Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai pelaksanaan pilkada tak langsung bukanlah solusi ampuh mencegah korupsi kepala daerah seiring dengan tingginya biaya politik pada ajang pesta demokrasi.
"Walaupun kita akan menyelenggarakan pilkada secara tidak langsung, kalau pilihan cara kandidat untuk menang masih menggunakan cara-cara yang ilegal, suap, mahar politik masih tetap ada, ya, tetap sama," kata Almas, Kamis.
Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) 1 bertema "Evaluasi 15 Tahun Pelaksanaan Pilkada: Capaian dan Tantangan Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada" yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) secara daring.
Almas mengingatkan bahwa biaya politik yang tinggi bukan satu-satunya penyebab terjadinya korupsi oleh kepala daerah, sebab masih banyak faktor lain yang mempengaruhi.
Dari segi regulasi, katanya, masih membuka ruang, kemudian perilaku atau cara kandidat untuk memenangkan pilkada, dan perilaku partai yang menerapkan mahar politik.
"Kemudian, minimnya pendidikan politik kepala masyarakat," katanya.
Yang jadi pertanyaan, katanya, partai sanggup mengeluarkan miliaran rupiah untuk memasang baliho atau menggelar rapat di hotel-hotel, tetapi tidak cukup biaya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Oleh karena itu, Almas menilai soal pilkada langsung maupun tidak langsung yang sekarang menjadi perdebatan, termasuk karena menjadi penyebab korupsi kepala daerah sebenarnya tidak terlalu berpengaruh.
"Pilkada tidak langsung tidak cukup menjadi solusi. Kami yakin apabila pilkada tidak langsung dilaksanakan akan tetap sama, seperti melempar bandul, aktor-aktornya siapa saja," ungkapnya.
Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menambahkan bahwa calon kepala daerah harus melewati proses panjang untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik, termasuk mengeluarkan mahar politik.
"Tetapi, itu jalur gelap yang tidak bisa dijangkau Bawaslu. Jadi, bergantung betul pada keterbukaan parpol memastikan tidak ada mahar politik meski faktanya banyak pengakuan dari calon kepala daerah yang harus mengeluarkan uang banyak untuk itu," katanya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga mengakui mahalnya biaya politik dalam pelaksanaan pilkada, namun sebenarnya dipengaruhi juga oleh indeks pembangunan manusia (IPM) di suatu daerah.
Maka dari itu, kata dia, Kemendagri mencoba menawarkan pilkada asimetris dengan tidak menyamakan semua daerah dengan pilkada langsung, sebab kondisi daerah-daerah berbeda.
"Daerah-daerah yang IPM dan indeks demokrasinya tinggi, okelah laksanakan pilkada langsung. Namun, daerah yang IPM-nya rendah, ditambah indeks demokrasinya rendah, mari pikirkan pelaksanaan pemilihan yang tidak langsung," katanya.