"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch" Sapa Pembaca Arab

id novel, mesir, HAMKA

"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch" Sapa Pembaca Arab

 Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch (TKV) karya pujangga dan ulama kesohor Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA, akan menyapa publik Arab dengan diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab untuk pertama kalinya di Kairo, Mesir.

Penerjemahan buku hikayat roman berlatar budaya Minang, Sumatera Barat, itu diwujudkan atas kerja sama antara Kantor Atase Pendidikan (Atdik) KBRI Kairo dan Pusat Studi Indonesia di Universitas Terusan Suez, Mesir.

Prof Dr Abdel Rahim Kurdi, guru besar sastra Arab pada Universitas Terusan Suez sebagai penyunting dan penerjemahannya dikoordinir oleh Ginanjar Sya'ban dari Kantor Atdik KBRI Kairo.

"Terjemahan dan penyuntingan novel roman Buya HAMKA itu telah rampung dan kini sedang dalam proses pencetakannya di Mesir," kata Atase Pendidikan KBRI Kairo Prof Dr Sangidu Asofa yang dikonfirmasi ANTARA Kairo.

Menurut Prof Sangidu, tujuan pengadaan novel Buya HAMKA versi Arab itu adalah untuk menambah khazanah literatur Indonesia pada Pusat Studi Indonesia di Universitas Terusan Suez, di samping sebagai salah satu upaya mempererat hubungan persahabatan RI-Mesir.

Guru besar Sastra Arab Modern pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta itu menjelaskan, buku Hamka ini merupakan langkah awal penerjemahan buku-buku Indonesia ke dalam bahasa Arab.

"Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch dipilih untuk langkah awal karena pemikiran Hamka di bidang kesusatraan dipengaruhi oleh buku-buku sastra Mesir, terutama pujangga Mustafa Lutfi Al Manfaluti," kata Prof Sangidu, yang juga dosen pasca sarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Kajian Timur Tengah, UGM itu.

Terkait penerbitan Buku Hamka versi Arab tersebut, baru-baru ini diadakan seminar kesusastraan di Universitas Elmenia (383 km selatan Kairo) atas kerja sama dengan KBRI Kairo.

Seminar tersebut membahas mengenai studi komparatif terhadap tiga novel klasik dan kontemporer, yaitu "Thauq El Hamamah (Untaian Kalung Merpati)", karya pujangga abad pertengahan, Ibnu Hazm (994-1064), Magdoulin (Magdalena) karya novelis Mesir Mustafa Lutfi Al Manfaluti (1877-1924) dan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch karya HAMKA (1908-1981)".

Ketiga novel itu memiliki tema yang sama, yakni cinta dan kegetiran.

Seminar yang dibuka oleh Pembantu Rektor Universitas Elmenia bagian Akademik dan kemahasiswaan Prof Dr Ahmad Kamil Nu'man dan dihadiri pula Duta Besar RI untuk Mesir Nurfaizi Suwandi itu tampil pembicara lima pakar sastra Arab dari Mesir yaitu Prof Dr Abdel Mouneim, Prof Dr Ahmad Arif Hajazi, Prof Dr Hafedz Al Maghrabi, Prof. Dr. Munir Fauzi dan Prof. Dr. Said Thawwab, di samping Prof Sangidu dari Indonesia.

Universitas Elmenia dikenal rutin mengadakan pelatihan dan seminar internasional yang beberapa seminar sebelumnya dihadiri dosen-dosen terkait dari UGM, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

   
Saling mempengaruhi

Dalam kajiannya, para narasumber tersebut berkesimpulan bahwa semua penulis dan sastrawan dari masa ke masa saling mempengaruhi dalam pemikiran, meskipun pada akhirnya masing-masing penulis memiliki gaya bahasa dan ciri khas tersendiri.

Menyinggung polemik yang pernah merebak di Indonesia menyangkut tuduhan adanya "plagiat" yang dilakukan HAMKA dari novel Magdoulin karangan Al Manfaluti, Prof Sangidu menepis tudingan itu.

"Sesungguhnya bukan plagiat, tapi yang benar adalah Buya HAMKA terinspirasi dari Al Manfaluti, dan beliau (Buya HAMKA) mengakui telah banyak membaca buku-buku pujangga Mesir itu," katanya.

"Sebetulnya memang terjadi intertekstualitas yang dalam bahasa Arabnya 'ta'tsir wa ta'atsur' atau saling mempengaruhi. Artinya HAMKA terpengaruh pemikiran Al Manfaluti, tapi sama sekali bukan plagiasi," ujar Prof Sangidu.

Novel Magdalena yang dalam bahasa Arabnya "Magdalain Aw Tahta Dhilaliz Zenfon (Magdalena Atau Di Bawah Naungan Pohon Linden) merupakan saduran dari buku Sous les Tilleuls karya novelis Prancis  Jean-Baptiste Alphonse Karr (1808-1890).

Dari segi isi, novel Magdalena berlatar budaya Barat dan tokoh-tokohnya pun bukan nama-nama Barat bukan Arab, seperti Adward, Stevan, dan ayah Magdalena bernama Muller.

Namun, alur cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch sangat kental berlatar budaya Minang, ranah tempat HAMKA lahir dan dibesarkan.

Tuduhan plagiasi itu pertama kali muncul pada 1962 lewat tulisan  Abdullah SP di koran Bintang Timur dalam rubrik Lentera yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer (1925-2006).

Abdullah SP, yang oleh beberapa kalangan disinyalir sebagai nama samaran dari Pramoedya, tanpa tedeng aling-aling menohok HAMKA dengan judul tulisannya "Aku Mendakwa HAMKA Plagiat".

Tuduhan itu pun tak pelak lagi menimbulkan dua kubu pro dan kontra.

Di satu pihak, Bintang Timur yang berhaluan Komunis dan di pihak lain, HAMKA yang ulama dan pegiat politik Islam.

HAMKA sendiri tidak bersuara menghadapi tuduhan itu, namun sastrawan kaliber HB Jassin (1917-2000) dan beberapa kawannya tampil membela HAMKA.

Pembelaan itu dihadang tanpa ampun oleh Lentera Bintang Timur dengan memuat secara bersambung buku Magdalena terjemahan Indonesia.

Polemik hebat itu berlangsung empat tahun dari 1962 hingga berakhir pada 1964 setelah penguasa Jakarta melarang Bintang Timur memuat polemik itu lagi karena dianggap mengancam stabiltas keamanan.

Saat pelarangan itu HAMKA sedang dijebloskan dalam penjara tanpa pengadilan oleh penguasa Orde Lama atas tuduhan persekongkolan upaya menggulingkan rezim Soekarno.

Anehnya, ketika HAMKA dinobatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional pada 2011, sebuah buku terbit dengan judul seperti tulisan di Bindang Timur, "Saya Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 oleh Muhidin M Dahlan.

Alhasil, terlepas dari polemik itu, "Kapal Van Der Wijch masih belum tenggelam, ia tetap enak dibaca dan terus dicetak ulang.

Hingga 2007, novel itu telah lebih 30 kali cetak ulang oleh penerbit Bulan Bintang.

Ini berbeda dengan novel Magdalena, yang kendati telah dialih-bahasakan ke Indonesia dalam sedikitnya tiga versi yang berbeda, namun tidak punya pasar Nusantara ini.

"Meskipun terdapat kemiripan dalam dengan Magdalena, namun novel Van Der Wijch punya tema cerita murni Indonesia," kata kritikus sanstra dari Leiden, Belanda, A. Teeuw (1921- 18 Mei 2012). (M043)