleo di Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Lokasi penangkaran itu dibangun sejak 1998 sebagai upaya untuk menyelamatkan satwa langka yang cantik dan terkenal cerdik dari kepunahan, akibat dari perburuan yang dilakukan masyarakat.

Sejak penangkaran tersebut ada, telah banyak anak maleo hasil tangkaran telah dilepas kembali ke hutan dan alam yang ada di sekitarnya.

"Ya sudah ribuan ekor yang kita lepas ke habitatnya," kata Jusman.

Namun, ia mengaku perburuan telur maleo yang dilakukan oknum warga tak bertanggung jawab tetap masih ada, terutama saat petugas tidak ada di lokasi penangkaran.

Saat petugas tidak ada di tempat, biasanya ada warga masuk ke lokasi dan mengambil telur maleo untuk diperdagangkan.

Su`ud, salah satu petugas yang menjaga lokasi penangkaran meleo di Desa Saluki mengatakan tugasnya setiap hari mencari telur di alam bebas untuk kemudian dibawa ke sistem penangkaran semialami yang dibuat oleh Balai Besar TNLL sejak 1998 itu.

Ia mengatakan tempat penangkaran yang ada sekarang bisa menampung sebanyak 100 sampai 150 butir telur maleo, tetapi yang sedang proses penangkaran saat ini ada sekitar 50 telur.

Telur-telur maleo yang dipungut dari alam bebas di sekitar wilayahnya setelah dibawa ke penangkaran, langsung ditanam di dalam lubang dengan ukuran tertentu seperti yang biasa digunakan oleh maleo untuk menetaskan telur di alam bebas.

Cara meletakkan telur juga harus benar, sebab jika tidak, dipastikan telur maleo tidak menetas sampai waktunya.

Masa penangkaran telur maleo berlangsung selama 65-95 hari. Setelah menetas, anak maleo berumur dua bulan bisa dilepas ke alam bebas.

Selanjutnya, satwa itu akan hidup dan berkembang biak di dalam hutan yang terdapat di wilayah hamparan sumber air panas.

Satwa langka dan unik tersebut, kata dia tidak akan bertelur tanpa ada sumber air panas, karena itu habitat maleo berada pada wilayah yang memiliki sumber air panas.

Cara penetasan telur maleo pun tidak sama dengan burung atau unggas lain karena burung maleo tidak mengerami telurnya. Telur-telur maleo dengan sendirinya menetas secara alami setelah jangka waktu tertentu.

Su`ud mengatakan predator burung maleo bukan hanya binatang seperti biawak, tetapi juga manusia. Banyak orang mengincar baik burung maupun telurnya karena harganya mahal dan peminatnya banyak.

Dia mengaku meski sudah ada penangkaran dan dijaga petugas, masih ada juga orang-orang yang memburunya. Apalagi tempatnya jauh dari desa dan di dalam hutan rimba, sehingga sangat memungkinkan mereka memburu satwa dan telur endemik tersebut untuk diperdagangkan.

Pada lokasi penangkaran itu tidak ada petugas yang menjaga pada malam hari, karena semua petugas akan turun ke desa dan jam dinasnya hanya pada pagi sampai siang hari.

"Jadi pagi-pagi benar, petugas sudah harus ada di lokasi, sebab jika terlambat, biasanya sudah ada orang/masyarakat yang lebih dahulu mencari telur-telur maleo di dalam lubang," ujarnya pula.

Untuk mendapatkan telur maleo tidak sulit karena lubangnya mudah diketahui, dan pada setiap lubang pasti ada tanda cakar burung maleo.

Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon maleo). Banyak cerita yang beredar soal burung maleo, antara lain bahwa burung endemik Sulawesi ini merupakan burung antipoligami.

Keunikan lain burung maleo adalah akan pingsan beberapa waktu setelah bertelur dan jika terbang pasti berpasangan.

Ada saatnya burung kepala besar itu terbang sendiri, ketika itu berarti pasangannya sudah mati. Maka bisa dikatakan maleo ini satwa monogami.

Su`ud juga mengatakan maleo terlihat cantik dengan panjang sekitar 55 cm memiliki tonjolan atau jambul keras berwarna hitam.

Satwa langka endemik Sulawesi ini dilindungi melalui PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta termasuk dalam daftar burung dengan kategori langka dan dilindungi secara internasional (endangered oleh International Union for Conservation of Nature/IUCN) dan daftar Appendix 1 dari Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa Langka dan dilindungi (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora /CITES).

Dalam Buku "Konservasi Maleo Di Sulawesi", disebutkan asal usul burung khas kawasan Wallacea ini masih belum jelas.

Ada dua teori asal usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo berasal dari Australia, dan teori kedua menyebutkan bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia.

TNLL adalah salah satu warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO menjadi Cagar Biosfer pada 1977 terus berupaya untuk melestarikannya, dengan membangun sistem penangkaran sebagai solusi meningkatkan populasi meleo dari kepunahan.