Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berharap tidak ada lagi masyarakat, khususnya generasi muda yang terlibat tindak terorisme maupun terpengaruh paham radikalisme ekstrimisme.
"Kita tidak ingin ada lagi orang yang berangkat ke Irak dan Suriah, dipenjara karena urusan terorisme, maupun anak-anak Indonesia yang jadi pelaku bom bunuh diri," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, di Jakarta, Jumat.
Hal tersebut disampailannya saat webinar Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE).
Boy menyebutkan faktanya ada sekitar 2.000 orang yang telah ditangkap karena melanggar hukum terkait tindak pidana terorisme setidaknya dalam kurun 20 tahun terakhir.
"Mereka setuju dengan apa yang dikatakan konten narasi radikalisme. Bahkan, sampai ada 1.250 orang bersedia berangkat ke Irak," ujarnya.
Mereka yang berangkat ke Irak, kata dia, sebagian besar sudah tewas, ada yang ditahan, sementara anak-anak dan perempuan saat ini berada di kamp pengungsian.
Menurut dia, kenyataan itu menunjukkan betapa berbahayanya gerakan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme yang bisa membuat orang secara tidak sadar masuk di dalamnya.
Ia menjelaskan perekrutan teroris itu memang berjalan sedemikian masif, baik melalui media sosial hingga "face to face" hingga mampu memengaruhi pikiran mereka.
"Akhirnya, cara berpikirnya mereka sudah berlebihan, ekstrim. Tidak lagi menghargai hukum, tidak menghargai kehidupan demokrasi, tidak menghargai konstitusi, dan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan," katanya.
Diakui Boy, sudah cukup banyak anak-anak muda yang terjerat dalam tindak pidana terorisme sehingga perlu upaya menyeluruh, komprehensif, dan sistematis untuk mencegahnya.
Oleh karena itu, kata dia, keberadaan Perpres RAN-PE sangat penting untuk meningkatkan perlindungan terhadap warga negara dari ancaman terorisme.
Boy mengingatkan bahwa terorisme bisa membuat siapa saja secara tidak sadar masuk atau menjadi bagiannya dan siapa saja bisa menjadi korban dari kejahatan tersebut.
"Perpres ini (RAN-PE) melibatkan seluruh pihak, tidak boleh ada yang berpangku tangan. Jangan sampai ada orang melakukan proses radikalisasi, tetapi masyarakat tidak waspada. Jadi, ada kesadaran publik," pungkas Boy.