Palu (ANTARA) - Seri diskusi etnografi dilaksanakan Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu, Sulawsi Tengah membahas tentang radikalisme guna mencegah paham tersebut masuk dan merusak tatanan masyarakat.
"Empat atau lima tahun akan datang, isu ini akan tetap menjadi isu-isu penting. Antropologi yang konsen terhadap budaya dan kesukubangsaan perlu mengambil peran, " ungkap Muhammad Marzuki saat memaparkan materinya dalam diskusi bertajuk metode tangan, kepala dan hati dalam pelepasan radikal kekerasan, di kampus Untad Palu, Kamis.
Dia mengatakan, terorisme tidak terkait dengan agama. Agama sengaja dijadikan kedok sebagai alat bagi penganut paham radikal untuk mencapai tujuan mereka, selain itu menawarkan iming-iming dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi seseorang yang menjadi target rekrutmen mereka.
Menurut dia, radikalisme merupakan sebuah proses yang memiliki konteks spesifik dan tidak ada seorang yang mau terlahir sebagai teroris. Trasformasi ideologi dari level ke level, inklusif menjadi ekslusif hingga puncaknya akan berujung pada tindakan teror.
"Jika ada proses masuk maka ada proses keluar, jika ada teman terpapar jangan dijauhi tetapi dekati mereka dengan hati-hati dan ajak mereka untuk keluar, bukan sebaliknya justru kita yang akan terikut," ucap Marzuki yang juga Dosen Antropologi Untad.
Dia menilai, media sosial menjadi salah satu pintu masuk bagi kelompok-kelompok radikal dengam menyebarkan konten-konten bernarasi tertentu berbalut agama sehingga sangat mudah mempengaruhi masyarakat.
"Gejala atau ciri-ciri orang terpapar paham radikal dapat diamati dari perilaku, sebelumnya suka bergaul kini mulai membatasi diri bersosialisasi dengan masyarakat," jelas Marzuki.
Dari risetnya, kata dia, terdapat 28,22 persen dari 40 ribu mahasiswa Untad terpapar paham radikalisme.
"Saya menyarankan untuk membuat grup dosen dan mahasiswa untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa kita yang terpapar," katanya menambahkan.
Dari kegiatan itu diharapkan ada langkah strategis dilakukan sivitas akademik untuk melakukan pencegahan dini agar mahasiswa tidak terpapar dengan paham-taham yang merusak.
Diskusi etnografi itu diikuti sejumlah dosen dan mahasiswa lingkup program studi Antropologi FISIP Untad.
"Empat atau lima tahun akan datang, isu ini akan tetap menjadi isu-isu penting. Antropologi yang konsen terhadap budaya dan kesukubangsaan perlu mengambil peran, " ungkap Muhammad Marzuki saat memaparkan materinya dalam diskusi bertajuk metode tangan, kepala dan hati dalam pelepasan radikal kekerasan, di kampus Untad Palu, Kamis.
Dia mengatakan, terorisme tidak terkait dengan agama. Agama sengaja dijadikan kedok sebagai alat bagi penganut paham radikal untuk mencapai tujuan mereka, selain itu menawarkan iming-iming dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi seseorang yang menjadi target rekrutmen mereka.
Menurut dia, radikalisme merupakan sebuah proses yang memiliki konteks spesifik dan tidak ada seorang yang mau terlahir sebagai teroris. Trasformasi ideologi dari level ke level, inklusif menjadi ekslusif hingga puncaknya akan berujung pada tindakan teror.
"Jika ada proses masuk maka ada proses keluar, jika ada teman terpapar jangan dijauhi tetapi dekati mereka dengan hati-hati dan ajak mereka untuk keluar, bukan sebaliknya justru kita yang akan terikut," ucap Marzuki yang juga Dosen Antropologi Untad.
Dia menilai, media sosial menjadi salah satu pintu masuk bagi kelompok-kelompok radikal dengam menyebarkan konten-konten bernarasi tertentu berbalut agama sehingga sangat mudah mempengaruhi masyarakat.
"Gejala atau ciri-ciri orang terpapar paham radikal dapat diamati dari perilaku, sebelumnya suka bergaul kini mulai membatasi diri bersosialisasi dengan masyarakat," jelas Marzuki.
Dari risetnya, kata dia, terdapat 28,22 persen dari 40 ribu mahasiswa Untad terpapar paham radikalisme.
"Saya menyarankan untuk membuat grup dosen dan mahasiswa untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa kita yang terpapar," katanya menambahkan.
Dari kegiatan itu diharapkan ada langkah strategis dilakukan sivitas akademik untuk melakukan pencegahan dini agar mahasiswa tidak terpapar dengan paham-taham yang merusak.
Diskusi etnografi itu diikuti sejumlah dosen dan mahasiswa lingkup program studi Antropologi FISIP Untad.