Sulteng seyogianya 'tidak silau' dengan investasi nikel dan energi

id Hasanuddin Atjo

Sulteng seyogianya 'tidak silau' dengan investasi nikel dan energi

Dr Ir H hasanuddin Atjo, MP, Ketua Ispikani Sulteng. (ANTARA/HO-Dokumen pribadi)

Investasi pada bidang gas, nikel dan energi merupakan kewenangan pemerintah pusat, sehingga daerah hanya memperoleh dana bagi hasil.
Palu (ANTARA) - Kabupaten Banggai lebih awal menjadi tujuan utama investasi di Provinsi Sulteng. Realisasi investasi energi gas terintegrasi PT Dongi Sinoro hingga tahun 2015 mencapai angka Rp75,4 triliun dengan kurs dolar AS sekitar Rp13 ribu).

Pada tahun yang sama, Kabupaten Poso juga kebagian rezeki berupa investasi di bidang energi yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PT Poso Energi dengan investasi sekitar 1,77 triliun rupiah.

Berikutnya Dewi Fortuna berpihak ke dua kabupaten Morowali dan Morowali Utara di bidang nikel dan metal. Pada tahun 2019, investasi di Morowali telah mencapai Rp25,86 triliun, belum termasuk investasi pabrik baterai lithium berbahan baku nikel dengan rencana investasi sekitar Rp53 triliun. Dan selanjutnya investasi di Morowali utara telah mencapai Rp2,12 triliun yang progresnya terus bergerak.

Semua ini akhirnya menobatkan Provinsi Sulawesi Tengah selalu berada dalam kategori 10 besar dalam hal investasi di Indonesia pada kurun lima tahun terakhir, 2015- 2019. Bahkan menjadi tertinggi di wilayah pulau Sulawesi. Di satu sisi, investasi pada bidang gas dan nikel serta energi telah menyebabkan indikator pembangunan daerah pada kabupaten tersebut menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten yang bertumpu di sektor pangan maupun sektor pariwisata.

Indikator pembangunan itu antara lain pertumbuhan ekonomi; angka kemiskinan serta; ketimpangan pendapatan.

Investasi di tiga sektor ini telah menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah meningkat signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, 2015-2019. Bahkan di tahun 2019, Sulawesi Tengah menjadi provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi nasional yaitu 7,15 persen. Namun pada sisi lainnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, masih diikuti dengan angka kemiskinan yang tinggi serta ketimpangan pendapatan yang lebar. Atau sering disebut dengan pertumbuhan ekonomi yang belum inklusive, atau belum merata.

Baca juga: 'Isi kepala', 'isi kantong', 'isi perut' dan Pilkada

Harapanya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diiikuti oleh angka kemiskinan yang rendah (menurun) serta ketimpangan yang menyempit.

Sebagai gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi di Morowali pada tahun 2019 sekitar 12 persen, dan di kabupaten Donggala tahun yang sama sekitar 5 persen. Pendapatan perkapita di Morowali sekitar Rp170 juta dan di Kabupaten Banggai Laut sekitar Rp29 juta. Nilai rasio gini Kabupaten Poso sekitar 0,30 sedang di Tolitoli sekitar 0,37 point.

Investasi pada bidang gas, nikel dan energi merupakan kewenangan pemerintah pusat, sehingga daerah hanya memperoleh dana bagi hasil. Selain itu industri seperti ini lebih berorientasi kepada padat modal, dan teknologi serta membutuhkan tenaga kerja dengan skill yang tinggi.

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dua provinsi yang juga memiliki potensi tambang maupun energi. Di Sulawesi Selatan juga ada potensi nikel PT Inco, Semen Tonasa, Senen Bosowa dan Semen Conch asal China; Pembangkit Listrik Tenaga Air maupun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (angin). Demikian pula halnya dengan Provinsi Sulawesi Utara memiliki potensi yang hampir sama .

Baca juga: Ketimpangan, kemiskinan dan kondisi fiskal tangangan pemimpin Sulteng 2021-2026

Bedanya, kedua provinsi ini, desain kebijakan fiskalnya fokus mendorong sektor-sektor yang menjadi potensi desa dan akan mempekerjakan banyak orang , seperti mengembangkan industri pangan dan industri pariwisata. Pembangunan infrastruktur dasar terkait pangan dan pariwisata, termasuk status bandara internasional; kesiapan sumberdaya manusia, SDM menjadi salah satu fokus dan perhatian pemerintah daerahnya.

Makanya tidak heran kalau kedua provinsi itu, meskipun memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah Sulawesi Tengah, namun lebih inklusif, lebih merata. Dengan kata lain angka kemiskinan rendah dan ketimpangan sempit.

Daya saing industri pangan dan pariwisata di Sulawesi Tengah relatif rendah. Ini antara lain dapat dilihat dari salah satu indikator yaitu nilai tukar petani (NTP). NTP gabungan ( perikanan, peternakan, perkebunan, tanaman pangan serta hortikultura) dalam kurun waktu lima tahun terakhir selalu di bawah 100 persen. Maknanya bahwa potensi menabung dari pelaku-pelaku di sektor pangan secara umum rendah.

Baca juga: Keluar dari bayang-bayang kemajuan, suatu tantangan menuju kemajuan

Daya saing pariwisata daerah ini juga rendah. Salah satu penyebabnya Sulawesi Tengah bukan menjadi destinasi primer atau sekunder. Daerah ini cenderung hanya menjadi destinasi tersier.

Upaya menaikkan status bandara udara Mutiara Sis Al-Jufrie dari bandara kelas satu menjadi internasional akan menjadi salah satu faktor pengungkit bergeraknya industri pariwisata maupun pangan.

Pesta demokrasi yang akan dihelat tanggal 9 Desember 2020 untuk memilih pemimpin daerah, menjadi momentum penting untuk membawa keluar daerah ini agar tidak terperangkap, dan “tidak silau” dengan investasi di bidang gas, nikel dan energi. SEMOGA

Baca juga: Skenario pengembangan sektor pangan Sulteng hadapi dampak pandemi COVID-19