Menyiasati tingginya biaya hidup bagi pekerja berpenghasilan UMK

id biaya hidup,survei biaya hidup

Menyiasati tingginya biaya hidup bagi pekerja berpenghasilan UMK

Ilustrasi - Pekerja salah satu perusahaan penanaman modal asing yang bergerak dalam bidang industri rambut palsu di Purbalingga. ANTARA/Sumarwoto

Cilacap (ANTARA) - Slamet, 43 tahun, yang bekerja di salah satu perusahaan nasional di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sore itu bergegas meninggalkan tempat kerjanya untuk segera pulang ke rumahnya di Kecamatan Cilacap Selatan.

Sesampainya di rumah, dia segera membersihkan badan dan berkemas untuk mendatangi sebuah acara hajatan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Akan tetapi kepergiannya ke tempat hajatan itu bukan sebagai tamu, melainkan untuk menjadi pembawa acara atau master of ceremony (MC).

Hal itu dilakukan Slamet untuk menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhan rumah tangga yang terus bertambah. Penghasilannya sebagai pekerja penerima upah minimum kabupaten (UMK) sebesar Rp2.383.090 per bulan itu tidak mampu mencukupi tingginya biaya hidup di Cilacap.

Dengan berbekal keterampilannya menjadi MC, Slamet pun bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga yang terus meningkat di tengah fluktuasi harga kebutuhan pokok masyarakat yang selalu terjadi sepanjang tahun 2023. Bahkan, UMK  2024 yang naik menjadi Rp2.479.106 pun diyakini Slamet belum bisa menutup biaya hidup di Cilacap yang tergolong tinggi.

"Untuk menyiasatinya, kita jangan hanya terpaku pada satu sumber penghasilan. Apalagi biaya hidup di Cilacap cukup tinggi," ujar bapak tiga anak itu.

Ia mengaku tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan dari tempatnya bekerja karena dua anaknya saat sekarang telah bersekolah, sedangkan satu anak yang masih balita sedang banyak membutuhkan susu untuk pertumbuhannya.

Oleh karena itu, Slamet heran ketika membaca pemberitaan yang menyebutkan bahwa Cilacap merupakan daerah dengan biaya hidup terendah di Indonesia karena dia merasa masih banyak daerah lain yang biaya hidupnya lebih rendah dari Cilacap.

Anggapan Slamet terkait biaya hidup di Cilacap yang tinggi itu bukan tanpa alasan karena di kabupaten tersebut banyak terdapat objek vital nasional seperti PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU IV yang merupakan kilang terbesar di Indonesia, dua unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (Semen Indonesia Group), pelabuhan laut terbesar di selatan Pulau Jawa, dan beberapa perusahaan besar lainnya.

Bahkan, saking tingginya biaya hidup di Cilacap, banyak warga setempat yang membelanjakan uangnya untuk membeli berbagai kebutuhan hidup di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, karena harganya dinilai relatif lebih murah.

Tidak menutup kemungkinan ada pekerja-pekerja berpenghasilan rendah seperti Slamet yang berupaya menyiasati tingginya biaya hidup dengan tidak hanya mengandalkan satu sumber penghasilan.

Senada dengan Slamet, Penjabat (Pj.) Sekretaris Daerah Cilacap Sujito pun merasa biaya hidup di Cilacap tergolong tinggi, bahkan tidak berbeda jauh dengan beberapa kabupaten/kota lainnya di Jawa Tengah.

Sujito menilai tingginya biaya hidup tersebut dipengaruhi oleh keberadaan perusahaan-perusahaan berskala besar yang ada di Cilacap, sehingga tidak mungkin biaya hidupnya terendah di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Cilacap terus berupaya agar tingginya biaya hidup di wilayah tersebut tidak menjadikan warga setempat membelanjakan uangnya ke daerah lain.

Beberapa upaya yang dilakukan Pemkab Cilacap, antara lain, meningkatkan kualitas produk unggulan agar bisa diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain itu, Pemkab Cilacap membuka peluang investasi pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, salah satunya pembangunannya sedang berjalan, dan satu pusat perbelanjaan yang cukup besar masih dalam proses perizinan.

Dengan hadirnya pusat-pusat perbelanjaan di Cilacap, masyarakat setempat tidak harus belanja ke luar daerah. Dengan demikian, perekonomian di Cilacap makin menggeliat dan masyarakat dapat mencukupi biaya hidupnya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada.


Survei biaya hidup

Dalam sejumlah pemberitaan yang mengacu pada hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 11 Desember 2023, Cilacap disebut-sebut sebagai daerah dengan biaya hidup terendah atau termurah se-Indonesia.

SBH 2022 dilaksanakan di 90 kota se-Indonesia itu ditujukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga di daerah perkotaan dan pedesaan, digunakan untuk menyusun pola konsumsi masyarakat guna perhitungan indeks harga konsumen (IHK). Berdasarkan data hasil SBH 2022, BPS menyebutkan bahwa biaya hidup di Cilacap rata-rata hanya sebesar Rp5.375.074,97 per bulan (Rp5,37 juta/bulan/keluarga) sehingga masuk dalam 10 kota dengan biaya hidup terendah se-Indonesia.

Tercatat 10 daerah dengan biaya hidup terendah itu meliputi Waingapu sebesar Rp6,15 juta/bulan, Jember Rp6,09 juta/bulan, Sumenep Rp5,99 juta/bulan, Singaraja Rp5,98 juta/bulan, Purwokerto Rp5,88 juta/bulan, Kota Tegal Rp5,87 juta/bulan, Kudus Rp5,71 juta/bulan, Sibolga Rp5,69 juta/bulan, Maumere Rp5,53 juta/bulan, dan Cilacap Rp5,37 juta/bulan/keluarga.

Kendati demikian, Kepala BPS Kabupaten Cilacap Isnaeni menampik jika Cilacap merupakan daerah dengan biaya hidup terendah di Indonesia karena berdasarkan hasil SBH 2022, di Jawa Tengah masih ada beberapa kabupaten yang biaya hidupnya lebih rendah dari Cilacap. Dengan demikian, biaya hidup di Cilacap bukan terendah di Jawa Tengah, apalagi di Indonesia.

Akan tetapi dalam SBH 2018 di Jawa Tengah yang melibatkan enam kabupaten/kota, yakni Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Kudus diketahui bahwa biaya hidup di Cilacap sebesar Rp4,88 juta/bulan/keluarga yang berarti terendah di provinsi itu.

Sementara pada SBH 2022, lokasi survei bertambah menjadi sembilan daerah dengan dimasukkannya Kabupaten Rembang, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Wonogiri. Hasil SBH 2022 di Jawa Tengah menyebutkan bahwa biaya hidup di Kota Semarang sebesar Rp8,96 juta/bulan, Kota Surakarta Rp6,28 juta/bulan, Kabupaten Banyumas Rp5,88 juta/bulan, Kota Tegal Rp5,86 juta/bulan, Kabupaten Kudus Rp5,71 juta/bulan, Kabupaten Cilacap Rp5,37 juta, Kabupaten Rembang Rp4,66 juta/bulan, Kabupaten Wonogiri Rp4,49 juta/bulan, dan Kabupaten Wonosobo Rp4,31 juta/bulan/keluarga.

"Jadi kalau mengacu pada enam daerah yang menjadi lokasi SBH 2018 di Jawa Tengah, biaya hidup di Cilacap pada SBH 2022 yang terendah. Tapi kalau dari sembilan daerah yang menjadi lokasi SBH 2022 tersebut, kami tidak bisa menyebut Cilacap sebagai yang terendah di Indonesia, karena di Jawa Tengah pun bukan yang terendah," tegas Isnaeni.

Metode SBH 2022 itu dilakukan oleh petugas dari BPS dengan mendatangi rumah-rumah warga yang dijadikan sebagai sampel atau responden untuk menanyakan seputar biaya hidup yang dikeluarkan setiap harinya.

Survei tersebut memperhitungkan biaya konsumsi, baik makanan, minuman, bahan bakar rumah tangga, hingga pulsa telepon seluler. Jika pada SBH sebelumnya terpantau lebih kurang 248 barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, namun pada SBH 2022 bertambah enam komoditas, sehingga menjadi 254 komoditas dan seluruh biaya konsumsi tersebut dicatat atau ditulis sendiri oleh responden.

Secara umum ada 10 kelompok komoditas yang menjadi nilai konsumsi, yakni makanan, minuman, dan tembakau dengan bobot nilai 30,90; pakaian dan alas kaki dengan bobot nilai 5,49; perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga dengan bobot nilai 10,96.

Selanjutnya kesehatan dengan bobot nilai 4,01; transportasi dengan bobot nilai 11,21; informasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan bobot nilai 6,68; rekreasi, olahraga, dan budaya dengan bobot 2,68; pendidikan dengan bobot nilai 6,05; serta penyediaan makanan dan minuman/restoran dengan bobot nilai 10,20.

Oleh karena responden menulis sendiri data-data survei tersebut, mestinya hasil yang diperoleh sudah bagus. Kendati demikian ada kendala karena tidak menutup kemungkinan responden tersebut malas untuk langsung mencatat dan menundanya hingga sore hari.

Akan tetapi ketika melakukan pencatatan pada sore hari, ternyata ada satu atau beberapa poin yang lupa, sehingga dimungkinkan tidak tercatat oleh responden. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya anggapan bahwa catatan itu nantinya menjadi milik BPS, bukan milik pribadi sehingga merasa tidak ada kepentingan sama sekali yang mengakibatkan adanya poin yang tidak tercatat.

Apa pun hasil pencatatan yang dilakukan responden tersebut tetap diolah sehingga menghasilkan data hasil SBH 2022 yang menyebutkan bahwa biaya hidup di Cilacap tergolong rendah karena hanya sebesar Rp5,37 juta/bulan meskipun masyarakat setempat secara umum menganggap biaya hidup di daerah itu tergolong tinggi.