Intercept Generation dan perannya dalam transisi kepemimpinan era milenial

id Hasanuddin Atjo,opini

Intercept Generation dan perannya dalam transisi kepemimpinan era milenial

Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Sulteng Dr Ir H hasanuddin Atjo, MP (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Negeri ini menantikan lahirnya sejumlah 'SANG PENEROBOS BATAS' mulai dari pemilihan wakil rakyat, Kepala Negara sampai kepada kepala daerah.
Palu (ANTARA) - GENERASI kelompok milenial dan non milenial kini menjadi penghuni planet bumi.

Menurut Yanuar Surya Putra dalam teori perbedaan generasi (2016), kelompok milenial terdiri atas Y-generation, Z-generation, dan Alfa-generation. Pembeda ketiganya terletak di tahun kelahiran. Y-gen dilahirkan tahun 1980-1995, Z-gen 1996-2010, dan A-gen setelah tahun 2010. 

Berdasarkan struktur ini maka kelompok milenial di tahun 2019 berumur antara 9 dan 39 tahun yang jumlahnya diperkirakan lebih besar dari kelompok non-milenial. Pada Pileg dan Pilpres 17 April 2019, jumlah pemilih milenial (usia 17-39 tahun) sekitar 85 juta orang dari 185 juta pemilih. 

Selanjutnya kelompok non- milenial terdiri atas Veteran generation lahir 1925 – 1946, Baby Boomers generation lahir tahun 1945-1964, dan X-generation lahir tahun 1965-1976. 

Kepemimpinan saat ini didominasi oleh tiga generasi yaitu Baby Boomers generation dan X-generation mewakili kelompok non-milenial serta Y-generation mewakili kelompok milenial. Ketiga generasi ini memiliki karakter dan model berpikir yang berbeda. Kelompok Y-generation cenderung selalu update, adaptif, inovatif, demokratis, tegas dan tidak formal. Sedangkan Baby Bommers dan X-generation cenderung berlawanan dengan karakter dan model berpikir Y-generation. Namun di antara tiga generasi ini, dari perspektif karakter dan model berpikir ada generasi lain yang dinamakan 'Intercept Generation'.

Intercept Generation

Matematika dasar mengenal yang namanya teori himpunan. Dalam konteks generasi, maka ada tiga himpunan, yaitu himpunan baby boomer generation, X-generation dan Y-generation. Di antara tiga himpunan generasi itu ada yang namanya intercept generation atau irisan ketiganya. Intercept generation ini akan terbagi menjadi dua sub kelompok yaitu intercept generation 1 (IG1) dan intercept generation 2 (IG2). 

IG1 adalah generasi yang usianya non-melenial namun karakter dan model berpikirnya menyesuaikan dengan milenial. IG2 adalah generasi yang usianya milenial, namun karakter dan model berpikirnya menyerupai non-milenial. Karena itu IG1 dipastikan akan mampu mengikuti perkembangan peradaban yang sangat dinamis dan cepat. Dan kepada IG2 diharapkan dapat lebih terbuka, mau belajar dan maju sehingga tidak terus berada di ranah kelompok IG2 agar bisa menjadi bagian dari perubahan peradaban. Ini tentunya diperlukan sebuah skenario tersendiri, kerena kelompok ini juga merupakan asset bangsa.

Baca juga: Opini - Filosofi 'Truk Gandeng-Kereta kuda' strategi membangun Sulteng pascabencana
Baca juga: Opini - Urgensi 'Provinsi Sultim' dari perspektif pemindahan Ibu Kota Negara
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Dr H Hasanuddin Atjo, MP mengabaduikan keindahan Pulau Papan di kawasan wisata bahari andalan Sulteng, Kepualuan Togean. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha)

Transisi kepemimpinan

Secara umum kondisi menunjukkan bahwa kepemimpinan puncak baik di pemerintahan maupun di private sector masih dikuasai dan dikendalikan oleh kelompok IG1, namun pada level di bawahnya sudah merupakan perpaduan kelompok IG1 dan kelompok milenial. Konfigurasi seperti ini menunjukkan bahwa peran kepemimpinan IG1, khususnya di negara berkembang untuk beberapa tahun mendatang masih strategis dan harus diberi ruang untuk mempersiapkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi milenial. 

Di negara maju proses transisi ini berlangsung lebih cepat, dibandingkan di negara berkembang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang, yang sedang dan telah mempersiapkan sejumlah skenario terkait upaya mempersiapkan kepemimpinan bagi generasi berikutnya. Namun proses ini berpulang kepada partai-partai politik sebagai pengusung, dan berpulang juga kepada masyarakat yang memiliki hak pilih terhadap lahirnya seorang pemimpin dalam sebuah pesta demokrasi. 

Bila paradigma partai politik dan masyarakat sudah berada pada tujuan yang sama, yaitu melahirkan pemimpin yang 'dapat menerobos batas'; 'mampu melihat di balik bukit' dan 'berpikir muti dimensi', maka lahirlah pemimpin-pemimpin sesuai tuntutan peradaban yang dapat membawa perubahan, kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa. 

Sebagai catatan bagi kandidat dari kelompok non-milenial maupun milenial yang ingin bertarung dalam pesta demokrasi tahun 2020, 2022 dan 2024 mendatang, tentunya harus mengubah karakter dan model berpikirnya menyesuaikan dengan pemilih dari kelompok milenial yang jumlahnya sudah akan lebih besar dari tahun 2019. Tidak lagi sekedar memiliki populeritas dan kekuatan materi, tetapi memiliki konsep dan arah yang jelas dalam rangka menjadi Indonesia Hebat 2045.

Baca juga: Opini - Filosofi 'Truk Gandeng-Kereta kuda' strategi membangun Sulteng pascabencana
Baca juga: Opini - Urgensi 'Provinsi Sultim' dari perspektif pemindahan Ibu Kota Negara


Indonesia Hebat 2045

PricewaterhouseCoopers (PwC), merupakan kantor Jasa Profesional reputasi dunia memprediksi bahwa Indonesia 100 tahun setelah merdeka, yaitu di tahun 2045 akan menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi no 5 dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Brasil jikalau mampu memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam dan bonus demografinya.

Diperkirakan tingkat pendapatan atau Produk Domestik Bruto, PDB saat itu akan mencapai 5 triliun dolar AS bahkan di tahun 2050 PDB Indonesia diprediksi bisa mencapai 10 triliun dollar US. Sebagai pembanding bahwa pada tahun 2018 PDB Indonesia untuk pertama kalinya tembus di angka 1 triliun dollar US. Sejumlah catatan kelemahan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi negeri ini untuk menggapai Indonesia Hebat 2045, di antaranya kondisi infrastruktur, kualitas SDM, ketersediaan data dan informasi serta kemajuan inovasi dan teknologi. 

Karena itu Indonesia membutuhkan sejumlah pemimpin yang karakter dan model berpikirnya mengikuti tuntutan pradaban, tuntutan era milenial. Dipundak mereka ada beban tugas untuk merancang bagaimana kelemahan-kelemahan yang telah disebutkan tadi untuk kemudian diubah menjadi sejumlah tantangan, menjadi sejumlah peluang dan selanjutnya menjadi sejumlah kekuatan sebagai salah satu modal dasar menjadi Indonesia Hebat 2045. 

Negeri ini menantikan lahirnya sejumlah 'SANG PENEROBOS BATAS' mulai dari pemilihan wakil rakyat, Kepala Negara sampai kepada kepala daerah. (*Ketua Ispikani Sulteng)

Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan
Baca juga: OPINI - Ibu Kota RI pindah, Tol Tambu-Kasimbar sebuah keniscayaan

 
Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo (kiri) dan motivator/pelaku usaha Kota Palu H. Karman Karim memberikan motivasi kepada puluhan nelayan di PPI Donggala, Kamis (1/11) agar mereka segera turun melaut pascagempa. (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)