100 tahun Fatmawati, bukan sekadar penjahit bendera pusaka

id Fatmawati,100 tahun Fatmawati, Ibu Fatmawati, fatmawati bendera pusaka,bendera merah putih,penjahit bendera,Fatmwati Soe

100 tahun Fatmawati, bukan sekadar penjahit bendera pusaka

Ziarah pada peringatan 100 tahun Fatmawati Soekarno di TPU Karet Bivak, Jakarta, beberapa waktu lalu. (ANTARA/HO- Dokumentasi Pribadi)

Jakarta (ANTARA) - Nama Fatmawati erat kaitannya dengan bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Bendera pusaka yang terbuat dari katun Jepang itu dijahit Fatmawati dalam kondisi hamil tua, menanti kelahiran Guntur Soekarnoputra. Kain katun itu pada mulanya diberikan perwira Jepang untuk dijadikan baju anak atas perintah Kepala Bagian Propaganda Gunseikanbu.

Lepas dari semua itu, Fatmawati yang merupakan istri dari Soekarno, Presiden pertama RI, memiliki peran yang tak sedikit dalam perjalanan kehidupan berbangsa.

Terlahir dengan nama Fatimah pada 5 Februari 1923. Ia merupakan putri tunggal keluarga Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu, dengan an Siti Chadijah.

“Ibu Fatmawati bukan hanya sekadar penjahit bendera Merah Putih. Bukan sebagai Ibu Negara yang pertama, tetapi mempunyai sejarah yang luar biasa dalam perjuangan Indonesia,” ujar Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo.

Giwo menjelaskan bahwa Fatmawati memiliki peran yang tak sedikit dalam mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Fatmawati merupakan sistem pendukung utama bagi Soekarno dan kawan-kawan dalam meraih kemerdekaan.

Fatmawati juga memiliki kepedulian yang tinggi pada perlindungan perempuan dan anak di Tanah Air. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan sebagai Ibu Negara, Fatmawati sering blusukan ke berbagai tempat dan sangat prihatin dengan anak-anak kecil yang ditemuinya saat itu menderita TBC.

Dari situ, Fatmawati berpikiran bahwa perlu ada satu tempat untuk menampung dan merawat anak-anak yang menderita TBC itu.

Saat itu, Indonesia belum memiliki rumah sakit khusus untuk menangani penderita TBC. Dari situ, Fatmawati terpanggil untuk membuat rumah sakit yang berawal dari Yayasan Ibu Soekarno, yang kemudian melakukan lelang kopiah dan pakaian Bung Karno pada Tahun 1953. Dari hasil lelang kopiah tersebut terkumpul dana Rp250.000 dan pada akhir 1953 total sumbangan mencapai Rp28 juta.

Dana itu yang digunakan untuk membangun rumah sakit Ibu Soekarno (saat ini bernama RSUP Fatmawati) yang berada di Cilandak, Jakarta Selatan. Rumah sakit itu tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa. Bukan hanya untuk yang menderita penyakit paru-paru, tetapi juga untuk menangani pasien yang patah tulang.

Cucu Fatmawati, Puti Guntur Soekarno, mengatakan Fatmawati merupakan sosok yang berani dan progresif pada masa memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ia adalah seorang perempuan tidak hanya berdiam diri menunggu apa yang diinginkan oleh suami, tetapi harus memiliki satu ide dan kemauan di dalam mendampingi suaminya.
 

Bakat seni

Sejarawan Asvi mencatat sejak kecil Fatmawati sudah memiliki bakat seni. Selain piawai dalam membaca Alquran dan menyanyi, Fatmawati juga berperan dalam sandiwara yang dibuat oleh Bung Karno saat menjalani pengungsian di Bengkulu.

Tak hanya itu, Fatmawati juga piawai dalam memainkan alat musik, seperti piano dan mandolin, menari, serta menciptakan lagu. Bakat tersebut kemudian diketahui bersama menurun pada anak-anaknya.

Putri dari Wakil Presiden Mohammad Hatta, Halida Hatta, mengenang Fatmawati sebagai sosok perempuan yang memiliki prinsip yang teguh dan tak bisa digoyahkan.

Fatmawati dinilai sebagai seorang ibu yang holistik, perempuan yang bisa berdaya dan memberdayakan diri, dan menaruh perhatian besar perkembangan kesenian, kemajuan Indonesia dan piawai serta mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan.

Halida mengenang Fatmawati sebagai sosok dengan ingatan yang kuat, senang dengan sejarah dan identik dengan warna cerah. Bahkan, setiap bertemu dengan warna fuchsia (campuran merah dan ungu), Halida selalu terkenang dengan Fatmawati.

Hal itu dikarenakan Fatmawati sering menggunakan baju bodo dari Sulawesi Selatan dan menyukai warna yang cerah. Sehingga orang yang berada di dekatnya merasa hangat dan dicintai.

Ibu Fatmawati juga mengerti hati dari masyarakat. Itu sebabnya, ibu-ibu pada saat itu dekat dengan Ibu Fatmawati. Mereka berbicara banyak hal, mulai dari isu nasional, kesehatan hingga perempuan dan anak.

Dalam kesehariannya, Fatmawati kerap menggunakan baju kebaya yang tidak hanya berasal dari Sumatera dan Jawa saja, tetapi juga menggunakan pakaian adat Bugis, yakni baju bodo dari Sulawesi Selatan. Fatmawati mulai memopulerkan penggunaan baju tersebut pada era 1960-an.

Ibu Fatmawati bisa bergaul lintas usia dan menyukai masyarakat. Perempuan itu mau diajak bicara dan mendengarkan cerita dari masyarakat.

"Beliau memiliki empati yang tinggi sekali,” kata Halida, mengenang.

Fatmawati meninggal dunia akibat serangan jantung sepulang umrah saat transit di Kuala Lumpur pada 14 Mei 1980 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Fatmawati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No 118/TH/2000 pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Belum lama ini, rumah Fatmawati yang terletak di Jalan Sriwijaya Raya Nomor 26 Kelurahan Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, juga ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 1207 Tahun 2022 yang ditandatangani pada 27 Desember 2022.

Selain di Jakarta, Fatmawati juga memiliki rumah asli di kota kelahirannya di Bengkulu yang berada di tempat yang saat ini sudah menjadi kantor BNI Cabang Utama Bengkulu. Rumah itu lokasinya berada tak jauh dari museum Fatmawati Soekarno.