Jakarta (ANTARA) - Penyedia solusi teknologi informasi dan komunikasi, ZTE corporation mengingatkan pentingnya upaya untuk mengatasi tantangan dalam ekosistem pusat data sebagai upaya mendukung pertumbuhan pusat data di Indonesia yang makin berkembang.
"Dengan meningkatkan efisiensi energi, memodernisasi praktik konstruksi, serta mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan, kita dapat menciptakan ekosistem data center yang lebih berkelanjutan dan efisien yang bermanfaat bagi bisnis dan masyarakat secara keseluruhan," ujar Vice President ZTE Corporation Chu Yanli dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu.
Ia memastikan upaya meningkatkan efisiensi menjadi tantangan, mengingat semakin tinggi rasio total daya yang digunakan pusat data dengan daya yang dikirimkan ke peralatan komputasi atau Power Usage Effectiveness (PUE), maka semakin tinggi biaya yang dibutuhkan.
Sementara itu, beberapa negara sudah menerapkan kebijakan emisi karbon yang lebih ketat, termasuk rencana kebijakan zero-emission pada 2060 di Indonesia, yang mengharuskan penggunaan pusat data ramah lingkungan dan menggunakan teknologi hemat energi.
"Untuk mematuhi kebijakan tersebut, diperlukan integrasi yang mendalam antara catu daya dan distribusi, koneksi yang disederhanakan, sistem pendingin yang lebih efisien, dan penggunaan Smart Management dengan Sistem AI," kata Yanli.
Selain itu, menurut dia, implementasi pembangunan pusat data juga menjadi tantangan yang cukup besar karena masih adanya bentuk perencanaan yang tidak sesuai dengan layanan data center modern.
Saat ini, jenis investasi tradisional yang masih menganut konsep satu kali perencanaan, satu kali investasi, dan penyertaan modal yang besar, tidak sesuai dengan model pembangunan pusat data yang pada masa sekarang menganut beberapa fase investasi.
"Solusi prefabrikasi yang inovatif diperlukan untuk mewujudkan implementasi solusi dan layanan yang cepat. Hal ini dapat dicapai melalui modularisasi ruang data, modularisasi sistem secara penuh, dan solusi inovatif seperti data center prefabrikasi modular lengkap dan data center kontainer," ujarnya.
Kemudian, lanjut Yanli, rendahnya efisiensi operasi dan pemeliharaan di pusat data biasanya disebabkan oleh kurangnya tenaga sumber daya manusia yang profesional dan sistem manajemen yang terintegrasi.
Pemanfaatan sumber daya yang rendah akan menyebabkan penggunaan sumber daya listrik, sumber daya pendingin, dan sumber daya ruang yang tidak seimbang sehingga terjadi pemborosan sumber daya.
"Efisiensi dapat ditingkatkan dengan mengintegrasikan berbagai titik akses ke dalam sistem manajemen yang cerdas. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, pemeliharaan digital akan mengurangi staf dan meningkatkan efisiensi. Kedua, operasi cerdas dapat meningkatkan pemanfaatan sumber daya," ujar Yanli.
Berdasarkan riset Frost & Sullivan, tujuh negara di Asia mengalami pertumbuhan pendapatan data center yang signifikan, dengan Singapura sebagai pasat data center terbesar di Asia Tenggara, diikuti oleh Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Indonesia, khususnya, memiliki rata-rata pertumbuhan industri tertinggi di kawasan. Volume data global Indonesia diperkirakan akan mencapai 175ZB pada 2025 dan mampu mendorong percepatan perkembangan digital di Asia Tenggara.
"Dengan meningkatkan efisiensi energi, memodernisasi praktik konstruksi, serta mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan, kita dapat menciptakan ekosistem data center yang lebih berkelanjutan dan efisien yang bermanfaat bagi bisnis dan masyarakat secara keseluruhan," ujar Vice President ZTE Corporation Chu Yanli dalam pernyataan di Jakarta, Sabtu.
Ia memastikan upaya meningkatkan efisiensi menjadi tantangan, mengingat semakin tinggi rasio total daya yang digunakan pusat data dengan daya yang dikirimkan ke peralatan komputasi atau Power Usage Effectiveness (PUE), maka semakin tinggi biaya yang dibutuhkan.
Sementara itu, beberapa negara sudah menerapkan kebijakan emisi karbon yang lebih ketat, termasuk rencana kebijakan zero-emission pada 2060 di Indonesia, yang mengharuskan penggunaan pusat data ramah lingkungan dan menggunakan teknologi hemat energi.
"Untuk mematuhi kebijakan tersebut, diperlukan integrasi yang mendalam antara catu daya dan distribusi, koneksi yang disederhanakan, sistem pendingin yang lebih efisien, dan penggunaan Smart Management dengan Sistem AI," kata Yanli.
Selain itu, menurut dia, implementasi pembangunan pusat data juga menjadi tantangan yang cukup besar karena masih adanya bentuk perencanaan yang tidak sesuai dengan layanan data center modern.
Saat ini, jenis investasi tradisional yang masih menganut konsep satu kali perencanaan, satu kali investasi, dan penyertaan modal yang besar, tidak sesuai dengan model pembangunan pusat data yang pada masa sekarang menganut beberapa fase investasi.
"Solusi prefabrikasi yang inovatif diperlukan untuk mewujudkan implementasi solusi dan layanan yang cepat. Hal ini dapat dicapai melalui modularisasi ruang data, modularisasi sistem secara penuh, dan solusi inovatif seperti data center prefabrikasi modular lengkap dan data center kontainer," ujarnya.
Kemudian, lanjut Yanli, rendahnya efisiensi operasi dan pemeliharaan di pusat data biasanya disebabkan oleh kurangnya tenaga sumber daya manusia yang profesional dan sistem manajemen yang terintegrasi.
Pemanfaatan sumber daya yang rendah akan menyebabkan penggunaan sumber daya listrik, sumber daya pendingin, dan sumber daya ruang yang tidak seimbang sehingga terjadi pemborosan sumber daya.
"Efisiensi dapat ditingkatkan dengan mengintegrasikan berbagai titik akses ke dalam sistem manajemen yang cerdas. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, pemeliharaan digital akan mengurangi staf dan meningkatkan efisiensi. Kedua, operasi cerdas dapat meningkatkan pemanfaatan sumber daya," ujar Yanli.
Berdasarkan riset Frost & Sullivan, tujuh negara di Asia mengalami pertumbuhan pendapatan data center yang signifikan, dengan Singapura sebagai pasat data center terbesar di Asia Tenggara, diikuti oleh Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
Indonesia, khususnya, memiliki rata-rata pertumbuhan industri tertinggi di kawasan. Volume data global Indonesia diperkirakan akan mencapai 175ZB pada 2025 dan mampu mendorong percepatan perkembangan digital di Asia Tenggara.