IPAS dan OMS perkuat pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual

id Yayasan Ipas Indonesia ,Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng ,Hari perempuan internasional ,Sulteng ,Pemenuhan hak kesehata

IPAS dan OMS perkuat pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual

Perwakilan Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu Dewi Rana Amir hadir sebagai narasumber pada diskusi publik dalam rangka Hari Perempuan Internasional di Palu, Sabtu (15/3/2025). ANTARA/Nur Amalia Amir

Palu (ANTARA) - Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Sulawesi Tengah (Sulteng) berkolaborasi memperkuat jaringan bagi pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual dan layanan komprehensif bagi korban.

"Kita perlu terus mengembangkan wawasan mengenai pentingnya aspek pemenuhan hak kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan keterjangkauan layanan kesehatan," kata Perwakilan Yayasan IPAS Athirah Winarsih di Palu, Sabtu.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi publik dengan tema "Mengupayakan hak kesehatan dan layanan komprehensif untuk korban kekerasan seksual" dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Ia mengatakan kegiatan forum diskusi ini untuk memperkuat jaringan bagi pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual dan layanan komprehensif bagi korban.

Melalui diskusi ini, paparan yang disampaikan dapat menjadi landasan untuk memperkuat jaringan bagi pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual dan layanan komprehensif bagi korban.

Diskusi ini diikuti oleh Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan - ST (KPKPN- ST), Yayasan Merah Putih, Dinas Kesehatan kabupaten/kota, dan organisasi masyarakat lainnya.

Perwakilan Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu Dewi Rana Amir sebagai narasumber pada diskusi ini menyampaikan beberapa kendala atau tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

"Menurut kami, penegakan hukum ini adalah masalah terbesar dalam konteks penanganan kasus kekerasan seksual. Dan juga kendala lainnya berdasarkan catatan kami, adalah terkait anggaran," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa organisasi pengadaan layanan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Bersatu tidak bisa menolak korban kekerasan yang melapor.

Namun, kata dia, organisasi memiliki keterbatasan anggaran sehingga hal ini mengancam keberlanjutan lembaga-lembaga layanan dalam penanganan kasus, khususnya kasus kekerasan seksual.

Sementara kendala lainnya adalah pelaku kekerasan seksual yang sering kali merupakan orang-orang terdekat, seperti ayah, paman, tetangga, guru mengaji, dan bahkan dukun.

Ia mengatakan bahwa banyak dari kasus-kasus tersebut yang diselesaikan secara restorative justice (RJ) atau tidak melalui proses hukum.

"Kadang-kadang pelakunya didenda, dan karena sudah membayar secara adat, menurut pelaku kasus ini sudah tidak lagi dilanjutkan ke proses hukum karena double punishment. Padahal jelas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar proses hukum," ujarnya.

Dewi Rana yang juga Direktur Lingkar Belajar Untuk Perempuan Sulteng mencatat bahwa pihaknya menangani sebanyak sembilan kasus kekerasan seksual pada 2021, 16 kasus pada 2022, 15 kasus pada 2023, dan sembilan kasus pada 2024.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD Sulteng I Nyoman Slamet mengatakan efisiensi anggaran tidak menghambat program-program prioritas dan bersifat urgen dalam mendukung pembangunan daerah.

Ia menyampaikan sebuah organisasi atau forum perkumpulan juga berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah, sepanjang mengikuti prosedur yang ada.

"Misalnya organisasi yang menangani masalah perempuan, atau menangani kekerasan perempuan, silakan mengajukan usulan penganggaran kepada pemerintah daerah, dengan mengusulkan proposalnya," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa pihaknya juga menjadi salah yang mengawal usulan-usulan yang ada.