Jakarta (ANTARA) - Pakar keamanan Siber, Pratama Persadha menyebutkan pemerintah tidak seharusnya melakukan pemblokiran secara total lantaran akses internet juga bisa digunakan aparat dan masyarakat untuk menghasilkan kedamaian di Papua.

"Pembatasan sebagian yang akhirnya menjadi pemblokiran total ini jelas menambah satu hal lagi yang disesalkan oleh banyak pihak. Tentu kita mengerti alasan dari pemblokiran tersebut, upaya pemerintah untuk membatasi alur informasi yang liar dan berbahaya," kata Pratama, di Jakarta, Senin.

Namun di sisi lain ada hak mengakses informasi yang dihalangi. Tentu ke depan ini tidak boleh menjadi satu jalan yang terus menerus ditempuh pemerintah karena jelas menjadi preseden buruk.

"Dalam situasi semacam ini pemerintah sejak awal bisa menyusun langkah mitigasi," ucapnya..

Menurut dia, akses internet sebenarnya tidak hanya dipakai oleh oknum yang mengganggu keamanan, namun juga bisa dipakai aparat dan masyarakat untuk menghasilkan kedamaian.

"Tinggal caranya bagaimana, konten yang baik segera dipersiapakan. Konten yang mengakomodasi tokoh papua, budaya papua dan konten tersebut bertujuan mengajak damai," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication dan Information System Security Research Center/CISSReC) ini.

Bahkan bila perlu, lanjut dia, pernyataan sikap Presiden Jokowi yang mendukung perdamaian papua dan penegakan hukum terhadap pelaku rasis, menjadi konten utama yang tersebar lewat internet.

"Pemerintah pusat perlu menunjukkan seberapa besar komitmennya, dibanding memilih cara shutdown internet," tuturnya.

Pratama menilai membatasi akses internet jelas akan menarik perhatian dunia luar. Apalagi mengakses internet menjadi hak asasi manusia setelah disahkan PBB sejak 2016.

Sementara itu, Gubernur Papua Lukas Enembe mengharapkan blokir internet di Papau dapat segera dicabut.

"Banyak keluhan (pemblokiran internet). Makanya, saya harap semua sisi informasi bisa dibuka," kata Lukas di Kantor Presiden RI, Jakarta, Senin.

Pemblokiran layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat dilakukan sejak 21 Agustus 2019 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) karena kericuhan di dua provinsi tersebut.

Hal itu terjadi karena sejak 19 Agustus 2019 ada aksi pembakaran toko, mobil, dan gedung DPRD di Fakfak, Sorong, serta Manokwari oleh massa yang memprotes insiden penangkapan dan ucapan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.

"Kondisi di Papua saat ini aman, intinya situasi aman di Papua. Kalau ada mahasiswa ribut-ribut, kami sudah biasa hadapi. Akan tetapi, kalau pembatasan internet memang dilakukan oleh pemerintah pusat, kami tidak tahu," tambah Lukas.

Meski mengaku pemerintahan dan kondisi perekonomian berjalan tanpa internet, dia berharap blokir tersebut dapat segera dibuka.

"Semua berjalan, semuanya berjalan, kalau masalah pembatasan dilakukan oleh perusahaan untuk menjaga keamanan. Namun, saya harap dalam waktu dekat pemerintah sudah mulai buka kembali. Hanya ini bukan urusan Menkominfo. Ini Menkopolhukam, semua kementerian sepakat untuk tutup akses itu, kepolisian, Menkopolhukam, Menkominfo jadi semua demi kepentingan negara," jelas Lukas.

Menkominfo Rudiantara pun hanya menyampaikan maaf atas pemblokiran tersebut.

"Saya meminta maaf kepada teman-teman yang terdampak ini. Sekali lagi, ini bukan hanya saya dan ini kepentingan bangsa," kata Rudiantara.

Rudiantara juga tidak dapat memutuskan kapan pemblokiran internet tersebut dapat dicabut.

"Kalau target 'kan saya tidak bisa menargetkan, kecuali membangun seperti membangun Palapa Ring, paling banyak di Papua," tambah Rudiantara.

Kemenkominfo mengaku melakukan pemblokiran tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.

Kominfo, lanjut dia, senantiasa melakukan ini dengan dasar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Udang-undang ini mengacunya pada UUD NRI Tahun 1945.

Pewarta : Syaiful Hakim
Uploader : Sukardi
Copyright © ANTARA 2024