Palu (ANTARA) - PILPRES 2019 telah menghantarkan Jokowi sebagai Presiden RI, untuk periode kedua masa bakti 2019-2024. Harapan besar dari hampir semua orang, kiranya Jikowi-Ma'ruf mampu mempersiapkan landasan yang kuat menuju Indonesia Hebat 2050.
Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat ketika Jokowi-Prabowo bertemu di MRT (Mass Rapid Transit) pada Sabtu 13 Juli 2019 dan berdialog sepanjang perjalanan dari Lebak Bulus menuju Senayan.
Kedua tokoh nasional ini melepaskan semua perbedaan yang pernah ada, mengobati semua luka sebelum menjadi borok, demi Merah-Putih dan NKRI. Keduanya telah memberikan dan mempertontonkan tauladan yang baik untuk seluruh anak bangsa.
Dampak yang langsung terlihat adalah pasar modal memberikan respon positif yang ditandai menguatnya nilai rupiah terhadap dolar AS namun disayangkan masih ada saja kelompok yang belum rela keduanya untuk bersepaham dan tidak perlu dipersoalkan.
Tantangan Berat
Jokowi-Ma'ruf menyadari akan menghadapi tantangan berat untuk merealisaikan lima program prioritasnya yaitu Pengembangan Infrastruktur; SDM dan Teknologi; Reformasi Birokrasi dan Struktur; Investasi dan Ekspor serta Penghematan APBN terhadap hal yang dipandang tidak penting.
Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dicarikan solusinya. Pertama, merangkul pihak yang menjadi lawan disaat pilpres 2019 untuk kemudian membangun negeri ini bersama-sama, dan ini mulai terlihat ketika Jokowi-Prabowo bertemu untuk pertama kalinya di MRT rute Lebak Bulus-Senayan.
Meskipun nantinya pihak Prabowo tetap memosisikan diri sebagai oposisi, ini tidak menjadi soal dan tidak mengapa, karena memang tetap dibutuhkan oposisi sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kedua, kabinet Jokowi-Ma'ruf harus diisi oleh orang-orang yang visioner dan profesional untuk mempersiapkan landasan menjadi Indonesia Hebat 2050.
Dalam beberapa kesempatan Jokowi selalu mengatakan akan mengisi kabinetnya dari kalangan partai dan non partai yang profesional serta dapat bertindak sebagai eksekutor bila dipandang itu akan memberikan sebuah kemajuan. Dan yang tidak kalah menariknya adalah keberanian melibatkan generasi milenial untuk mengisi kabinetnya.
Pemikiran dan Pola rekruitmen inilah yang menjadi pembeda dari kabinet-kabinet sebelumnya.
Ketiga, mempersiapkan Pilkada tahun 2020 dan 2022 agar melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang berorientasi kepada perubahan dan kemajuan. Semangat ini harus terus dibangun dengan memberikan eduksi dan kesempatan kepada figur-figur perubahan serta menghilangkan unsur fanatisme yang cenderung menghambat kemajuan.
Setidaknya ada enam kriteria figur perubahan yang menjadi kebutuhan yaitu mereka-mereka yang selalu update, adaptif, inovatif, tidak birokratis, demokratis dan memiliki ketegasan. Usia bukan lagi menjadi pembeda, tetapi terletak kepada karakter dan model berpikir.
Kereta terakhir
Pilkada 2020 dan 2022 adalah yang terakhir sebelum melaksanakan Pilpres dan Pilkada serentak tahun 2024. Karena itu, kedua pilkada ini memiliki nilai strategis untuk melahirkan pemimpin visioner dan profesional di daerah.
Kedua pilkada ini dapat dikatakan sebagai 'kereta terakhir' alias kesempatan terakhir menuju ke stasiun tujuan. Bila kereta ini tidak ditumpangi, maka kesempatan untuk melahirkan pemimpin visioner dan profesional tidak akan digapai.
Harapan memanfaatkan potensi demografi 2028, potensi sumberdaya alam menuju Indonesia Hebat 2050 akan berlalu begitu saja, dan tinggal kenangan serta catatan sejarah. Kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kalinya dan menjadi kerugian besar bila tidak dimanfaatkan.
Ada tiga komponen penentu dalam melahirkan pemimpin perubahan di Pilkada 2020 dan 2022, yaitu partai yang memiliki hak usung, rakyat yang memiliki hak suara dan lembaga penyelenggara pilkada.
Baca juga: Opini - Menjadi Indonesia Hebat 2050, butuh pemimpin perubahan
Baca juga: Opini - Tiga harapan di pundak Jokowi-Mar'uf Amin
Beberapa partai kini telah mereformasi dirinya menyesuaikan dengan tuntutan perubahan. Kader partai tidak lagi jadi perioritas harus diusung menjadi calon pemimpin daerah mewakili partainya, kesempatan telah dibuka bagi figur-figur di luar partai yang dipandang dapat membuat perubahan dan nantinya bisa membesarkan partai yang mengusungnya.
Ini adalah sebuah perubahan bagisebuah kemajuan dan patut diapresiasi. Lembaga penyelenggara Pilkada dipandang sudah lebih baik dan professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya, meskipun masih ada beberapa kelemahan di sana-sini yang masih perlu diperbaiki dan disempurnakan.
Dan yang terakhir adalah rakyat yang memiliki hak suara. Sejumlah kekuatiran kini masih menghantui untuk penyelenggaraan Pilkada 2020 dan 2022, yaitu dugaan masih dominannya politik transaksional atau 'money politic' atas terpilihnya pasangan kepala daerah.
Politik Transaksional
Tantangan terbesar dalam Pilkada 2020 dan 2022 adalah praktek politik transaksional atau 'money politic'.
Data survey menunjukkan bahwa karena tingkat pendapatan perkapita rendah, maka money politic dapat mempengaruhi keputusan akan pilihannya. Hal ini sejalan dengan referensi bahwa demokrasi akan berlangsung lebih baik bila pendapatan perkapita minimal mencapai 6.000 US dollar atau setara 84 juta rupiah/kapita/tahun, sementara pendapatan per kapita di negeri ini baru sekitar 3.900 US dollar atau setara 54 juta rupiah.
Seharusnya referensi ini tidak boleh lagi jadi pembenaran untuk terus berlarut. Segenap anak bangsa harus bangkit dan membangun idealismenya untuk secara perlahan mengikis praktek-praktek transaksional.
Penyelenggara pilkada lebih professional melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga harapan menghasilkan sejumlah pemimpin perubahan di daerah dapat direalisasi.
Harapannya kemudian pemimpin-pemimpin perubahan akan membawa negeri ini mempunyai pendapatan di atas 6.000 US dollar, bahkan Price Wwaterhouse Cooper (PwC) memprediksi tahun 2050 pendapatan per kapita rakyat Indonesia dapat mencapai 31.000 US dollar.
Ini adalah sebuah kesempatan terakhir, kereta terakhir untuk landasan menuju Indonesia Hebat 2050. Semoga. (*Ketua Ispikani Sulteng)
Baca juga: Opini - Filosofi 'Truk Gandeng-Kereta kuda' strategi membangun Sulteng pascabencana
Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan
Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo (kedua kiri) didampingi Ketua STPL Palu Monarni Gobel (kanan) menyaksikan alat-alat pengolahan hasil perikanan dan kelautan di Kamus STPL Palu, Rabu (26/6) (Antaranews Sulteng/RM)
Tanda-tanda ke arah sana sudah terlihat ketika Jokowi-Prabowo bertemu di MRT (Mass Rapid Transit) pada Sabtu 13 Juli 2019 dan berdialog sepanjang perjalanan dari Lebak Bulus menuju Senayan.
Kedua tokoh nasional ini melepaskan semua perbedaan yang pernah ada, mengobati semua luka sebelum menjadi borok, demi Merah-Putih dan NKRI. Keduanya telah memberikan dan mempertontonkan tauladan yang baik untuk seluruh anak bangsa.
Dampak yang langsung terlihat adalah pasar modal memberikan respon positif yang ditandai menguatnya nilai rupiah terhadap dolar AS namun disayangkan masih ada saja kelompok yang belum rela keduanya untuk bersepaham dan tidak perlu dipersoalkan.
Tantangan Berat
Jokowi-Ma'ruf menyadari akan menghadapi tantangan berat untuk merealisaikan lima program prioritasnya yaitu Pengembangan Infrastruktur; SDM dan Teknologi; Reformasi Birokrasi dan Struktur; Investasi dan Ekspor serta Penghematan APBN terhadap hal yang dipandang tidak penting.
Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dicarikan solusinya. Pertama, merangkul pihak yang menjadi lawan disaat pilpres 2019 untuk kemudian membangun negeri ini bersama-sama, dan ini mulai terlihat ketika Jokowi-Prabowo bertemu untuk pertama kalinya di MRT rute Lebak Bulus-Senayan.
Meskipun nantinya pihak Prabowo tetap memosisikan diri sebagai oposisi, ini tidak menjadi soal dan tidak mengapa, karena memang tetap dibutuhkan oposisi sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kedua, kabinet Jokowi-Ma'ruf harus diisi oleh orang-orang yang visioner dan profesional untuk mempersiapkan landasan menjadi Indonesia Hebat 2050.
Dalam beberapa kesempatan Jokowi selalu mengatakan akan mengisi kabinetnya dari kalangan partai dan non partai yang profesional serta dapat bertindak sebagai eksekutor bila dipandang itu akan memberikan sebuah kemajuan. Dan yang tidak kalah menariknya adalah keberanian melibatkan generasi milenial untuk mengisi kabinetnya.
Pemikiran dan Pola rekruitmen inilah yang menjadi pembeda dari kabinet-kabinet sebelumnya.
Ketiga, mempersiapkan Pilkada tahun 2020 dan 2022 agar melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang berorientasi kepada perubahan dan kemajuan. Semangat ini harus terus dibangun dengan memberikan eduksi dan kesempatan kepada figur-figur perubahan serta menghilangkan unsur fanatisme yang cenderung menghambat kemajuan.
Setidaknya ada enam kriteria figur perubahan yang menjadi kebutuhan yaitu mereka-mereka yang selalu update, adaptif, inovatif, tidak birokratis, demokratis dan memiliki ketegasan. Usia bukan lagi menjadi pembeda, tetapi terletak kepada karakter dan model berpikir.
Kereta terakhir
Pilkada 2020 dan 2022 adalah yang terakhir sebelum melaksanakan Pilpres dan Pilkada serentak tahun 2024. Karena itu, kedua pilkada ini memiliki nilai strategis untuk melahirkan pemimpin visioner dan profesional di daerah.
Kedua pilkada ini dapat dikatakan sebagai 'kereta terakhir' alias kesempatan terakhir menuju ke stasiun tujuan. Bila kereta ini tidak ditumpangi, maka kesempatan untuk melahirkan pemimpin visioner dan profesional tidak akan digapai.
Harapan memanfaatkan potensi demografi 2028, potensi sumberdaya alam menuju Indonesia Hebat 2050 akan berlalu begitu saja, dan tinggal kenangan serta catatan sejarah. Kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kalinya dan menjadi kerugian besar bila tidak dimanfaatkan.
Ada tiga komponen penentu dalam melahirkan pemimpin perubahan di Pilkada 2020 dan 2022, yaitu partai yang memiliki hak usung, rakyat yang memiliki hak suara dan lembaga penyelenggara pilkada.
Baca juga: Opini - Menjadi Indonesia Hebat 2050, butuh pemimpin perubahan
Baca juga: Opini - Tiga harapan di pundak Jokowi-Mar'uf Amin
Beberapa partai kini telah mereformasi dirinya menyesuaikan dengan tuntutan perubahan. Kader partai tidak lagi jadi perioritas harus diusung menjadi calon pemimpin daerah mewakili partainya, kesempatan telah dibuka bagi figur-figur di luar partai yang dipandang dapat membuat perubahan dan nantinya bisa membesarkan partai yang mengusungnya.
Ini adalah sebuah perubahan bagisebuah kemajuan dan patut diapresiasi. Lembaga penyelenggara Pilkada dipandang sudah lebih baik dan professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya, meskipun masih ada beberapa kelemahan di sana-sini yang masih perlu diperbaiki dan disempurnakan.
Dan yang terakhir adalah rakyat yang memiliki hak suara. Sejumlah kekuatiran kini masih menghantui untuk penyelenggaraan Pilkada 2020 dan 2022, yaitu dugaan masih dominannya politik transaksional atau 'money politic' atas terpilihnya pasangan kepala daerah.
Politik Transaksional
Tantangan terbesar dalam Pilkada 2020 dan 2022 adalah praktek politik transaksional atau 'money politic'.
Data survey menunjukkan bahwa karena tingkat pendapatan perkapita rendah, maka money politic dapat mempengaruhi keputusan akan pilihannya. Hal ini sejalan dengan referensi bahwa demokrasi akan berlangsung lebih baik bila pendapatan perkapita minimal mencapai 6.000 US dollar atau setara 84 juta rupiah/kapita/tahun, sementara pendapatan per kapita di negeri ini baru sekitar 3.900 US dollar atau setara 54 juta rupiah.
Seharusnya referensi ini tidak boleh lagi jadi pembenaran untuk terus berlarut. Segenap anak bangsa harus bangkit dan membangun idealismenya untuk secara perlahan mengikis praktek-praktek transaksional.
Penyelenggara pilkada lebih professional melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga harapan menghasilkan sejumlah pemimpin perubahan di daerah dapat direalisasi.
Harapannya kemudian pemimpin-pemimpin perubahan akan membawa negeri ini mempunyai pendapatan di atas 6.000 US dollar, bahkan Price Wwaterhouse Cooper (PwC) memprediksi tahun 2050 pendapatan per kapita rakyat Indonesia dapat mencapai 31.000 US dollar.
Ini adalah sebuah kesempatan terakhir, kereta terakhir untuk landasan menuju Indonesia Hebat 2050. Semoga. (*Ketua Ispikani Sulteng)
Baca juga: Opini - Filosofi 'Truk Gandeng-Kereta kuda' strategi membangun Sulteng pascabencana
Baca juga: Ibu Kota negara pindah, Donggala-Parimo berpeluang dimekarkan