AFPI nilai penerapan aturan OJK baru dapat kurangi risiko gagal bayar

id OJK,Pinjol,P2P Lending,POJK,AFPI

AFPI nilai penerapan aturan OJK baru dapat kurangi risiko gagal bayar

Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar saat ditemui usai konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/10/2023). (ANTARA/Imamatul Silfia)

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai penerapan aturan OJK terkait penurunan besaran bunga pinjaman fintech peer-to-peer lending (P2P Lending) atau pinjaman online serta pembatasan platform pinjaman dapat mengurangi risiko gagal bayar oleh nasabah.

Beleid tersebut tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang dikeluarkan pada 10 November 2023 dan mulai diterapkan per 1 Januari 2024.

“Penguatan aturan ini dapat membantu mengurangi risiko over-leverage bagi calon borrower yang cenderung meminjam dari banyak platform fintech secara bersamaan, dan dapat membatasi jumlah pinjaman yang dapat diakses oleh individu, sehingga mengurangi risiko gagal bayar dan kelebihan utang,” kata Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar di Jakarta, Kamis.



Dalam SEOJK tersebut, mulai 1 Januari 2024 suku bunga pinjaman online (Pinjol) untuk sektor konsumtif resmi turun dari 0,4 persen per hari menjadi 0,3 persen per hari. Kemudian secara bertahap hingga 2026, suku bunga pinjol masih akan turun menjadi 0,2 persen per hari pada 2025 dan 0,1 persen per hari pada 2026.

Sementara itu, pinjaman untuk sektor produktif, suku bunga juga turun 0,1 persen per hari, kemudian pada 2026 turun menjadi 0,067 persen.

Selain itu, aturan baru OJK juga membatasi peminjam hanya boleh meminjam maksimal dari tiga platform dalam waktu bersamaan. Menurut Entjik, pembatasan tersebut dapat meningkatkan kualitas pinjaman karena pelaku usaha P2P Lending lebih dimungkinkan untuk menarik peminjam yang lebih bertanggung jawab dan berkualitas. “Calon borrower harus lebih selektif dalam memilih platform untuk meminjam,” ujarnya.

Namun ia memberikan catatan, pembatasan itu juga dapat berdampak pada penurunan volume pinjaman yang diberikan oleh perusahaan P2P Lending, karena calon peminjam hanya dapat memilih dari tiga platform saja. Hal tersebut dapat mengurangi pendapatan perusahaan dan kinerja secara keseluruhan.

"Batasan ini juga bisa berdampak pada terbatasnya keberagaman produk dan layanan yang ditawarkan oleh penyelenggara fintech lending. Jika pilihan peminjam terbatas, variasi produk yang ditawarkan mungkin menjadi lebih terbatas pula," tutur Entjik.



Perusahaan P2P Lending, tambah Entjik, perlu untuk terus beradaptasi dalam menawarkan layanan yang lebih unggul guna menarik konsumen dari tiga platform yang dipilih.

Pemanfaatan alternatif data dapat menjadi salah satu siasat untuk menilai risiko dan menarik peminjam berkualitas, mengurangi potensi risiko gagal bayar.

Selain itu, Entjik menilai perusaan P2P Lending juga perlu memberikan edukasi secara aktif kepada calon peminjam tentang manfaat dari memilih platform fintech tertentu, mempromosikan keunggulan yang dimiliki perusahaan dibandingkan yang lain.

"Melalui adaptasi strategi, fokus pada layanan yang lebih baik, dan pendekatan yang lebih cerdas dalam pemilihan peminjam, fintech lending bisa bertahan secara berkelanjutan untuk mengatasi dampak negatif dari kebijakan tersebut," pungkasnya.