Jakarta (ANTARA) - Peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyatakan sebagian besar pengguna pinjaman online atau dalam jaringan (pinjol) dan pay later merupakan penduduk yang masuk kategori unbanked dan underbanked.
“Masyarakat kita itu masih banyak unbanked dan underbanked, di mana unbanked sama underbanked ini tidak bisa diservis oleh layanan perbankan formal, dan ini yang menyebabkan banyak sekali masyarakat yang akhirnya memilih pinjaman online ataupun pay later untuk pembiayaan mereka, baik itu konsumtif maupun produktif,” ujar Nailul Huda dalam Diskusi Publik "Bahaya Pinjaman Online Bagi Penduduk Usia Muda” secara virtual diikuti di Jakarta, Senin.
Hingga Desember 2022, pertumbuhan pinjol sebesar 71 persen dan 18 persen hingga Juli 2023. Adapun pertumbuhan pay later diperkirakan rata-rata 32,5 persen per tahun sejak 2022 hingga 2028.
Menurut dia, peningkatan penggunaan pinjol tidak dibarengi dengan financial knowledge, dan literasi keuangan yang masih bertahan di angka 49 persen pada tahun 2022.
“Ini yang menyebabkan akhirnya banyak sekali masyarakat kita yang akhirnya mereka mau pinjam di pinjol, tapi pinjaman yang ilegal, bukan yang legal, karena literasi keuangan mereka rendah dan kemampuan financial knowledge mereka juga relatif rendah,” ucap Nailul.
Rata-rata financial knowledge pengguna pinjol dinilai rendah, sehingga mereka masuk ke dalam karakteristik peminjam yang memiliki kredit macet.
Per Juni 2023, mereka yang berada di bawah usia 19 tahun memiliki rata-rata kredit macet Rp2 juta dan Rp2,2 juta untuk mereka yang masuk kategori usia 19-34 tahun.
“Kredit macet untuk yang usia muda itu ternyata meningkat di awal tahun 2022 sampai pertengahan tahun 2022. Nah, fenomena ini memang sangat, ya kalau kita bilang ini sangat lost sekali, di mana usia 19 tahun ke bawah itu sudah masuk ke kredit macet,” ungkapnya.