BI: transaksi repo oleh perbankan masih minim

id transaksi repo, bank indonesia repo, surat berharga negara, restrukturisasi kredit, pinjaman likuiditas

BI: transaksi repo oleh perbankan masih minim

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (22/8/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.

Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi repo oleh perbankan kepada bank sentral masih minim, baru mencapai Rp43,9 triliun dari total surat berharga negara (SBN) yang dimiliki perbankan mencapai Rp886 triliun.

“Masih besar surat berharga yang dimiliki bank yang dapat direpokan ke BI untuk kebutuhan likuiditasnya, apakah untuk sehari-hari atau mendukung program restrukturisasi kredit,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam paparan hasil RDG di Jakarta, Kamis.

Selain dalam bentuk SBN, lanjut dia, perbankan juga masih mengoleksi sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga lainnya sehingga total yang dimiliki perbankan sekitar Rp1.004 triliun yang menandakan perbankan memiliki cukup likuiditas.

Untuk menyukseskan program restrukturisasi kredit, BI siap memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan melalui transaksi repo.

Transaksi repo merupakan transaksi yang dilakukan perbankan kepada bank sentral dengan memanfaatkan SBN yang dimiliki untuk mendapatkan tambahan likuiditas dengan jangka waktu tertentu.

Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2020, jika jumlah SBN perbankan mencapai enam persen dari total dana pihak ketiga, maka pemerintah akan menempatkan dana.

Pemerintah menganggarkan penempatan dana sebesar Rp78,78 triliun di bank peserta dalam program pemulihan ekonomi nasional khususnya terkait restrukturisasi kredit UMKM.

Selain repo, perbankan juga bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dan pinjaman likuiditas jangka pendek syariah (PLJPS).

Untuk dua pinjaman itu, ada sejumlah syarat harus dipenuhi perbankan yakni kemampuan membayar dan agunan yang cukup serta tingkat solvabilitas dan kesehatan bank melalui rekomendasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).