Kemen-LHK : pertambangan Poboya harus miliki WPR-IPR

id poboya,kunjungan dpr,nasdem

Kemen-LHK : pertambangan Poboya harus miliki WPR-IPR

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kemen LHK Rosa Vivien Ratnawati (istimewa)

Palu,  (Antaranews Sulteng) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan lokasi pertambangan emas Poboya harus memiliki wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan izin pertambangan rakyat (IPR).

"Hal itu merupakan prasyarat untuk memperoleh bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai teknologi ramah lingkungan untuk penaqmbangan," kata Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kemen LHK Rosa Vivien Ratnawati di Palu, Rabu.

Kemen LHK, katanya, tidak dapat memberikan bantuan teknologi ramah lingkungan dalam kegiatan pertambangan bila daerah tidak memiliki WPR dan IPR.

Vivien merupakan salah satu aqnggota tim yang tergabung dalam kunjungan kerja Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral yang berkunjung ke lokasi pertambangan emas di Kelurahan Poboya, Kota Palu.

Ia mengaku bahwa kegiatan pernambangan emas di Poboya masih menggunakan bahan berbahaya dan beracun jenis merkuri dan sianida, yang tidak hanya memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan tetapi dampak buruk terhadap kesehatan dan keberlangsungan hidup masyarakat di Kota Palu.

Karena itu, urai dia, kegiatan penambangan di lokasi Poboya perlu segera diubah dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan. Namun, syarat untuk mendapat bantuan tekhnologi ramah lingkungan yaitu kawasan tersebut harus memiliki WPR dan IPR.

WPR merupakan wilayah pertambangan tempat kegiatan usaha pertambangan rakyat dilakukan. WPR ditetapkan oleh kepala daerah setelah berkonsultasi dengan DPRD setempat.

"Kalau tidak ada wilayah pertambangan rakyat yang ditetapkan oleh pemerintah, disertai izin pertambangan rakyat, maka itu ilegal. Pemerintah tidak dapat membantu yang ilegal," tegas Vivien.

Ia mengatakan penggunaan merkuri dalam kegiatan penambangan tidak dibenarkan oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2017 tentang konvensi minamata mengenai merkuri, namun merkuri dapat digunakan dalam ketentuan terbatas.

Baca juga: Polda didesak tindak perusahaan tambang pengguna merkuri

Terkait hal itu Gubernur Sulteng Longki Djanggola menyambut baik kunjungan kerja Komisi VII DPR RI dalam rangka melihat langsung kegiatan penambangan di Poboya dan mencari solusi komprehensif terkait kawasan penambangan itu.

Longki menyebut bahwa daerah itu telah menyiapkan WPR dan IPR namun hal itu juga butuh kebijakan dari pemerintah pusat.

"Kami serahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat, kepada kementerian yang terkait dengan pertambangan ini.

Didemo warga

Dalam kunjungan tim Komisi VII DPR RI tersebut, 50-an warga lokal yang melakukan penambangan di Poboya selama ini menghadang rombongan untuk menyampaikan protes kepada anggota DPR RI.

"Ketika kami di lokasi, ada sekelompok warga menyampaikan aspirasi. Mereka mengira kedatangan kami adalah untuk menutup loaksi penambangan rakyat di sana," kata Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu.

Baca juga: Sikap CPM terkait Penemuan Merkuri di Tambang Poboya (Video)

Warga yang merupakan penambang di lokasi tersebut keberatan dengan adanya kunjungan Komisi VII DPR. Hal itu karena warga menganggap bahwa DPR menutup dan melarang mereka melakukan kegiatan penambangan.

"Kita mendengar aspirasi yang mereka sampaikan. Saya sangat manusiawi bagaimana mereka tetap bekerja dan hidup bersama keluarga mereka," kata Gus Irawan.

DPR lewat Komisi VII mempertimbangkan keberadaan warga di sekitar lokasi tambang Poboya. Hal itu karena tambang Poboya menjadi tempat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekitar.
 
Puluhan warga di sekitar lokasi penambangan emas Kelurahan Poboya, Kota Palu, menghadang Anggota Komisi VII DPR-RI, Rabu (25/4), untuk menuntut hak untuk tetap menambang di lokasi tersebut. (Antaranews Sulteng/Aim DPR-RI.)