Ustadz Hanan Attaki dan Islam Rahmatan lil "digital"

id hanan attaki,digital, rahmatan lil alamin,NU,generasi Z,milenial,masjid,masjid al akbar,islami

Ustadz Hanan Attaki dan Islam Rahmatan lil "digital"

Pendakwah milenial Ustadz Hanan Attaki di depan ribuan jamaah Generasi Z di Majelis Subuh Gen-ZI atau Generasi Z Islami (MSG) di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS), Minggu (4/6/2023). (ANTARA/HO-Humas MAS)

Surabaya (ANTARA) - Tak seperti biasanya, tokoh "Pemuda Hijrah" yang kelahiran Aceh pada 31 Desember 1981 itu, tak lagi getol mengampanyekan "Kembali kepada Alquran dan Sunnah".

Bagi dia, saat ini, banyak orang yang percaya diri membuat definisi hak dan batil (kebenaran dan keburukan) dengan hanya berlandaskan jargon "Kembali kepada Alquran dan Sunnah".

Sosok viral yang akrab disapa Ustadz Hanan Attaki itu menyebut ada yang mengatakan, "Jangan fanatik kepada ulama", karena mereka manusia yang sama dengan siapapun, mereka sama dengan kita.

Padahal, antara ulama (ilmuwan agama) dengan orang yang tak berilmu itu tidak sama. Belajar yang benar itu harus kepada orang yang berilmu. Di sekolah dan kampus juga begitu.

Ya, ustadz viral itu justru "Kembali kepada ulama atau NU" melalui sebuah ikrar/kesaksian/baiat di Pesantren Sabilurrosyad Gasek, Malang, Jawa Timur, 11 Mei 2023, yang diucapkan di hadapan Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar.

Ikrar diucapkan pendakwah milenial Ustadz Hanan Attaki itu dalam acara Halal Bihalal 1444 H Keluarga Besar Pesantren Sabilurrosyad yang dipimpin KH Marzuki Mustamar.

Ikrar itu strategis, karena Ustadz Hanan Attaki atau Tengku Hanan Attaki selama ini "mewadahi" berbagai komunitas di wilayah urban atau perkotaan yang jauh dari "pola" NU, seperti komunitas motor, parkour, skateboard, BMX, dan hobi lainnya.


Kelahiran baru

Nah, fakta di balik dari baiat pendakwah milenial di youtube channel itu ke lingkaran NU justru menarik, kok bisa tokoh "Pemuda Hijrah" yang mewadahi berbagai komunitas milenial untuk belajar agama itu "hijrah" ke (memilih) NU.

Ada apa dengan "titik balik" yang luar biasa dan misteri itu? Kisahnya inspiratif dan sangat memotivasi. Sepulang umrah, dirinya berdoa agar dipertemukan dengan murrobi (guru yang mengajar dan mendidik) yang dapat membimbingnya menuju ke jalan-Nya.

Setelah itu, dirinya bersama istri mudik ke kampung halaman istri di Jawa Timur. Saat itu, sang istri mengaku berguru kepada Kiai Marzuki, saat sekolah di Malang. Akhirnya tanpa berpikir panjang, mereka pun berangkat tabarruk (mncari kebaikan) kepada guru sang istri itu, Kiai Marzuki Mustamar.

Saat itulah, Hanan Attaki yang merupakan penerima beasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir (jurusan Tafsir al-Quran) itu merasa terharu mendengarkan dakwah lembut dari Kiai Marzuki Mustamar.

Sejak saat itulah, pendakwah muda di Masjid Salman ITB dan Direktur Rumah Quran ITB itu meminta untuk diangkat menjadi muridnya, hingga akhirnya ada baiat ala NU saat Halal Bi Halal di pesantren tersebut.

Baginya, proses "pengakuan" (baiat) ini merupakan pengalaman luar biasa, sejak dilahirkan ibu kandungnya. Menurut dia, langkah ini menjadikannya seperti kelahiran untuk kedua kalinya. Tepatnya, kelahiran secara ruhani.

Selain itu, kelahiran barunya itu juga menjadi jawaban atas banyaknya teman yang "hijrah" lewat dirinya, namun akhirnya belajar sendiri secara daring yang umumnya "dibajak" oleh teman-teman Salafi.

Setelah itu, ustadz muda ini berharap teman-teman yang hijrah itu bisa merujuk ke kiai-kiai urban yang lebih berilmu. Ya, milenial perkotaan memang tidak bisa disamakan dengan model santri.

Salah satu contohnya, dia sempat bertemu dengan Gus Fikri (KHM Mushoddiq Fikri) dan ulama-ulama muda NU dalam pengajian di Masjid Pondok Pesantren Riyadlus Sholihien, Jember, Jawa Timur (2/6/2023).

Saat itu, ia menyatakan siap berkolaborasi dengan ulama-ulama muda NU untuk mengembangkan dakwah ala “Wali Sanga” di kalangan milenial wilayah perkotaan.

Ia pun menyatakan ingin berbagi dengan teman-teman dai muda NU supaya bisa sama-sama berkolaborasi dalam menggarap dakwah anak muda milenial di seluruh Indonesia.

Dalam pengajian di Jember itu, ia pun mengaku selama ini melakukan dakwahnya sendirian dalam komunitas urban. "Insya Allah, mudah-mudahan, saya sekarang bisa berkolaborasi dengan dai-dai muda NU dengan lebih masif lagi, lebih baik lagi," katanya.


"The riil Aswaja"

Harapannya, kolaborasi itu akan menjadikan anak-anak muda Indonesia ini, setelah hijrah benar-benar menjadi Ahlussunnah wal jamaah. The riil Aswaja, begitu dia menyebut.

Namun, Hanan mengaku tidak akan mendefinisikan sendiri arti Aswaja. Dia merasa itu bukan kapasitasnya. Karena itu dia memilih patuh kepada pendapat kiai yang mendefinisikan Aswaja. Tugas dia adalah menerjemahkan ajaran para kiai itu ke dalam bahasa anak-anak muda.

Ya, "kelahiran baru" ustadz Hanan Attaki itu merupakan fenomena penting untuk penguatan "Ahlusunnah wal jamaah" di kalangan milenial urban yang merupakan generasi digital.

Adalah Bendahara Yayasan Nusa Bangsa Indonesia (NBI) Mahathir Muhammad, yang menyebut Hanan Attaki bisa menjadi napas dan energi baru untuk milenial urban.

Setelah ada agenda baiat Hanan Attaki bersama KH Marzuki Mustamar itu, ada momentum strategis untuk berkolaborasi dakwah, karena ceruk-ceruk milenial urban itu jarang digarap oleh dai-dai muda NU.

Ungkapan antusias dari Mahathir yang juga Wakil Bendahara PW Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Timur itu agaknya penting menjadi "pelajaran" bagi NU untuk menengok jamaah muda di kawasan urban. Pengurus NU jangan hanya memperhatikan warga perdesaan.

Bagaimanapun, Indonesia akan mengalami "booming" generasi Z dan digital yang perlu pendekatan khusus dan khas. Diperkirakan, booming itu akan terjadi pada 2036 atau belasan tahun dari 2023.

Pendekatan khusus di sini merupakan pendekatan yang dilakukan oleh sesama milenial, sedangkan pendekatan khas adalah pendekatan dengan "bahasa" milenial, yakni bahasa dan strategi ala digital.

NU perlu mencermati perkembangan generasi di era digital itu, agar ajaran Islam ala NU yang rahmatan lil alamin dengan bercirikan sikap santun dan toleran (tasamuh) dan moderat alias damai (tawassuth) agaknya juga "pantas" untuk era digital. Pilihan berlabuh pada NU ini dinilai tepat dalam ikhtiar bersama mendakwahkan nilai-nilai Islam di negara kita yang sangat heterogen. NU adalah salah satu dari dua sayap Indonesia, selain Muhammadiyah, yang selama ini telah menjalani peran bersama membawa Indonesia yang damai hingga saat ini.

Apalagi, dunia kini mulai tertarik dengan dakwah ala NU yang rahmatan lil alamin, yang bisa juga diarahkan menjadi "rahmatan lil digital" (rahmat bagi dunia kekinian), sehingga jagad digital tidak hanya menyajikan kegaduhan dan sikap sok benar sendiri.

Ustadz Hanan Attaki, di hadapan 5.000-an generasi digital dalam Majelis Subuh Gen-ZI (Generasi Z Islami) di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (4/6/2023) mengingatkan kalau ingin viral, jangan hanya mau viral di Bumi, karena pasti akan capek. Menjadi viral dengan wajah sejuk dan damai adalah pengejewantahan dari nilai utama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.