Jakarta (ANTARA) - Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) menilai kebijakan cukai yang tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 mengancam kelangsungan petani tembakau.
Hal itu dikatakan Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji menanggapi Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada rapat paripurna DPR RI pada 20 Mei 2024.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah merumuskan arah kebijakan cukai antara lain: tarif bersifat multiyears; kenaikan tarif moderat; penyederhanaan tarif cukai; dan mendekatkan disparitas tarif antarlayer.
"Pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan cukai tersebut tidak memperhatikan aspek kelangsungan hidup petani tembakau," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia kenaikan cukai sebesar 10 persen yang berlaku tahun 2023 dan 2024 sangat memukul petani tembakau, pasalnya sudah 5 tahun berturut-turut keadaan mereka tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk mengingat hasil panen tembakau rontok baik harga dan terlambatnya penyerapan.
Dalam 5 tahun terakhir, tambahnya, kenaikan cukai cukup eksesif yang mana pada 2020 cukai naik 23 persen, tahun 2021 naik 12,5 persen, tahun 2022 naik 12 persen, tahun 2023 dan 2024 naik 10 persen.
Tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT), katanya, akan membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung, mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95 persen tembakau yang dihasilkan petani, untuk bahan baku rokok.
"Pembelian tembakau industri di petani dari tahun 2020 turun terus. Karena cukai naik terus dan pasar rokok legal digerus rokok ilegal. Penurunan pembeliannya tiap tahun kisaran 20-30," katanya.
Agus menambahkan, dengan kenaikan harga, simplifikasi cukai, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer, maka harga rokok makin mahal sehingga perokok berpotensi beralih ke rokok yang lebih murah, dan harga termurah hanya bisa ditawarkan oleh rokok ilegal.
"Ketika rokok ilegal marak di pasaran, mereka akan menggerus produk rokok yang resmi, sehingga produksi rokok yang resmi omset-nya akan turun, otomatis produsen juga akan mengurangi pembelian bahan baku dalam hal ini tembakau," katanya.
Penurunan pembelian tembakau ini, lanjutnya, juga berdampak pada kurang semangatnya petani menanam tembakau.
Dikatakannya, dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani.
DPN APTI berharap, menjelang periode akhir kepemimpinan Presiden RI, Jokowi, bisa memberikan 'kado emas' berupa kebijakan yang melindungi ekosistem petani tembakau di seluruh Indonesia sehingga bisa menjadi pedoman kepemimpinan berikutnya.
Hal itu dikatakan Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji menanggapi Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada rapat paripurna DPR RI pada 20 Mei 2024.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah merumuskan arah kebijakan cukai antara lain: tarif bersifat multiyears; kenaikan tarif moderat; penyederhanaan tarif cukai; dan mendekatkan disparitas tarif antarlayer.
"Pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan cukai tersebut tidak memperhatikan aspek kelangsungan hidup petani tembakau," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia kenaikan cukai sebesar 10 persen yang berlaku tahun 2023 dan 2024 sangat memukul petani tembakau, pasalnya sudah 5 tahun berturut-turut keadaan mereka tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk mengingat hasil panen tembakau rontok baik harga dan terlambatnya penyerapan.
Dalam 5 tahun terakhir, tambahnya, kenaikan cukai cukup eksesif yang mana pada 2020 cukai naik 23 persen, tahun 2021 naik 12,5 persen, tahun 2022 naik 12 persen, tahun 2023 dan 2024 naik 10 persen.
Tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT), katanya, akan membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung, mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95 persen tembakau yang dihasilkan petani, untuk bahan baku rokok.
"Pembelian tembakau industri di petani dari tahun 2020 turun terus. Karena cukai naik terus dan pasar rokok legal digerus rokok ilegal. Penurunan pembeliannya tiap tahun kisaran 20-30," katanya.
Agus menambahkan, dengan kenaikan harga, simplifikasi cukai, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer, maka harga rokok makin mahal sehingga perokok berpotensi beralih ke rokok yang lebih murah, dan harga termurah hanya bisa ditawarkan oleh rokok ilegal.
"Ketika rokok ilegal marak di pasaran, mereka akan menggerus produk rokok yang resmi, sehingga produksi rokok yang resmi omset-nya akan turun, otomatis produsen juga akan mengurangi pembelian bahan baku dalam hal ini tembakau," katanya.
Penurunan pembelian tembakau ini, lanjutnya, juga berdampak pada kurang semangatnya petani menanam tembakau.
Dikatakannya, dengan simplifikasi, tentu yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani.
DPN APTI berharap, menjelang periode akhir kepemimpinan Presiden RI, Jokowi, bisa memberikan 'kado emas' berupa kebijakan yang melindungi ekosistem petani tembakau di seluruh Indonesia sehingga bisa menjadi pedoman kepemimpinan berikutnya.