Masih layakkah DKI Jakarta jadi ibu kota negara?

id Pindah Ibukota,Boyong Ibukota,Ibu Kota,Palangka Raya,Kalimantan Tengah,Jakarta,Jokowi

Masih layakkah DKI Jakarta jadi ibu kota negara?

Situasi Jalan Sudirman macet di sekitar Dukuh Atas mengarah ke Bundaran HI, di Jakarta, Sabtu, (22/06/2019). (Boyke Ledy Watra)

Jakarta (ANTARA) - Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota negara dan menjadi kota terbesar di Indonesia. Sejak era kolonialisme mulai datang dan menancapkan kukunya di Tanah Air, Kota Jakarta telah populer dan menjadi “pusat” pemerintahan maupun pusat bisnis dari seluruh gugusan pulau-pulau di Nusantara.

Sebagai pusat dari “segala hal”, pembangunan pun seakan tak pernah berhenti di kota ini. Mulai ketika nama Jakarta adalah Batavia yang hanya sebatas luas dari reruntuhan kota pelabuhan Jayakarta buah taklukan Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619, hingga kini Jakarta terus berkembang.

Semua aktivitas terdapat di Jakarta, mulai dari politik, pemerintahan, bisnis, ekonomi, pendidikan, hingga berbagai kegiatan kemasyarakatan semuanya ada dan terpusat di kota ini.

Batavia, pada awalnya hanya seluas wilayah kota Jayakarta yang meliputi wilayah Jakarta Utara dan sebagian wilayah Jakarta Barat dalam bentuk sebuah kota benteng ala Romawi yang di tengahnya dialiri Sungai Ciliwung hingga membelah kota menjadi Barat dan Timur.

Seiring berjalannya waktu, Koningin van den Oost atau Ratu dari Timur (julukan Batavia) yang pusatnya masih tetap berada di kawasan Kota Tua saat ini, mulai kehilangan pamornya dan ditinggalkan oleh para penduduknya karena berbagai alasan, dengan yang utama adalah soal kesehatan dan kerawanannya dari bencana, khususnya banjir.

Hingga akhirnya pusat Batavia itu dipindahkan lebih ke tengah yakni di Weltervreden atau kawasan Jakarta Pusat yang prosesnya rampung pada masa kekuasaan Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808-1811. Sementara luas Batavia sendiri saat itu sudah mencakup hampir seluruh wilayah Jakarta.

Kini, berabad-abad berlalu setelah era Coen, Jakarta telah berdiri di tanah seluas 661,52 kilometer persegi (belum termasuk kawasan metropolitan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dengan berbagai perkembangan yang terjadi dan masih tetap menjadi pusat dari kepulauan yang kini bernama Indonesia.

Kondisi saat ini

Selepas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Jakarta tetap menjadi pusat kekuasaan politik dan ekonomi Indonesia, meski di jaman kemerdekaan beberapa kali ibu kota harus berpindah ke Yogyakartra, Bukittinggi hingga Bireun (Aceh) karena situasi peperangan.

Sejak keadaan mulai normal, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, ibukota "balik pulang" dengan ditandai kembalinya roda pemerintahan ke Jakarta.

Seiring keadaan mulai normal, Jakarta dipoles sedemikian rupa agar menjadi kota kelas dunia dengan pembangunan berbagai infrastruktur dan berbagai monumen yang menggambarkan modernisasi kota warisan kolonial ini.

Dengan statusnya sebagai pusat pemerintahan Indonesia dan ditambah daya tarik Jakarta yang luar biasa, maka terjadilah urbanisasi masif dari berbagai wilayah Indonesia, terutama puncaknya saat era Presiden Soeharto berkuasa yang programnya mengokohkan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia.

Seiring perkembangan pusat pemerintahan yang diikuti pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terutama di kawasan komersial sepanjang Jalan MH Thamrin, Sudirman dan Kuningan, populasi penduduk Jakarta terus meningkat signifikan.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Jakarta pada tahun 1971 mencapai 4,58 juta jiwa, namun pada tahun 2010 telah melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 9,61 juta jiwa.

Bahkan menurut data terakhir Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) BPS tahun 2015, jumlah penduduk Jakarta menembus angka 10,2 juta jiwa dan diproyeksikan mencapai puncaknya pada 2040 dengan jumlah 11,28 juta orang.

Dengan jumlah penduduk yang tergolong sangat padat tersebut, potensi stres, kriminalitas dan kemiskinan sangat tinggi. Lahan yang seharusnya bisa menjadi taman kota sebagai peredam stres warga Jakarta telah habis karena penyimpangan peruntukan yang salah ataupun privatisasi lahan.

Penduduk yang semakin berjejal, jumlah kendaraan bermotor melonjak, tak mampu dikejar oleh perkembangan jalan raya, menyebabkan Jakarta memiliki masalah kemacetan yang turut membuat kualitas udara Jakarta tidak sehat.

Berdasarkan laman web Airvisual, per Senin (29/7) siang pukul 14:00 WIB, Jakarta menempati urutan pertama dalam jajaran kota-kota paling berpolusi di dunia dengan indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) berada di angka 176.

AQI merupakan indeks yang menggambarkan tingkat keparahan kualitas udara di suatu daerah. AQI dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama, seperti PM 2,5, PM 10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida dan ozon permukaan tanah.

Rentang nilai dari AQI adalah 0 sampai 500. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin tinggi tingkat polusi udara di wilayah tersebut. Skor 0-5 berarti kualitas udara bagus, 51-100 berarti moderat, 101-150 tidak sehat bagi orang yang sensitif, 151-200 tidak sehat, 201-203 sangat tidak sehat, dan 301-500 ke atas berarti berbahaya.

Persoalan pelik lainnya, pertumbuhan jumlah penduduk yang besar juga diikuti pembangunan tanpa kendali di wilayah hilir, penyimpangan peruntukan lahan kota dan penurunan tanah akibat eksploitasi air oleh industri, menyebabkan turunnya kapasitas penyaluran air sistem sungai, yang menyebabkan terjadinya banjir besar di Jakarta.

Tata ruang kota yang sering berubah-ubah, menyebabkan polusi udara dan banjir sulit dikendalikan. Walaupun pemerintah telah menetapkan wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air, namun ketentuan tersebut sering dilanggar dengan terus dibangunnya perumahan serta pusat bisnis baru. Beberapa wilayah yang diperuntukkan untuk permukiman, banyak yang beralih fungsi menjadi tempat komersial.


  Wacana pindah ibu kota

Menghadapi berbagai permasalahan yang makin kompleks di Jakarta, Presiden Joko Widodo sejak tahun 2017 serius untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke daerah lainnya.

Lalu dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada Senin (29/4/2019), disetujui bahwa alternatif untuk memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa menjadi pilihan pemerintah.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, menyatakan ada enam alasan bahwa ibu kota diputuskan harus pindah dari Jakarta yakni, mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis, mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur, mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris.

Selanjutnya, memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila, meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif. Selain itu, alasan lainnya adalah memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.

Sesungguhnya, dalam sejarahnya ibukota pernah akan pindah dari Jakarta, bahkan sejak era kolonial yakni pada zaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels.

Saat itu, Deandels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya dengan alasan karena di Batavia banyak sumber penyakit (terutama malaria dan kolera) serta alasan pertahanan, di mana di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan.

Meski telah membangun pabrik senjata, Rumah Sakit Militer, Benteng Lodewijk dan memperluas rumah dinas Gubernur Pantai Timur Jawa, rencana pemindahan ibukota gagal karena ketiadaan dana akibat Prancis-Belanda sedang berperang melawan Inggris hingga membuat Deandles hanya merampungkan pekerjaan Gubernur sebelumnya yang merintis pusat ibukota di Weltevreden.

Memasuki era kemerdekaan, Presiden Soekarno juga berencana akan memindahkan ibukota negara dari Jakarta dengan tujuan mencerminkan "jiwa kemerdekaan" yang diawali pembentukan Panitia Agung Ibukota Negara sekita tahun 1950 dengan tugas menyelidiki dan merencanakan penempatan ibukota negara.

Dengan syarat ketat dari letak secara militer, konektivitas dalam dan luar negeri dengan berbagai moda, hingga sejarahnya, dijajaki kota Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta dan Yogyakarta, namun tak satupun terpilih karena alasannya: "Sudah terbentuk dan sangat terasa suasana kolonial".

Akhirnya pada 1956, Soekarno berpikir untuk membangun sebuah kota yang kelak bisa jadi ibukota negara dan dipilihlah Palangka Raya. Kota tersebut didesain Soekarno sebagai ibukota provinsi baru Kalimantan Tengah, sekaligus dikonsepkan menjadi ibukota negara.

Namun, mimpi Soekarno tak terwujud. Ibukota baru batal karena kesulitan pengadaan bahan dan medan yang sulit menuju lokasi, akhirnya dinyatakanlah Jakarta tetap sebagai ibukota lewat UU No 10 Tahun 1964.

Selepas era bung Karno, di masa Presiden Soeharto sempat ada wacana memindahkan ibukota ke Jonggol, Bogor, Jawa Barat, yang kemudian reda antara lain karena tumbangnya Soeharto oleh gerakan mahasiswa di tahun 1998.
 
Memasuki era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wacana itu sempat muncul kembali, bahkan sempat dibentuk tim khusus untuk mengkaji pemindahan itu. Namun sampai pemerintahan berakhir, tak pernah jelas ibu kota akan dipindah ke mana.

Dengan rekam jejaknya status Jakarta yang beberapa kali akan "dicopot" status ibukota-nya karena dianggap "tidak layak", ternyata tetap menjadi ibukota Indonesia hingga kini dengan berbagai alasan.

Jikapun pemerintah tetap akan menjalankan keputusan pemindahan ibukota tersebut, harus dipastikan kebijakan ini tidak akan berhenti di tengah jalan sehingga efeknya hanya menghabisi anggaran negara.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi Yayat Supriatna mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan lima tahapan jika ingin mengeksekusi pemindahan ibu kota.

Tahapan tersebut meliputi, pendirian badan otorita baru yang fokus untuk rencana pemindahan ibu kota, lelang untuk memilih ibu kota baru, mendirikan tim master plan, pembuatan rancangan undang-undang baru terkait pemindahan ibu kota menjadi rencana jangka menengah dan panjang, serta memasukkan rencana pemindahan ibu kota ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
 
"Kalau sudah jadi keputusan, jangan digantung lagi, tuangkan ke Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Lalu, pastikan kebijakan presiden ini mendapat dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat, kalau tidak ya susah dan mubazir," ujar Yayat.

Pemindahan ibu kota sudah menjadi kata kunci di benak publik. Berbagai persiapan sudah dilakukan.

Bagaimana pun, memindahkan ibu kota pemerintahan dengan memboyong jutaan jiwa aparatur sipil negara di kementerian dan lembaga serta pembangunan infrastruktur bukan perkara mudah. Dampak positif dan negatif yang timbul kemudian tentu pasti ada. Untuk itu, yang harus dipastikan adalah itu segala sesuatunya harus dilakukan melalui kajian mendalam, sehingga benar-benar menjadi kunci kesuksesan pemindahan ibu kota.i