Kementerian ESDM: Implementasi B35 capai 8,9 juta kilo liter

id Net-zero, B35,biodiesel, minta nabati, sawit, kementerian ESDM,Energi terbarukan

Kementerian ESDM: Implementasi B35 capai 8,9 juta kilo liter

Ilustrasi - Petugas menunjukkan sampel bahan bakar nabati B-20, B-30, dan B-100. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Bali (ANTARA) -
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan implementasi kontribusi bahan bakar jenis biodiesel 35 persen atau B35 mencapai angka produksi 8,9 juta kilo liter hingga September 2023.


 


"Target tahun 2025 B35 dapat mencapai 13,9 kiloliter. Angka produksi itu sudah mencapai sekitar 68 persen," kata Direktur Jendral Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Yudo Dwiananda Priaadi melalui virtual dalam kegiatan Indonesian Palm Oil Conference 2023 GAPKI diselenggarakan Bali, Kamis.


 


Ia mengemukakan, sebagai program mandatori implementasi implementasi bahan bakar nabati sebesar 13.15 juta kilo liter tahun ini, yang mana jumlah produksi 8,9 juta kiloliter, 121.000 kiloliter telah diekspor.


 


Tidak hanya biodiesel, Indonesia kini tengah mengembangkan penggunaan energi terbarukan lainnya yang berbahan kelapa sawit. Baru-baru ini, pemerintah melalui maskapai "plat merah" telah menguji coba bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur yang merupakan hasil dari penelitian Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). 


 


“Tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2.4 persen bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat CN-235-220 FTB dan berhasil. Produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026,” ungkapnya.


 


Merespon hal tersebut, katanya, pelaku usaha menyambut baik upaya pemerintah dalam mengembangkan energi berbasis kelapa sawit. 


 


General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata mengemukakan, pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia, selain itu Sustainable Aviation Fuel (ASF) bukan hanya masa depan energi terbarukan di masa yang akan datang, namun juga mempertegas kelapa sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang.


 


Ia menilai, sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3 persen dari emisi pada tahun 2019.


 


"Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050. SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90 persen,” jelasnya.


 


Lebih lanjut di jelaskannya, guna mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting untuk memanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. 


 


Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta metrik ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit. 


 


Ia mengaku, meskipun Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia namun masih menghadapi kendala produktivitas yang jauh dari ideal, saat ini rata-rata produksi CPO Indonesia hanya 3-4 ton per hektare per tahun. 


 


"Untuk menjawab tantangan itu, maka Indonesia harus meningkatkan produktivitas komoditas tersebut di sisi lain biaya produksi bioavtur masih tinggi dibandingkan dengan fosil, olehnya dibutuhkan intervensi kebijakan pemerintah, hal ini juga berkaitan dengan pencapaian target Zero Emmission maka ke depan Indonesia lebih banyak pasokan sawit," demikian Aika.