Pakar: pembatasan akses medsos cara cegah konten provokasi

id pratama, pemblokiran WA

Pakar: pembatasan akses medsos cara cegah konten provokasi

Dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Pratama Persadha. (Foto: Dok. CISSReC)

Dalam kondisi chaos seperti saat ini, pemerintah berkejaran dengan waktu agar konten hoaks dan false news (berita palsu) yang berbahaya tidak menjadi asupan utama netizen (warganet) di Tanah Air
Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha menilai tepat langkah pemerintah membatasi akses media sosial (medsos) dalam situasi kaos (chaos) guna mencegah konten provokasi terkait dengan aksi 22 Mei di sejumlah daerah.

"Dalam kondisi chaos seperti saat ini, pemerintah berkejaran dengan waktu agar konten hoaks dan false news (berita palsu) yang berbahaya tidak menjadi asupan utama netizen (warganet) di Tanah Air," kata Pratama menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Kamis.

Menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) ini, upaya menghambat konten provokasi memang harus dimulai dari media penyebarannya agar konten hoaks dan false news yang berbahaya tidak menjadi asupan utama warganet di Tanah Air.

Pratama mengemukakan hal itu sehubungan dengan pembatasan akses ke medsos oleh Pemerintah sehingga pengguna WhatsApp sulit mengirim video dan gambar.

"Memang dikabarkan hanya Jakarta dan sekitarnya yang terdampak. Namun, faktanya sebagian besar masyarakat se-Tanah Air merasakan dampaknya. Facebook dan Instagram juga dilaporkan sulit diakses dan feed pada beranda tidak berganti atau tidak berubah," katanya.

Alasan Pembatasan

Ketika menjawab pertanyaan mengapa pemerintah melakukan pembatasan akses pada ketiga platform tersebut, Pratama mengatakan bahwa alasan utamanya karena faktor banyaknya berita palsu (false news) yang beredar di tiga platform tersebut.

"WhatsApp, FB, dan IG pemakaiannya sangat banyak di Tanah Air sehingga dianggap bisa menjadi media provokasi," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (kini BSSN).

Ia mengatakan bahwa FB, IG, dan Twitter sampai saat ini belum mampu mendeteksi dan meredam otomatis penyebaran hoaks dan berita palsu. Facebook masih tergantung pada verifikasi manual oleh media partner Factcheck, komunitas masyarakat antihoaks.

Dalam situasi normal hari-hari biasa, menurut Pratama, false news dan hoaks masih bisa dipilih-pilih mana saja oleh FB. Namun, dalam kondisi chaos seperti saat ini, pemerintah berkejaran dengan waktu agar konten provokasi tidak menjadi asupan utama warganet di Tanah Air.

Menurut Pratama, solusi ini memang belum sepenuhnya efektif, terutama masyarakat yang bergerak mulai memakai virtual private network (VPN). Di Sri Langka pada tahun lalu, misalnya, juga diterapkan pemblokiran ke medsos karena ada kerusuhan. Namun, trafik ke media sosial di sana hanya turun 50 persen setelah diblokir karena netizen Sri Langka berbondong memakai VPN.

"Kita patut menunggu seberapa besar efektifnya pembatasan di Tanah Air. Upaya menghambat konten provokasi memang harus dimulai dari media penyebarannya," kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Setelah kondisi stabil, lanjut Pratama, pemerintah harus menggalakkan edukasi internet sehat sehingga masyarakat minimal bisa menghalau konten negatif maupun membuat tandingan serta jawaban dari munculnya konten provokasi yang berbahaya.

Ia berharap pembatasan ini tidak berlangsung lama karena banyak pedagang berbasis daring (online) sangat mengandalkan WA, FB, dan IG. Tidak semua dari mereka memakai VPN, apalagi roda gerak ekonomi yang berlangsung lewat ketiga platform itu tidak sedikit.

"Bayangkan saja iklan FB ads dan IG ads tidak bisa dilihat oleh para netizen, jelas banyak yang akan merugi," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.