Opini - Menjadi Indonesia Hebat 2050, butuh pemimpin perubahan

id Hasanuddin Atjo

Opini - Menjadi Indonesia Hebat 2050, butuh pemimpin perubahan

Dr Ir H hasanuddin Atjo, MP, Ketua Ispikani Sulteng (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Indonesia Hebat 2050 bisa dicapai kalau pemimpin daerah berpikir dan bekerja dalam satu frekuensi dengan pemimpin nasional. 
Palu (ANTARA) - TAHUN 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi negara hebat dengan kekuatan ekonomi peringkat ke-4 dunia setelah China, Amerika serikat dan India. 
PricewaterCooper (PwC) memperkirakan saat itu Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 10 triliun Dolar AS atau 10 kali lebih besar dari posisi tahun 2018) dengan pendapatan perkapita sekitar 31.250 Dolar AS. 

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kepemimpinan seperti apa dan bagaimana yang diperlukan untuk menggapai harapan itu.

Lee Kuan Yew dan Deng Xiaoping

Lee Kuan Yew dan Deng Xiaoping adalah contoh pemimpin dunia fenomenal dan berhasil mengubah negerinya dari ketidakteraturan, ketertinggalan dan kemiskinan menjadi negara maju. Lee adalah Perdana Menteri Singapura pertama dan memimpin selama 31 tahun (3 Juni 1959 – 28 November 1990). Lee mengawali kepemipinannya dengan membuka ruang dan mengedukasi rakyatnya agar terbangun visi dan fanatisme akan sebuah kemajuan. Setelah itu dilanjutkan dengan sejumlah program prorakyat antara lain pembaharuan kawasan perdesaan, meningkatkan emansipasi wanita, reformasi pendidikan dan pengembangan berorientasi industrialisasi. 

Kerja keras Lee kemudian menjadi kenyataan fantastik, yaitu dalam waktu yang tidak terlalu lama Singapura telah menjadi tujuan investasi utama oleh sejumlah negara di dunia. Semua ini dikarenakan Lee berhasil membangun peradaban keteraturan, kedisiplinan dan kemauan untuk maju dari stakeholders dan rakyatnya. 

PDB Singapura di tahun 1960 baru sekitar 704,5 juta USD dan di tahun 2017 meningkat menjadi 323,9 miliar Dolar AS atau meningkat 450 kali dengan PDB perkapita 60.306 USD. 

Deng Xiaoping adalah Pemimpin Republik Rakyat China generasi kedua menggatikan Mao Zedong dan memimpin tahun 1978–1990. Ada kemiripan pendekatan yang dipergunakan Deng dengan Lee dalam melakukan pembaharuan di China yaitu lebih mengedepankan keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan, menggeser paham Mao
yang lebih kepada penguasaan negara terhadap sejumlah sumberdaya. 

Pembeda antar Lee dan Deng terletak pada tingkat kesulitan yang dihadapi. China memiliki luas wilayah yang besar dengan penduduk paling padat, sedangkan Singapura luas wilayah kecil dengan jumlah penduduk tingkat kepadatan yang sedang. Keterbukaan Pemerintahan Deng dapat ditandai dari beberapa slogan antara lain 'sama rata sama rasa' yang maknanya seseorang harus dihargai berdasarkan kemampuan dan kerja kerasnya, sehingga ini juga menjadi motivasi bagi rakyatnya.

Slogan lain yang fenomenal adalah 'Tak mengapa kucing itu berwarna hitam atau putih selama dia bisa menangkap tikus' kata Deng terkait politik luar negeri China. Artinya Deng terbuka dengan siapa saja yang penting dapat membawa perubahan. 

Deng dalam mengejar ketertinggalannya fokus kepada empat pilar pembangunan yaitu pertanian, industri, teknologi dan pertahanan. Tidak mengherankan kalau saat ini China dengan penduduk 1,3 miliar jiwa memiliki kekuatan ekonomi peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat dengan nilai PDB sebesar 13,6 triliun Dolar AS dan pendapatan perkapita sebesar 9.776 USD. 

Sebagai pembanding Indonesia di tahun 2018 dengan penduduk 260 juta jiwa, nilai PDB sebesar 1,04 triliun Dolar AS dan pendapatan perkapita sekitar 3.927 Dolar AS.

Baca juga: Sang Penerobos Batas di Era Milenial
Baca juga: Intercept Generation dan perannya dalam transisi kepemimpinan era milenial
Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua, Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP, penemu teknologi budidaya udang Supra Intensif Indonesia (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Soeharto dan Jokowi

Soeharto memimpin Indonesia hampir 32 tahun seperti halnya Lee Kuan Yew, namun hasilnya berbeda. Boleh jadi, perbedaan itu lebih disebabkan Indonesia merupakan negara yang memiliki puluhan ribu pulau, pantai terpanjang, penduduk yang padat dengan berbagai ragam budaya serta kondisi SDM saat itu yang kurang menunjang. 

Joko Widodo adalah presiden ketujuh Indonesia bersama Jusuf Kalla sebagai wakilnya segera menyelesaikan kepemimpinan periode pertama (2014–2019), dan insya Allah akan melanjutkan ke periode kedua (2019-2024). 

Ada kemiripan antara Jokowi, Lee dan Deng. Dari sisi waktu memerintah mendekati Deng, dan dari program, senafas dengan Lee dan Deng yaitu prorakyat dan menuju perubahan. 

Pada priode pertama program Jokowi lebih kepada pemerataan, kesimbangan antarwilayah dan fokus kepada pengembangan infrastruktur seperti program tol laut, tol darat, transportasi massal, pelabuhan, bandara dan kereta api. Hasilnya telah dapat di lihat antara lain Jawa dan Sumatra telah dihubungkan oleh tol, di Jakarta, ibu kota Negara ada Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Raill Transit (LRT) untuk mengurangi kemacetan, telah terbangun sejumlah bandara perintis maupun internasional, jalan tol di Kalimantan dan rel kereta api di Sulawesi, rnergi Listrik terbarukan, infrastruktur jalan di Papua, program satu harga BBM dan diakhir masa jabatan periode pertama memastikan pemindahan ibu kota Negara ke luar Jawa. 

Pada periode kedua 2019-2024 Jokowi bersama Mar’uf Amin akan fokus pada lima program yaitu pengembangan infrastruktur, SDM, investasi dan eksport, reformasi birokrasi dan struktur serta penghematan penggunaan APBN.

Harapan kita tentunya pogram-program Jokowi-Mar’uf pada lima tahun ke depan akan memperkuat fondasi untuk memanfaatkan keunggulan komparatif SDA dan bonus demografi menuju Indonesia Hebat 2050. Jokowi-Ma’ruf tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri, tetapi harus didukung dan berada pada satu frekuensi dengan daerah. 

Untuk penting sekali dipahami bahwa pemimpin di daerah juga harus membangun dan memiliki visi yang sama dengan pemimpin nasional.

Pemimpin Daerah

Indonesia Hebat 2050 bisa dicapai kalau pemimpin daerah berpikir dan bekerja dalam satu frekuensi dengan pemimpin nasional. 

Mengutip pernyataan Jokowi di Manado saat melakukan kunker 4–5 Juli 2019 bahwa 'program daerah harus diintegrasikan dengan pusat. Biaya mahal bukan lagi soal, tetapi lebih kepada bagaimana investasi itu dapat memberi manfaat yang lebih besar kepada rakyat dan Negara. 

'Kita harus terbuka untuk investasi, tapi syaratnya kita semua harus optimistis. Membangun jembatan dari Bitung ke Pulau Lembehpun dapat kita lakukan, selama mau bersama-sama', begiotu kira-kira ucapan Presiden Jokowi.

Tahun 2020 dan 2022 sejumlah daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah mulai gubernur sampai bupati dan wali kota. Harapan kita bahwa yang terpilih adalah kepala daerah berkarakter visioner yaitu 'penerobos batas, mampu melihat dibalik bukit, dan berpikir multi dimensi' agar berada dalam satu frekuensi berpikir dan bekerja dengan pimpinan nasional. 

Namun, kesemuanya ini berpulang kepada visi dan misi partai pengusung, dan fanatisme rakyat pemilik hak suara. Fanatisme intelektual kita harapkan terbangun dan lembaga penyelenggara pemilihan bekerja professional agar dapat terpilih pimpinan yang visioner. 

"Berlayarlah dengan pikiran ke pelabuhan tujuan, niscaya harapan akan digapai." Semoga. (*Hasanuddin Atjo, Ketua Ispikani Sulteng)

Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan
Baca juga: OPINI - Ibu Kota RI pindah, Tol Tambu-Kasimbar sebuah keniscayaan

 
Direktur Seameo Biotrop Dr Irdika Mansur (tengah), Kadis KP Sulteng (Dr Hasanuddin Atjo dan Dr Muh Nur Sangaji (Univeristas Tadulako Palu) berslaaman usai menandatangani MoU di Bogor, Kamis (14/2) Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)