Sulteng bertekad jadi provinsi layak anak
Banggai, Sulteng (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bertekad menjadi provinsi layak anak sebagai bentuk komitmen dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak dalam tumbuh kembang-nya.
"Mewujudkan kabupaten dan kota layak anak butuh komitmen kepala daerah. Karena sulit sekali kalau dukungan itu hanya berasal dari OPD, aktivis, dan lainnya," ucap Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Faizal Mang dalam rapat koordinasi teknis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P3A) tingkat provinsi dan kabupaten kota se-Sulawesi Tengah di Luwuk, Kabupaten Banggai, Selasa.
Oleh karena itu, ia menyatakan para bupati dan wali kota di Sulteng harus memiliki komitmen yang kuat guna mewujudkan KLA.
"Untuk mewujudkan provinsi layak anak di Sulawesi Tengah perlu komitmen bersama dari para pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota melalui sinergisitas dan sinkronisasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah," kata Faizal Mang.
Ia menjelaskan KLA dengan berbagai indikator itu sulit terwujud bila semangat merealisasikannya hanya datang dari organisasi perangkat daerah, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan komponen masyarakat lainnya.
Para kepala daerah, katanya, perlu menyikapi secara serius dan memberikan dukungan kepada OPD, aktivis, LSM, dan komponen masyarakat untuk mewujudkan KLA sebagai perlindungan terhadap anak lewat pemenuhan hak-hak mereka.
"Mewujudkan provinsi, kabupaten, dan kota layak anak, ini bukan hal yang mudah. Ini butuh komitmen kepala daerah," kata Faizal.
Ia mengatakan di Sulteng banyak anak. Pertumbuhan anak meningkat drastis di daerah kepulauan dan kelautan, seperti Kabupaten Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan.
Berdasarkan data Pemprov Sulteng, jumlah anak usia 0-18 tahun tercatat 1.243.557 jiwa atau sekitar 42 persen dari total jumlah penduduk setempat.
Ia juga mengatakan bahwa di Sulteng angka perkawinan dini masih cukup tinggi karena faktor budaya yang menjadi penunjang selain beberapa faktor lainnya.
Di Kabupaten Parigi Moutong misalkan, katanya, ada salah budaya masyarakat di pedalaman atau kampung terpencil yang menikahkan anaknya ketika selesai haid pertama.
Salah satu dampak pernikahan dini disertai dengan kurangnya asupan gizi secara baik, katanya, tingginya angka kekerdilan.
"Nah, ini yang disentuh oleh pemerintah, karena salah satu dampak dari itu adalah 'stunting' (kekerdilan)," katanya.
Dia mengakui bahwa hal-hal tersebut masih menjadi masalah dan tantangan pemerintah daerah untuk melindungi anak, dengan memberikan haknya secara optimal dan keberlanjutan.
Dia juga mendorong Dinas P3A di semua tingkatan perlu memaksimalkan pencapaian target kinerja dalam mendukung pencapaian target kinerja Kementerian P3A yaitu mewujudkan provinsi layak anak, serta mewujudkan indikator kinerja utama dinas yang telah ditetapkan selama lima tahun berdasarkan RPJMD dan Renstra.
Indikator kinerja yang dimaksud mencakup indeks pembangunan gender, peningkatan indeks pemberdayaan gender, peningkatan partisipasi perempuan di birokrasi, swasta, parlemen, penurunan rasio KDRT, penurunan penanganan kasus kekerasan, peningkatan pemenuhan hak anak dan sebagainya.
"Untuk mewujudkan capaian kinerja dimaksud perlu dilakukan upaya penguatan kelembagaan dan regulasi di bidang pemberdayaan perempuan, perlindungan perempuan, dan khusus anak, pemenuhan hak anak, data dan informasi gender dan anak serta strategi pengurus utamaan gender baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota," ungkapnya.
"Mewujudkan kabupaten dan kota layak anak butuh komitmen kepala daerah. Karena sulit sekali kalau dukungan itu hanya berasal dari OPD, aktivis, dan lainnya," ucap Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Faizal Mang dalam rapat koordinasi teknis pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (P3A) tingkat provinsi dan kabupaten kota se-Sulawesi Tengah di Luwuk, Kabupaten Banggai, Selasa.
Oleh karena itu, ia menyatakan para bupati dan wali kota di Sulteng harus memiliki komitmen yang kuat guna mewujudkan KLA.
"Untuk mewujudkan provinsi layak anak di Sulawesi Tengah perlu komitmen bersama dari para pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota melalui sinergisitas dan sinkronisasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah," kata Faizal Mang.
Ia menjelaskan KLA dengan berbagai indikator itu sulit terwujud bila semangat merealisasikannya hanya datang dari organisasi perangkat daerah, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan komponen masyarakat lainnya.
Para kepala daerah, katanya, perlu menyikapi secara serius dan memberikan dukungan kepada OPD, aktivis, LSM, dan komponen masyarakat untuk mewujudkan KLA sebagai perlindungan terhadap anak lewat pemenuhan hak-hak mereka.
"Mewujudkan provinsi, kabupaten, dan kota layak anak, ini bukan hal yang mudah. Ini butuh komitmen kepala daerah," kata Faizal.
Ia mengatakan di Sulteng banyak anak. Pertumbuhan anak meningkat drastis di daerah kepulauan dan kelautan, seperti Kabupaten Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan.
Berdasarkan data Pemprov Sulteng, jumlah anak usia 0-18 tahun tercatat 1.243.557 jiwa atau sekitar 42 persen dari total jumlah penduduk setempat.
Ia juga mengatakan bahwa di Sulteng angka perkawinan dini masih cukup tinggi karena faktor budaya yang menjadi penunjang selain beberapa faktor lainnya.
Di Kabupaten Parigi Moutong misalkan, katanya, ada salah budaya masyarakat di pedalaman atau kampung terpencil yang menikahkan anaknya ketika selesai haid pertama.
Salah satu dampak pernikahan dini disertai dengan kurangnya asupan gizi secara baik, katanya, tingginya angka kekerdilan.
"Nah, ini yang disentuh oleh pemerintah, karena salah satu dampak dari itu adalah 'stunting' (kekerdilan)," katanya.
Dia mengakui bahwa hal-hal tersebut masih menjadi masalah dan tantangan pemerintah daerah untuk melindungi anak, dengan memberikan haknya secara optimal dan keberlanjutan.
Dia juga mendorong Dinas P3A di semua tingkatan perlu memaksimalkan pencapaian target kinerja dalam mendukung pencapaian target kinerja Kementerian P3A yaitu mewujudkan provinsi layak anak, serta mewujudkan indikator kinerja utama dinas yang telah ditetapkan selama lima tahun berdasarkan RPJMD dan Renstra.
Indikator kinerja yang dimaksud mencakup indeks pembangunan gender, peningkatan indeks pemberdayaan gender, peningkatan partisipasi perempuan di birokrasi, swasta, parlemen, penurunan rasio KDRT, penurunan penanganan kasus kekerasan, peningkatan pemenuhan hak anak dan sebagainya.
"Untuk mewujudkan capaian kinerja dimaksud perlu dilakukan upaya penguatan kelembagaan dan regulasi di bidang pemberdayaan perempuan, perlindungan perempuan, dan khusus anak, pemenuhan hak anak, data dan informasi gender dan anak serta strategi pengurus utamaan gender baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota," ungkapnya.