Pakar sebut mengubah perilaku patuh harus dari internal individu

id Tim pakar ulm, ulm,Universitas Lambung Mangkurat,Dr. Muhammad Abdan Shadiqi, S.Psi., M.Si,protokol kesehatan

Pakar sebut mengubah perilaku patuh harus dari internal individu

Petugas memberikan sanksi push up kepada masyarakat di Kota Banjarmasin yang melanggar protokol kesehatan. (ANTARA/Firman)

Masyarakat harus disentuh dari dalam dirinya karena perubahan perilaku akan lebih efektif dengan kesadaran dan perubahan pola pikir
Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Dr Muhammad Abdan Shadiqi, SPsi, MSi mengatakan
mengubah perilaku patuh terhadap protokol kesehatan harus dari internal individu.

"Masyarakat harus disentuh dari dalam dirinya karena perubahan perilaku akan lebih efektif dengan kesadaran dan perubahan pola pikir," kata Abdan di Banjarmasin, Rabu.

Abdan pun menyinggung penerapan sanksi dalam berbagai peraturan di daerah terkait penegakan disiplin protokol kesehatan.

Lantas seberapa efektifkah sanksi ini? Dia menggunakan sudut pandang ilmu perilaku, yakni Psikologi. Maka Abdan memastikan adanya sanksi dan denda belum bisa menurunkan angka penyebaran COVID-19.
 
Ia mencontohkan Kota Banjarbaru yang lebih dahulu menerbitkan Perwali 20/2020 pada 9 Juli 2020 bagi warganya.

Berdasarkan data Dinkes Kota Banjarbaru pada 9 Juli 2020 terdapat 294 kasus terkonfirmasi dan hingga 31 Agustus 2020 lalu terdapat 798 kasus terkonfirmasi.

Terjadi penambahan kasus sebesar 504 orang atau hampir 2 kali lipat sejak Perwali 20/2020 diterapkan atau sekitar 50 hari waktu penerapan.

Tentu saja, menurut dia, evaluasi penerapan sanksi perlu diteliti melalui tolak ukur yang lain, tidak hanya berdasarkan angka laju penambahan atau penurunan kasus. Bagi pemerintah daerah yang baru menerapkan sanksi, seperti Kota Banjarmasin, perlu mengevaluasi peraturan ini dengan cara yang tepat.

"Tinjau kembali hasil evaluasi penerapan sanksi pada 1 bulan pertama. Jangan sampai pemerintah menerapkan suatu kebijakan yang tidak efekif untuk mengendalikan COVID-19," kata dosen Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran ULM itu.
 
Dr. Muhammad Abdan Shadiqi, S.Psi., M.Si. (ANTARA/Firman)


Prinsip pemberian sanksi menurut Abdan punya sisi kelemahannya. Satu hal yang dilewatkan oleh prinsip pemberian sanksi yaitu meniadakan proses internal dalam diri manusia.

Padahal kekuatan perubahan perilaku lebih menetap dan berhasil jika berasal dari dalam diri individu. Sanksi sendiri berasal dari luar diri individu.

Maka dari itu, diharapkannya penerapan sanksi harus dikaji dan diterapkan lebih efektif untuk mengendalikan kepatuhan masyarakat pada protokol kesehatan.

Memang semakin tegas, akan membuat orang semakin jera. Beberapa negara telah menerapkan sanksi tegas seperti di Malaysia, jika tidak menggunakan masker akan didenda Rp3,4 juta atau dipenjara.

Lebih penting dari itu, tambah dia, aparat bersama pemerintah harus disiplin dan konsisten untuk menerapkan sanksi. Jangan sampai penerapan sanksi dilakukan hanya saat disorot oleh media atau saat disidak oleh atasan.

"Tidak hanya ketegasan dan kedisiplinan penerapan sanksi, tetapi juga perlu dikombinasikan dengan strategi lain. Misalnya, mewajibkan pelanggar menjadi agen edukasi bagi orang lain. Selain itu, tetap memperbanyak program edukasi dan sosialisasi," pungkas peraih gelar Doktor bidang Psikologi Sosial dan Politik Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia itu.